24 Agustus 2023

PENGALAMAN BELAJAR TEKS LAPORAN HASIL OBSERVASI [#2]

(sambungan dari bagian #1)

Pertemuan kedua, saatnya memeriksa hasil pengamatan para siswa. Kalau mengacu pada kurva normal, pasti kebanyakan hasilnya B aja. Hanya sedikit yang hasilnya luarbiasa (luarbiasa bagus dan luar biasa jelek). Mungkin saja kurvanya tidak normal. Kalau melihat wajahnya, banyak yang senyum-senyum. Beberapa siswa terlihat panik. Mungkin lupa mengerjakan tugas misi rahasia. Mari kita tengok.

“Nak, kalian sudah melakukan observasi. Pasti sudah ada hasilnya. Hasilnya sedetail apa? Ya, tergantung seberapa penasaran kalian saat mengobservasi orang rumah. Kalau kurang penasaran, mungkin cukup tengok dapur:  ‘Oh, ibu sedang masak di dapur”. Kalau penasaran betul, pastinya diamati lebih lanjut: ‘Ibu masak apa, sih?’ sambil mendekat ke dapur. Nah, kalau observasinya sudah dilakukan, hasilnya sudah ada, berarti tinggal menyusun laporan.”

“Laporannya seperti apa, Pak?”

“Tergantung kebutuhan dan fokus pengamatannya. Bisa deskriptif, naratif, eksplanatif, bahkan puisi.”

“Wah, iya kah?”

“Kalau misi rahasia, karena fokusnya ke aktivitas orang rumah, kira-kira sajian laporannya seperti apa?”

“Naratif, Pak!”

“Puisi bisa gak, Pak?”

“Silakan saja dicoba, tetapi pasti harus punya ilmu khusus, ilmu puisi. Kalau ingin mudah dan sederhana, boleh berbentuk naratif. Struktur sederhananya pasti minimal ada pembuka, isi, dan penutup. Nah, hasil laporan kalian itu nanti jadi isinya. Sajikan dalam bentuk narasi (cerita). Jadi, minimalnya bakal ada tiga paragraf ya. Paragraf pembuka, paragraf isi, dan paragraf penutup.”

“Pembukanya bagaimana, Pak?”

“Semacam pengantar. Buat pernyataan-pernyataan umum dalam beberapa kalimat.”

“Contohnya, Pak!”

“Hmm... Misal, kamu tulis keluarga secara umum: Setiap orang pasti memiliki keluarga. Tentunya, aktivitas setiap anggota keluarga akan berbeda-beda. Ada yang lebih banyak di rumah, ada yang lebih banyak di luar rumah. Ada yang sibuk, ada juga yang santai. Kali ini, saya mengamati aktivitas salah satu anggota keluarga, yaitu Kakak.”

“Wah, mantap. Gimana, Pak, gimana? Ulangi, Pak!”

“Hehe... Itu hanya contoh. Bisa juga pakai kalimat lain. Misal: Ibu rumah tangga dianggap pekerjaan yang ringan dan paling santai. Benarkah anggapan itu? Mungkin kita kurang peka. Untuk membuktikan hal itu, saya telah melakukan pengamatan secara rahasia pada Mama di rumah. Apa sajakah aktivitas yang dilakukan Mama sejak bangun tidur hingga tidur lagi?”

“Wah, itu lebih mantap sepertinya, Pak!”

“Ya, terserah kalian saja. Kreasikan saja yang kira-kira cocok.”

“Pak, penutupnya bagaimana?”

“Hmm... Kamu bisa beri komentar, kesan secara umum terhadap aktivitas orang rumah. Bisa juga dengan refleksi diri, membandingkan aktivitasnya dengan aktivitasmu, apa yang kamu rasakan? Simpulkan! Apa yang kamu dapatkan?”

“Contohnya, Pak!”

“Hmm... Ya, apa yang kamu dapatkan? Tuliskan saja. Terakhir, beri judul yang sesuai! Silakan dicoba! Kalian tinggal menambahkan paragraf pembuka, penutup, dan judul, ya. 15 menit cukup?”

“30 menit, Pak!”

