22 Januari 2008

SERAKAH

Karya: Edyar Rahayu Malik

Di sebuah kota besar di Jawa Barat, tepatnya di Bandung, hiduplah tiga pemuda piatu bersaudara yang kaya raya. Ayahnya bernama Hendra Purnama Cahyawiguna, seorang pengusaha, pemilik PT Hendra Jaya. Ketiga pemuda itu masing-masing bernama Herman, Doni, dan Yudi.

Herman bekerja di perusahaan ayahnya sebagai karyawan biasa. Doni masih harus menyelesaikan kuliahnya di Unpad, Bandung, Jurusan Manajemen Akuntansi. Yudi adalah anak yang paling cerdas di antara kedua kakaknya itu. Lulus SMU, ia mendapat beasiswa untuk berkuliah di Australia. Yudi memang anak yang paling disayangi oleh ayahnya. Tentu saja hal ini membuat Herman dan Doni merasa cemburu karena diperlakukan tidak adil.

Nah... sekarang, mari kita saksikan ceritanya bersama-sama! Selamat menyaksikan!


BABAK I

Suatu pagi...

Herman:
Mang Ucup! Makanannya mana? Sudah telat, nih!

Doni:
Iya, Mang Ucup! Perut saya sudah berdemo, nih! Pingin cepet diisi! (di meja hanya ada piring, pisau, dan garpu)

Ucup:
Sabar atuh Juragaan... (asup) Nih, hidangannya sudah datang... ini rotinya... ini selenya... minumannya ditunggu sebentar, ya! (ka dapur deui)

Bapak:
(datang) Herman! Doni! Tadi malam, Yudi telpon ke HP Bapak. Katanya, pagi ini ia akan pulang.

Doni:
Oh... pulang, ya! (sinis)

Bapak:
Iya, hari ini kan hari ulang tahunnya.

Herman:
Wah, ingatan Bapak ternyata masih kuat juga, ya!

Ucup:
(datang) Nah, ini minumannya, susu sapi murni, diperas langsung dari biangnya.... Ini buat Agan Doni... Ini buat Agan Herman... Ini spesial buat Agan Bapak, hehe... (leumpang ka dapur)

Bapak:
Mang Ucup! Di sini saja atuh sarapannya sama-sama!

Ucup:
Ah, tidak usah! Mamang mah di belakang saja, da Mang Ucup mah orang kecilan, derajatnya oge beda...

Bapak:
Eh... jangan begitu, Mang Ucup! Mang Ucup, kita ini di hadapan Allah SWT adalah sama. Yang membedakannya teh Cuma takwa. Begitu, mang Ucup!

Ucup:
Iya, Pak! (nyengir)

Bapak:
Hayo atuh, sini! (ngagupai)

Ucup:
Iya... iya... Mang Ucup ngambil piring dulu! (ka dapur deui)

Doni:
Pak, hari ini Doni sama temen-temen mau pergi manjat ke Gunung Gede. Duitnya dong, Pak! (nyokot roti)

Bapak:
Memangnya kamu tidak kuliah hari ini? (roti diselean)

Doni:
(cicing heula) Ah, males, Pak! (nyokot sele)

Bapak:
Kamu ini, kuliah sudah tujuh tahun nggak lulus-lulus! Kerjamu Cuma manjat saja! Lihat adikmu Yudi! Ia rajin, tekun, ulet! Sekarang dia dapat beasiswa untuk kuliah di Australi!

Doni:
Ah, Bapak! Yudi lagi... Yudi lagi...! (ngakan roti)

Bapak:
Ah... kamu juga, Herman!

Herman:
Lho... kok jadi ke saya?

Bapak:
Iya, kamu juga sama saja! Kata karyawan Bapak, kamu jarang masuk kantor, ke mana saja kamu?

Herman:
Ini juga gara-gara Bapak!

Bapak:
Lho?

Herman:
Bapak cuma menempatkan saya sebagai karyawan biasa. Padahal kan saya ini anaknya Bapak, anak Bapak Hendra Purnama Cahyawiguna, Direktur Utama PT Hendra Jaya.