“Silakan dicoba! Kalau ada yang sudah selesai duluan, saya tengok. Kalau ada hambatan, boleh tanya. Silakan!”

Beberapa menit berjalan. Ada yang tanya ini tanya itu. Ada yang tengok-tengok pekerjaan temannya. Ada juga yang anteng sendiri. Hingga akhirnya ada juga beberapa siswa yang menghampiri.

“Begini, Pak! Coba Bapak periksa!”

“Hmm... Ini penulisan judulnya kapitalkan tiap awal kata, kecuali kata penghubung: Ibuku yang Hebat. Kalau mau dikapitalkan semua juga boleh: IBUKU YANG HEBAT.”

“Siap, Pak!”

“Nih, hati-hati nih penulisan di. Kalau menunjukkan tempat wajib dipisah: di rumah, di dapur, di atas, di dalam, dsb. Nah, kalau menunjukkan aktivitas pasif, gabungkan: diperhatikan, dimakan, dikerjakan, dsb.”

Terkait kaidah penulisan begini, ternyata banyak juga siswa yang masih belepotan. Hal semacam ini mestinya sudah tuntas di tingkat SD. Hmm... Saya coba tengok pekerjaan siswa lainnya.

“Wah, ini kamu mengamati siapa?”

“Mamah.”

“Penyebutannya seragamkan. Ini di judulnya kamu tulis ‘Mamah’, di tengah ditulis ‘Ibu’. Nih, ini juga, nih. Di atas ‘aku’, di bawahnya ‘saya’. Konsisten, ya.”

“Hehe... Siap, Pak!”

“Nih, hati-hati menuliskan jam. Bedakan antara jam dan pukul.”

“Bedanya apa, Pak?”

“Perhatikan: Setiap pagi, ayah berolahraga selama dua jam, dari pukul 6.00 hingga pukul 8.00. Paham? Jadi, ‘jam’ itu untuk menunjukkan durasi. Kalau penunjuk waktu, gunakan ‘pukul’, ya.”

“Siap, paham.”

“Nih, kalimat ini: Selesai mencuci baju, Mamah biasanya menonton tv. Nah, hindari kata’biasanya’. Kata tersebut menandakan bahwa kamu tidak melakukan pengamatan. Kamu hanya mengira-ngira. Hmm...”

“Oh, iya, Pak.”

“Nah, Ini mamahmu bangun pukul berapa? Pukul empat? Terus, ini selesai salat Subuh, Mamah bangunin kamu? Kamu tahu dari mana si mamah bangun pukul empat?”

“Hmm.. nanya, Pak.”

“Ini mah bukan kamu yang mengamati si Mamah. Si Mamah yang mengamati kamu.”

“Hah?”

“Rumusnya: PENGAMATAN itu menimbulkan KEPEKAAN yang akhirnya memunculkan AKSI. Si Mamah mengamati kamu: Oh, masih tidur. Peka: Pasti belum salat. Aksi: Bangunin kamu. Terus si Mamah peka lagi: Pasti lapar baru bangun. Si Mamah langsung aksi memasak di dapur.”

Sengaja penjelasan itu saya gunakan volume kencang biar terdengar sekelas. Wajah si siswa tenggelam. Matanya seperti tidak nyaman.

“Nah, lain kali, amati dengan betul. Bisa saja tugas ini kalian anggap ringan, asal jadi. Salin pekerjaan teman, misalnya. Tapi, terus terang: pengalaman selalu menjadi guru terbaik. Saya tidak bisa memberi pengalaman itu di kelas. Kalian yang bisa mengalami sendiri prosesnya di rumah masing-masing. Itu pengalaman yang mahal. Kepekaan inderawi diasah. Bila mata, hidung, telinga, lidah, kulit sudah peka, hatimu akan lebih peka. Nantinya, indera ketujuh bisa ikut peka: intuisi.”

 

(bersambung...)

PENGALAMAN BELAJAR TEKS LAPORAN HASIL OBSERVASI [#1]

 Kesan pertama begitu menggoda. Selanjutnya, terserah Anda!

Bila ada yang tahu kutipan iklan tersebut, Anda mungkin seumuran dengan saya. Kutipan itu saya terapkan pada kegiatan pembelajaran di awal tahun pembelajaran baru, di kelas baru, di siswa baru.