Bapak:
Herman! Semuanya harus di mulai dari bawah! Ini Bapak lakukan agar kamu tahu artinya “kerja keras”. Tidak mungkin ada angka 10 kalau tidak ada angka 1. kalau kamu rajin, tentu Bapak akan menaikkan posisimu. (diam sejenak, suasana menegang) Contohlah Yudi! Ia anak yang baik, rajin, tekun, hormat sama orang tua.... Seharusnya kalian berdua malu sama adik kalian itu!

Herman:
Ah... sudahlah! (ngahuap roti)

Ucup:
(datang, bengong)

Bapak:
Eh, Mang Ucup! Ayo duduk sini, jangan bengong!

Ucup:
Iya.... (diuk, nyokot roti+sele=dahar)

Suasana menjadi hening. Mereka menikmati sarapan pagi dengan kesunyian. Pak Hendra tidak menghabiskan rotinya. Ia langsung mengambil gelas berisi susu murni dan meminumnya seteguk saja. Herman dan Doni pun ternyata mengambil tindakan yang sama. Hanya Mang Ucup saja yang terlihat aktif dan agresif.

Tiba-tiba...

Bapak:
Aaa... (kejang-kejang seperti yang kena serangan jantung)

Ucup:
Hah... (kaget) Bapak...?!!

Doni & Herman:
Bapak... (sarua kaget, kabeh narenjokeun doang)

Ucup:
Aduh... kumaha ieu?

Doni:
Mang Ucup, ayo kita gotong ke kamar! (kabeh ngagarotong Bapak ka kamar, teu lila...)

Doni:
(jol ti kamar, mencetan HP rek nelepon) Halo... halo... Dr. Sigit... ini Doni, Dok! Dok... Bapak kejang-kejang, Dok! ...Tidak tahu, Dok! ...Iya, Dok! Iya... cepat ya, Dok! Terima kasih! (mondar-mandir, diuk, gelisah)

Herman:
(jol)

Doni:
Bagaimana keadaan Bapak?

Ucup:
(di jero kamar keneh) Agaaan... tolong.... Juragan Bapak ngabudaah... kaluar busa... tolong... aduuh tolong....

Doni & Herman:
(reuwas, asup ka kamar) Bapak... Bapak...

Dr. Sigit:
Asalamualaikum!

Doni:
Waalaikum salam! (datang, muka panto) Eh, Pak Dokter! Ayo cepat, Dok! Bapak, Dok! (metot dokter ka kamar) Ayo, Dok!

Dr. Sigit:
Tenang! Kalian semua di luar dulu! Biarkan saya bekerja! (kalaluar)

Ucup:
Aduh, Agaan! Mamang mah hawatir, takut terjadi apa-apa sama Bapak! Bapak mah orangnya baik, baiiik banget!

Doni:
Ah, ada apa ini? Padahal Bapak tidak punya penyakit jantung!

Herman:
Ya... kita doakan saja, semoga tidak terjadi apa-apa...

Ucup:
Mamang ka dapur dulu, ya! Mau bikinin air buat Pak Dokter! (ka pawon)

Doni:
Kak Her, selintas saya sempat berpikir, rasanya saya senang juga kalau misalnya bapak meninggal...

Herman:
(heran, dahi mengkerut)

Doni:
Selama ini bapak bersikap tidak adil sama kita. Bapak sepertinya benci sama kita. Mungkin karena kita adalah anak tirinya. Bapak lebih perhatian sama Yudi. Kak Herman juga berpikiran seperti itu, bukan?

Herman:
(diam sejenak) Ha... ha... ha...

Doni:
(kaheranan) Kak Her, kenapa Kak Her tertawa?

Herman:
Ha... ha...! Adik, (nyekelan taktak Doni) justru Kak Her-mu ini lebih senang lagi kalau bapak mati! Dia memang harus mati! Ha... ha... ha...

Doni:
Kak Her, apakah Kak Her meracuni bapak?

Herman:
Ya, kamu benar! Ha... ha...! Aku menaruh racun itu di atas piringnya! Ha... ha... ha...

Doni:
Kak Herman gila!

Herman:
(terdiam)

Doni:
Kak Herman bisa masuk penjara...

Herman:
Ha...ha... tenanglah, Dik! Bukan Kak Herman yang akan masuk penjara, tapi Si Ucup! Ha... ha... ha...

Doni:
Mang Ucup? Bagaimana bisa begitu?

Herman:
Adik, yang menyiapkan sarapan Si Ucup, bukan! Jadi... siapa lagi yang akan jadi tersangka... ha... ha...

Doni:
(mikir) Eh, tunggu dulu! Perasaan tadi saya lihat, bapak tidak menggunakan piringnya...

Herman:
Lho? Tapi kenapa bapak kejang-kejang? Mm... mungkin ada orang lain yang meracuni bapak, tapi tidak di piringnya... mungkin di minumannya...?

Doni:
(mikir) Apa mungkin Mang Ucup?

Herman:
Si Ucup? (mikir) Mungkin juga...

Doni:
Biar nanti kita interogasi saja dia, kak Her!

Bapak:
(di kamar) Aa... Aa... (ngajerit) Aa... (ngalaunan) Aa... (eureun weh)...

Herman dan Doni mendengarkan jeritan itu dengan penuh perhatian. Tidak lama kemudian, Dr. Sigit keluar dari kamar Pak Hendra.

Doni:
Bagaimana, Dok?

Herman:
Apakah bapak meninggal?

Dr. Sigit:
Alhamdulillah bapak kalian masih selamat. Beliau keracunan, tapi untung saya cepat datang. Kalau tidak, ...waduh!

Doni:
Jadi bapak tidak meninggal?

Dr. Sigit:
Tentu saja tidak! Apa kalian tidak merasa senang?

Herman:
Tentu saja kami senang, Dok!

Dr. Sigit:
Ya, sudah! pak Hendra sudah saya kasih obat tidur. Kalau sudah siuman, kasih minum obat ini. Ini untuk mengeluarkan racun yang masih tersisa di dalam tubuhnya. Sebagian besar, racunnya sudah saya keluarkan. Diminum tiga kali sehari. Dan ini multivitaminnya.

Doni:
Iya, Dok!

Dr. Sigit:
Kalau begitu, saya permisi... ada pekerjaan lain di rumah sakit.

Doni:
Terima kasih ya, Dok! (salaman)

Herman:
Terima kasih banyak ya, Dok! (salaman keusrak)

Dr. Sigit:
Sama-sama! Mari... (indit)

Ucup:
(jol mawa cai, culang-cileung) pak dokternya mana?

Herman:
Sudah pulang.

Ucup:
Sudah pulang? Padahal sudah dibikinin teh, ee... malah buru-buru pulang... nggak apa-apa, biar Mamang minum sendiri... mubajir! (nginum teh) O, ya! Bapak bagaimana?

Herman:
(menatap tajam ka Ucup, ngadeukeutan Ucup)

Ucup:
Ada apa, Aden? Apa Mamang salah ngomong?

Herman:
Heh, Ucup! Apakah kamu yang meracuni bapak? (bari ngabenyeng baju)

Ucup:
Hah? Bapak diracun? Siapa yang meracuninya?

Herman:
Alaah... jangan belaga poloskau! Kamu kan yang meracuni bapak!

Ucup:
Ampun, Den! Bukan saya, Den! Mana berani Mamang meracuni bapak. Ampun, Den! Ampuun...

Herman:
Huh! (dileupaskeun) Kamu pintar juga bersandiwara!

Ucup:
Aduh, Den! Sandiwara apaan...? Sumpah, bukan Mamang!

Doni:
(ngaharewos rada tarik) Kak Her, sepertinya Mang Ucup tidak berbohong. Biar saya saja... mang Ucup, apa mamang memasukan sesuatu ke dalam makanan atau minuman bapak?