"Belajar apa kita hari ini?"

Pertanyaan itu membuat kebanyakan siswa bingung tak bisa menjawab.

"Kalau melihat dari buku paket, sekarang kita belajar Teks Laporan Hasil Observasi, Pak," ucap salah seorang siswa rajin.

"Mantap! Kamu siswa cerdas. Pastinya sudah membaca buku paket terlebih dahulu di rumah," balasku padanya dengan sedikit bangga.

"Enggak, Pak. Saya baru buka buku paket barusan, Pak," jawabnya polos, tetapi dengan wajah bersemangat.

"Baiklah, laporan hasil observasi. Ini materi yang keren. Bisa jadi bekal untuk sumber ilmu lainnya. Mari kita pelajari bersama-sama dengan penuh perhatian!" seruku dengan nada memotivasi.

"Siap, Pak!" jawab para siswa serempak.

"Nah, ada tiga kata nih: laporan, hasil, dan observasi. Mana nih yang perlu kita bahas duluan?"

Jawaban siswa sangat variatif berikut alasan-alasannya. Paling banyak jawabannya ialah laporan.

"Begini, sebetulnya yang paling penting kita pelajari lebih dulu ialah observasi. Nah, dari observasi itulah kita akan memperoleh hasil, dan hasil itulah yang akan menjadi acuan dalam menyusun laporan."

Hampir seluruh siswa mengucap "ooo" dan sebelum mulut mereka rapat kembali, saya ajukan pertanyaan sederhana, "Apa yang ada di benak kalian saat mendengar kata 'observasi'?"

Sejenak hening. Hingga beberapa saat kembali ramai dengan beragam jawaban.

"Penelitian, Pak!"

"Wah, serius amat penelitian, hehe..."

"Analisis, Pak!"

"Owh, sepertinya observasi itu sulit, ya?" timpalku santai.

"Mengklasifikasi, Pak!"

"Wah, keren amat bahasanya! Hehe... Kita sederhanakan saja. Intinya, observasi itu pengamatan. Ya, kalau mengobservasi ya kegiatannya ya mengamati. Sesederhana itu."

Hampir seluruh siswa mengucap "ooo" dan sebelum mulut mereka rapat kembali, saya ajukan beberapa pertanyaan enteng, "Mengapa kita harus mengobservasi? Apa yang harus kita observasi? Bagaimana cara kita mengobservasi? Ayo dijawab!"

Sejenak hening. Hingga beberapa saat kembali ramai dengan beragam jawaban.

"Kucing!"

"Benda, Pak!"

"Fenomena alam, Pak!"

"Biar kita paham, Pak!"

"Pake teropong, Pak!"

"Pake ilmu atuh, Pak!"

Dan aneka jawaban asbun lainnya.

"Nah, biasanya kalau kita mengamati sesuatu itu karena punya motivasi yang kuat. Misal, kamu terpesona sama salah satu siswi di kelas. Kamu pasti melakukan pengamatan yang lebih mendetail, mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki, sampai hafal minyak wanginya, lokasi rumahnya, tahu kebiasaannya, makanan favoritnya, dst."

"Eaa... eaa... eaa...."

"Nah, begitulah. Modal dasarnya kudu punya motivasi intrinsik untuk mengamati. Mengamati apa? Alam semesta. Biar apa? Biar kenal sama penciptanya. Caranya? Gunakan pancaindera, bila mampu ya sama indera ketujuh (hatimu). Biar apa? Biar lebih peka. Peka pada apa? Pada pertanda alam semesta."

"Uwoww... amazing, Pak!"

"Tapi kok di buku paket gak ada penjelasan itu?" Tanya salah seorang siswi.

"Makanya, saya hadir bukan sebagai juru bicara buku paket, tetapi untuk melengkapi keterbatasan buku paket. Biar apa? Biar ilmu yang kamu dapat itu utuh," jawabku santai.

"Mantap, Pak!"

"Nih, ingat juga yang ini. Ada yang namanya fokus pengamatan. Biar apa? Biar hasil pengamatannya gak ngeblur."

"Maksudnya bagaimana, Pak?"