Ucup:
(mikir) Oo... iya... tadi subuh sebelum kalian pada bangun, Den Yudi datang. Dia ngasih sebutir obat ke Mang Ucup buat dimasukin ke minumannya bapak. Katanya multivitamin, biar bapak tetap vit.

Herman:
Oh, jadi Si Yudi sudah datang! Kenapa tidak bilang?

Ucup:
Kata Den Yudi, dia mau bikin kejutan buat bapak. Makanya Mamang tidak bilang siapa-siapa.

Doni:
Sekarang dia ada di mana?

Ucup:
Oo... tadi subuh dia pergi lagi. Katanya mau beli kue buat acara ultahnya.

Herman:
Hm... berarti Si Yudi yang meracuni bapak!

Ucup:
Ah, tidak mungkin! Den Yudi orangnya baik!

Yudi:
(jol mawa kue ultah) Ha... ha... Mang Ucup, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.

Doni & Herman:
Yudi?!!

Yudi:
Mang Ucup! Obat yang tadi saya kasih ke Mamang memang bukan multivitamin, tapi racun!

Ucup:
Hah! (reuwas) Mamang tidak menyangka kamu sekejam ini! (sedih)

Yudi:
Sudah saya bilang, kan! Saya mau kasih kejutan, dan inilah kejutannya. Ha... ha... (ngesotkeun kue)

Ucup:
Mamang kecewa... Mamang sedih... (begeg)

Yudi:
Sudahlah! Ini hari ulang tahunku! Jangan ada yang bersedih! (ngusapan tonggong Ucup)

Herman:
Yudi! Saya juga tidak menyangka kalau kamu bisa sejahat ini! Tetapi, apa yang membuatmu melakukan hal ini?

Yudi:
Kak Her, aku sudah cape belajar terus... aku ingin hidup santai, menikmati kehidupan ini dengan kekayaan bapak yang melimpah.

Doni:
Rupanya kamu “busuk” juga, Yudi!

Yudi:
Sudahlah! Aku tidak suka mendengar kata itu! Kita satu tujuan, bukan! Mengapa tidak bekerja sama saja? (ngajak salaman)

Doni & Herman:
Hm... boleh juga! (salaman, Mang Ucup mewek keneh teu eureun-eureun)

Yudi:
O ya, bagaimana dengan bapak? Apakah sudah mati?

Herman:
Bapak masih selamat. Ini gara-gara Doni menghubungi Dr. Sigit. Sekarang bapak sedang tidur di kamar.

Yudi:
Sudahlah! Itu tidak masalah! Nanti kalau dia sudah bangun, kita ceki8k dia sampai mampus! Ha... ha... sekarang ayo kita berpesta! Mang Ucup, bekas sarapannya diberesin dulu, dong!

Ucup:
(ngaberesan ka dapur bari ingsreuk-ingsreukan)

Doni:
(nyeuneut lilin ultah)

Herman:
Ayo kita berpesta! Panjang umurnya... (nyaranyi sadayana)

Doni:
Ayo ditiup lilinnya!

Yudi:
(niup lilin) Ha...ha...

Herman:
Happy birthday to you... (nyaranyi sadayana)

Doni:
Ayo potong kuenya!

Bapak:
(kaluar ti kamar) Yud... kamu sudah pulang?

Doni & Herman:
(reuwas) Bapak!?!

Yudi:
Ayo Pak, ke sini! Eh, mang Ucup mana?

Herman:
Sudahlah! Barangkali lagi sibuk di dapur!

Yudi:
Ayo Pak, ke sini! (motong kue, Bapak nyampeurkeun) Nah, ini buat Bapak!

Bapak:
Terima kasih, Yud! Selamat ulang tahun! Semoga kamu panjang umur dan sehat selalu!

Yudi:
Terima kasih, pak! Nah, ini buat Kak Her! Ini buat Kak Doni! Ayo dimakan kuenya!

Doni:
Kamu tidak makan?

Yudi:
Ah, saya masih kenyang. Ayo dimakan! (kabeh ngadalahar)

Herman:
Yud! (mere isyarat ka Yudi)

Yudi:
(mere isyarat ka Doni)

Doni:
(ungkleuk, terus nyekek bapak)

Bapak:
Aaa... Yudi... tolong...

Herman:
Lebih kuat lagi, Don! Ayo... (mere semangat)

Yudi:
(nyengir)

Bapak:
Aaa... (koid)

Herman:
Kau hebat, Dik!

Yudi:
(mere acungan jempol, Doni seuri)

Doni:
Sekarang bapak sudah mati! Berarti, seluruh harta bapak menjadi milik kita!

Herman:
Benar! Tinggal kita bagi tiga saja! Aku 40%, Doni 35%, dan kau, Yud 25%.

Doni:
Kak Her, kita bagi rata saja!

Yudi:
Jangan! Harta itu semuanya akan jadi milikku! Perusahaan, rumah, deposito... semuanya jadi milikku!

Herman:
Hey, kenapa bisa begitu?

Yudi:
Tentu saja bisa, karena kalian berdua sebentar lagi akan mati!

Doni & Herman:
Hah?

Yudi:
Ha... ha... kue ultah ini sudah saya kasih racun yang paling ampuh. Tadi kalian sudah memakannya, bukan! Ha... ha... kalian memang bodoh! Haha...

Doni & Herman:
Kurang ajar! Aa... (karacunan)

Yudi:
Ha... ha... aku memang pintar! Polisi tidak akan tahu kalau aku pelakunya, karena tidak ada bukti yang mengarah padaku. Ha... ha... ha... Kak Her, Kak Don, salam ya sama malaikat maut! Dadah... haha.... (tengil)

Doni & Herman:
Aa... (modar)

Yudi:
Haha... sempurna! Haha... hey, tunggu dulu... tidak boleh ada saksi satu orang pun... Mang Ucup... ya, aku harus segera membereskannya!

Ucup:
(jol) Yud, sadarlah! Minta ampun sama Alloh! Serahkan diri Aden sama polisi untuk menebus dosa-dosa Aden!

Yudi:
Mang Ucup?! (reuwas)

Ucup:
Yud, kamu anak baik! Mamang teh sayang ka Yudi... bertobatlah!

Yudi:
Mang... (meberkeun leungeun hayang ditangkeup) Mang Ucup... (ekting bari ceuceurikan)

Ucup:
(nyampeurkeun) Yud... (nangkeup Yudi)

Yudi:
Yudi nyesel, mang! (leungeunna ngagaradah kana peso) Mang Ucup! (cleb, ditojoskeun ka Ucup)

Ucup:
Aaa.... (nyokot peso na cangkeng)

Yudi:
Ha... ha...

Ucup:
Yud... (cleb, ditojoskeun ka Yudi)

Yudi:
Aaa... (ngajoprak)

Ucup:
Astaghfirullaahal’azhiim... Allaahu akbar... (paeh)

Demikianlah! Akhirnya, semuanya mati. Ini semua terjadi akibat dari keserakahan. Kisah ini mengajarkan kepada kita untuk tidak serakah dalam hidup ini. Keserakahan akan menjerumuskan kita ke lembah kenistaan. Diharapkan kita juga dapat menjauhi sifat hasud, dengki, dan iri hati. Selain itu, seyogianya kita dapat bersikap adil kepada setiap orang di sekitar kita agar tidak menimbulkan sifat hasud, dengki, dan iri hati di hati orang lain.

Para hadirin, memang kisah ini hanyalah fiktif belaka. Namun, bukannya tidak mungkin hal ini dapat terjadi di dunia nyata. Maka, waspadalah! Harapan kami, semoga kisah ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Amin.

Sekian. Terima kasih.