"Nih, contoh kecil: semut. Semut kan kecil, kan? Hehe... misal ada dua orang yang mengamati semut. Yang satu fokus pengamatannya ke struktur tubuh semut. Yang satunya lagi fokus pengamatannya ke interaksi sosial semut. Pasti akan berbeda proses pengamatan yang dilakukan, dan hasilnya pun jelas akan berbeda. Kalau gak difokusin, pasti bakal bingung: apanya yang harus diamati? Kitu."

Hampir seluruh siswa mengucap "ooo" dan sebelum mulut mereka rapat kembali, saya sambung, "Nah, nanti coba kalian laksanakan misi rahasia di rumah masing-masing. Anggap sebagai latihan. Misinya: mengamati aktivitas orang rumah, mulai ia bangun hingga tidur lagi. Kalian tentukan satu saja yang paling menarik untuk diamati. Bisa ayah, bisa ibu, boleh kakak, boleh adik. Terserah. Yang penting, kerahkan semua indera yang kamu punya untuk pengamatan! Catat hasilnya. Ingat, ini misi rahasia. Jangan sampai ketahuan kalau kalian sedang mengamati. Bila perlu, membaur saja. Kalau sudah selesai, ucapkan terima kasih padanya."

"Wah, seru kayaknya, Pak!"

"Nah, sekarang untuk latihan misi rahasia, coba kalian amati satu orang yang ada di kelas ini. Terserah mau siapa saja, yang penting dia jangan sampai tahu kalau kamu sedang mengamati dia. Biar hasil pengamatannya gak ngeblur, apa fokus pengamatannya? Temukan ciri khas orang yang kamu amati! Mungkin fisiknya, sifatnya, kebiasaannya, atau yang lainnya. Catat hasilnya sedetail mungkin. Siap?"

"Siap, Pak!" Jawab mereka serempak.

(bersambung ke bagian #2)

06 Februari 2018

IKHLAS

Aku masih ingat betul Senin kemarin itu adalah pertemuan terakhirku mengajar di kelas itu. Senin depan, mereka sudah harus menghadapi ujian akhir semester. Masih sangat jelas hari itu aku memberikan tagihan akhir berupa tugas menulis teks ulasan film yang sudah pernah mereka tonton.
“Anak-anak, belajar bahasa itu di mana-mana sama saja, hanya belajar mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Pada pertemuan-pertemuan sebelumnya, kalian sudah pernah mempelajari contoh-contoh teks ulasan film, presentasi mengulas film yang sudah kalian tonton secara berkelompok di depan kelas. Sekarang saatnya kalian belajar menulis. Silakan kalian buat secara tertulis di kertas selembar teks ulasan dari film yang sudah pernah kalian tonton yang menurut kalian paling menarik! Ingat, menulis itu berbeda dengan mengarang. Mengarang itu mengada-ada, pura-pura mampu,  sedangkan menulis mah apa adanya, semampunya. Dan, menulis tingkat SMA itu berbeda dengan tingkat SD. Kalau menulis tingkat SD itu menyalin tulisan, sedangkan tingkat SMA mah menuangkan ide dan gagasan. Jadi, kalian tidak saya perkenankan menyalin teks ulasan dari mbah gugel. Tulis saja sebisanya, semampunya. Kalau ada kesulitan, silakan tanyakan. Jelas, ya. Ada pertanyaan?”
“Belum ada, Pak!”
“Banyak, di soal UKK!”
“Hahaha... Bapak mah bisa aja.”
“Ingat ya, menulis, bukan mengarang ataupun menyalin! Silakan.”

* * *

Lembaran kertas tugas siswa dari tiga kelas yang kuajar kini menumpuk di depan mataku. Malas aku mengoreksinya. Sebenarnya aku bukan tipe guru pemalas, sungguh. Tapi nyatanya kali ini aku benar-benar malas. Meliriknya saja kini aku enggan. Ingin kubakar saja kertas-kertas itu biar mampus. Muak aku dengan kertas. Betapa tidak, baru beberapa kertas kubaca, sudah tercium bau gugel. Kucoba baca kertas-kertas lainnya secara random, hampir semuanya rasa gugel, terutama di kelas yang satu itu. Padahal sudah kuingatkan, tulis sebisanya, jangan menyalin.
Apa susahnya sih mengulas film? Menceritakan kembali alur film dengan bahasa sendiri, kemudian menilai kelemahan dan kelebihan film dengan pemahaman sendiri, apa sulitnya? Kalau merasa sulit kan bisa bertanya ke gurunya. Apalagi yang sulit?
Ah, jelas sudah. Intinya, mereka semua tidak ada keinginan untuk belajar. Berangkat sekolah hanya untuk status pelajar. Ngakunya saja pelajar, tetapi ketika disuruh belajar malah ogah-ogahan. Maunya hanya santai-santai, kumpul becanda haha hihi dengan teman-teman, bahkan ada yang cuma numpang pacaran. Dasar pelajar palsu.
Anak sekolah zaman sekarang yang dikejar hanya angka bagus di rapor, tak peduli dengan cara etis ataupun tidak. Tak pernah saya lupakan bagaimana hebatnya aksi mereka ketika mengerjakan soal UTS kemarin, menyontek berjamaah. Sebal aku mengenangnya. Harusnya yang mereka kejar itu adalah nilai, nilai keuletan, nilai kerja keras, nilai kepercayaan diri, nilai pantang menyerah, nilai kejujuran, bukannya angka. Sudahlah, biar kali ini mereka semua kuberi angka kecil saja di rapor, biar tau rasa. Titik.

* * *

Pukul dua dini hari. Aku masih duduk melamun di meja kerja bersama kertas-kertas tugas siswa yang belum juga kubakar. Mataku sudah spaneng 5 watt, tapi kekesalan masih menyala terang di hati dan kepala. Tiba-tiba remang-remang terbayang seraut wajah penuh keteduhan, dengan senyumnya yang khas. Dia adalah guruku. Guru skripsiku waktu di kampus dulu, sudah sangat lama sekali. Tatapan matanya yang lembut mampu menghapus lelahku setelah berdesak-desakan di kereta antara Bogor-Cikini, berpanas-panasan dalam kemacetan bus Rawamangun. Senyum khasnya itu, mampu memompa semangatku untuk segera menyelesaikan skripsi dengan literatur yang memadai dan kualitas analisis yang mendalam. Selama kurang lebih tiga setengah tahun kuliah, rasanya ketika menyusun skripsi itulah aku benar-benar merasa belajar. Dialah dosen satu-satunya yang benar-benar menjadi guruku.
Kuingat saat ia mengajak kami menyanyi pada acara wisuda: Kasih ibu kepada beta / Tak terhingga sepanjang masa // Hanya memberi, tak harap kembali / Bagai sang surya menyinari dunia //. Kemudian ia berpesan, “Begitulah seharusnya seorang guru, ikhlas seperti kasih ibu, seperti mentari, hanya memberi, tak harap kembali.”
Astagfirullah. Selama ini aku lupa. Aku terlalu banyak mengharap. Mengharap pemikiran siswa harus sama denganku. Mengharap kemampuan siswa harus sama denganku. Jelas-jelas pemikiran anak remaja jauh berbeda dengan orang dewasa. Jelas-jelas kemampuan anak SMA tidaklah sama dengan sarjana. Aku terlalu banyak mengharap, lupa memberi. Bukannya memberi pembelajaran yang menyenangkan, malah memberikan kekesalan dan kemarahan. Astagfirullah. Aku lupa memberi. Aku harus introspeksi. Mungkin metode mengajarku salah, mungkin kurang media pembelajaran, mungkin gestur dan mimik mukaku salah, mungkin memang banyak kurang dan salah. Aku harus banyak memberi, jangan banyak berharap. Maafkan gurumu yang lalai ini, Nak!
Di sepertiga malam terakhir itu, aku bergegas merapikan lembaran kertas kerja siswa yang berserakan. Kubawa kertas-kertas itu ke luar rumah. Udara di luar terasa dingin sekali. Kupandangi langit, ternyata sepi dari bintang-bintang. Biarlah langit kelam ini menjadi saksi. Dengan mengucap basmalah, kubakar kertas-kertas itu dengan gelora semangat dalam dada, “Nak, kita mulai dari nol, ya!”

Jonggol, 13/06/2017