19 Januari 2008

Perawan Tua


Aku adalah seorang dosen perempuan. Umurku sudah mencapai 30 tahun, tetapi sampai saat ini aku belum juga berumah tangga. Pacar pun aku tak punya. Memang, sedari dulu sampai sekarang aku belum pernah merasakan yang namanya pacaran.
Aduh, aku cemas. Mungkin ini sudah nasib. Aku memang kurang laku di pasaran. Terang saja, tubuhku gemuk, mukaku bulat, hidungku pesek, suaraku besar, rambutku ikal. Ah… Ya Tuhan, aku malah mencela hasil karya-Mu.
“Hari ini aku merasa bahagia sekaligus cemas. Kemarin, aku mendapat kenalan cowok dari chatting. Orangnya asyik dan cepat akrab. Ia mengirimkan fotonya lewat e-mail. Dia balas minta fotoku, Rin. Aku bingung,” kataku kepada Bu Ririn, kepala Laboratorium Microteaching sekaligus teman curhatku di kampus.
“Siapa namanya?”
“Namanya Edo.”
“Umurnya berapa tahun?”
“Katanya sih 25 tahun.”
“Tidak terlalu berbeda jauh denganmu. Sudah bekerja apa belum?”
“Ia seorang dosen.”
“Dosen mana?”
“Tidak tahu. Dia tampan, Rin. Sepertinya aku jatuh cinta kepadanya. Dia minta fotoku. Bolehkah aku mengirimkan fotomu, Rin?”
Ririn adalah sahabatku yang paling mengerti aku, meskipun umurnya lebih muda dari aku. Ia baru 25 tahun, tetapi sudah berumah tangga. Dia cantik, juga pintar. Itulah sebabnya ia dipercaya sebagai Kepala Laboratorium Microteaching.
“Rin, bagaimana, kamu bisa bantu aku tidak?”
“Santi, sebaiknya kamu berani jujur. Sudah sepuluh kali kauminta fotoku, dan sudah sepuluh kali juga kaukecewakan sepuluh laki-laki.”
“Rin, aku tidak pede. Kautahu kan aku ini jelek. Aku....”
“Santi, jangan suka mencela diri sendiri,” ia memotong pembicaraanku. “Kamu harus yakin bahwa kejujuran itu adalah suatu keberanian, dan keberanian adalah awal dari kemenangan.”
Ia memang sering berbicara seperti itu––sedikit filosofis––kepada setiap orang, tetapi aku tidak begitu mengerti apa yang ia maksudkan.
“Rin, tolonglah mengerti aku! Izinkanlah, sekali ini saja,” pintaku.
“Kalau itu maumu, tapi ini yang terakhir kali,” ucapnya mengabulkan.
Kukirimkan foto Ririn kepadanya. Aku sudah agak sedikit tenang sekarang. Mudah-mudahan kali ini aku berhasil. Aku malu sebagai anak sulung. Adik-adikku semuanya sudah menjalin bahtera rumah tangga.

* * *

“Rin, dia mengajakku ketemuan. Kamu tahu tidak, dia sempat memujiku lewat e-mail. Katanya aku cantik. Aku cukup senang meskipun itu hanya sebuah pujian semu.”
“Kamu mau ketemuan di mana?”
“Dia mau datang ke sini, Rin, sekarang.”
“Sekarang?”
“Ya, Sekarang!”
Kening Ririn terlihat mengkerut. Ah, aku tidak terlalu memikirkannya, tetapi di dekat pintu TU kulihat sesosok lelaki bertubuh gemuk sedang bercakap-cakap dengan Kepala TU yang sepertinya tubuh gemuk itu aku kenal.
“Rin, kamu kenal lelaki yang sedang berbicara dengan Pak Salim––Kepala TU––itu? Sepertinya aku pernah mengenalnya,” tanyaku penasaran.
“O, dia ‘kan Pak Dirman. Dulu ‘kan dia pernah menjadi staf di sini. Kamu juga mengenalnya, ‘kan,” jawabnya.
Dirman. Ya, aku pernah mengenalnya dan memang aku memang kenal dengannya. Dulu sewaktu dia masih bertugas di sini, dia sempat menembakku, tapi aku menolaknya. Dia sama seperti-ku; bertubuh gemuk dan berambut ikal. Satu lagi, kulitnya hitam. Aku membencinya.
“San, dia ke sini,” ucap Ririn.
“Mau apa dia ke mari. Jangan-jangan mau mengacaukan pertemuanku dengan Edo, kenalanku di chatting,” bisikku pada Ririn.
“Hai, Santi! Kita bertemu lagi,” Dirman menyapaku, mengajakku bersalaman.
“Ada urusan apa kamu datang ke mari?”
“Kamu lupa, ya! Kita ‘kan sudah janjian!”
“Janjian?” Sudah kuduga dia mau mengacaukan pertemuanku dengan Edo. “Sebaiknya kamu pergi dari sini daripada kamu sakit hati. Sebentar lagi aku mau ketemuan sama Edo, calon suamiku. Dia tampan, tidak seperti kamu.”
“Santi, Edo itu aku!”
“Sudahlah, jangan suka mengada-ada!”
“San, sebaiknya aku pergi, ya,” Ririn merasa tidak enak menyaksikan percekcokan kami. Dia pergi. “Permisi!”
“Santi, kamu lupa ya namaku. Aku Edo, Edo Sudirman. Memang rekan-rekan di sini memanggilku dengan nama Dirman.”
Aku jadi pusing mendengarnya. Jangan-jangan dia itu memang Edo. Kalau benar demikian, aku akan sangat malu.
“Aku tidak percaya! Edo pernah mengirimkan fotonya lewat e-mail. Dia tampan, tubuhnya kekar dan kulitnya putih.”
“Santi, itu hanya taktik. Aku mengirimkan foto supirku. Sekarang dia sedang menungguku di luar. Kalau kamu mau sama dia, silakan temui dia, tapi dia hanya seorang supir.”
Aku tersentak mendengarnya.
“Sekarang aku menjadi dekan di kampus baruku,” ucapnya, tetapi aku sama sekali tidak mempedulikannya.
“Kamu memang pengecut, tidak berani mengirimkan fotomu sendiri!”
“Kamu juga melakukan hal itu padaku, bukan?”
Aku jadi malu sendiri––senjata makan tuan. Aku menjadi salah tingkah. Sms masuk. Aku membukanya. Dari Ririn. Katanya, ’Jangan suka jual mahal’.
“Dari siapa, San?”
“….” Aku salah tingkah. Aku segera memasukkan handphone ke dalam tas.
“Santi, kamu tahu ‘kan sudah sejak lama aku mencintaimu. Dulu kamu menolakku karena aku ini jelek dan aku hanya seorang dosen yang berpenghasilan kecil. Sekarang aku kembali dengan penampilan yang berbeda. Selain menjadi dekan di tempat baruku, aku juga membuka usaha anyaman, dan aku sukses. San, sekarang aku sudah mapan dan mendambakan seorang pendamping hidup.”
Aku hanya bisa diam seperti patung mendengar semua ucapannya.
“Aku juga sadar tidak bisa merubah penampilanku yang jelek ini, tetapi yakinlah bahwa hatiku tak sejelek lahiriahku. Aku mencintaimu, Santi.”
Aku malah menangis sejadi-jadinya. Jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku juga mencintainya. Bukan karena penampilannya yang jelek, bukan pula karena dulu ia hanya seorang dosen yang berpenghasilan kecil, bukan karena itu dulu aku menolaknya, tapi hanya karena gengsikulah yang menutupi kejujuran hatiku.
Aku baru mengerti maksud dari kata-kata Ririn yang sedikit terdengar filosofis di telingaku itu. Aku memang harus jujur pada hati sendiri. Aku tidak rela egoku menyebabkan aku menjadi perawan tua. Aku masih mencucurkan air mata.
“Santi, kenapa kamu menangis?”
“Dirman, aku juga mencintaimu. Aku mau menjadi pendam-ping hidupmu. Aku…,” Aku tak sanggup berkata-kata lagi. Aku ingin segera memeluknya, dan segera saja kulakukan. Aku ingin men-ciumnya, tapi tubuh kami yang gemuk sedikit menjadi penghalang.
Kulihat Dirman tersenyum. Dia pun menangis. Air matanya terasa panas di pipiku. Dia memelukku erat.
Bunyi sms menghentikan acara peluk-pelukan kami. Aku membukanya. Dari Ririn. Katanya, ‘Selamat, kamu telah berhasil memperoleh keberanian dan kamu pantas memperoleh kemenang-an’.
“Dari siapa, San?” tanyanya.
“Ah…,” Aku segera memasukkan handphone ke dalam tas.
Dia segera menuntunku ke luar kampus dan menaiki mobilnya. Kami akan makan siang di restoran.

* * * *

Bogor, 07 Desember 2004

PAK KILLER


Aku masuk ke ruang kelas dengan tangan kosong, langsung meluncur ke tempat duduk tanpa melirik anak-anak.
“Siap... berdoa, mulai!”
Kuambil buku absen yang ada di laci meja, kubuka.
“Selesai... beri salam!”
“Assalaamu ‘alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh!”
“Wa ‘alaikum salaam,” jawabku singkat. Tanpa memandanginya, aku mulai mengabsen siswa satu per satu mulai dari huruf ‘A’, sampai pada huruf ‘S’, kupanggil, “Sandi...”
“Absen, Pak!”
“Santi....”
“Absen, Pak!”
“Yudi....”
“Absen, Pak!”
Sampai pada huruf ‘Z’ kupanggil, “Zainudin... Zainudin....”
“Absen, Pak!”
Seketika tekanan darahku naik. Aku benci pada Zainudin. Sudah dua hari ia tidak masuk kelas, dan ini yang ketiga kalinya. Sudah cukup bagiku untuk menarik suatu kesimpulan bahwa ia adalah siswa yang malas. Benci juga aku pada beberapa siswa lainnya yang tidak masuk. Setelah kulayangkan pandangan mataku ke setiap sudut kelas, ternyata hampir separuhnya siswa yang absen hari ini. Mereka pasti telah terkena virus malas dari Si Zainudin. Mau apa jadinya jika semua siswa seperti Si Zainudin.
Ah, buat apa aku memikirkan siswa-siswa yang malas itu. Tugasku di kelas ini adalah untuk mengajar siswa-siswa yang rajin. Ya, siswa yang rajin. Bagiku, mereka adalah sampah masyarakat yang harus dibuang jauh-jauh dari pikiranku.
“Anak-anak, keluarkan buku PR kalian!”
Anak-anak terlihat diam. Wajahnya tegang dan matanya menatap ke atas bangkunya masing-masing dengan khusyu’, tak berkutik, seperti patung Harimau di Pasar Ciawi. Aku mulai berang. Kupelototi wajah mereka satu-satu. Jangan-jangan mereka tidak mengerjakan PR. Dasar manusia-manusia pemalas. Ternyata, mereka sama saja seperti Si Zainudin keparat itu.
Salah seorang angkat bicara, “PR-nya susah, Pak!”
“Susah?”
Benar dugaanku, mereka tidak mengerjakan PR. Huh, dasar otak dengkul, tidak mau berpikir sedikit keras. Diberi soal hitungan saja sudah bilang susah, apalagi kalau disuruh mengurus negara.
“Materinya belum diajarkan, Pak!”
“Dasar bodoh! Kalian ‘kan punya buku paket. Pelajari, dong!” Anak zaman sekarang tidak punya semangat belajar, tidak bisa belajar mandiri. Mereka selalu manja, selalu ingin disuapi. Kapan majunya negara ini jika generasi mudanya tidak memiliki semangat kerja keras. “Sudahlah! Bapak beri waktu lima menit untuk mengerjakan!”
Lima menit adalah waktu yang cukup lama untuk menunggu. Makanya, kuisi dengan ceramah sambil mondar-mandir kayak mandor.
“Ingat! Waktu kalian cuma lima menit. Jadi, satu soal setengah menit. Pokoknya, kalian mesti selesai!” Mereka terlihat serius dan sungguh-sungguh mengerjakan soal itu. Membuka-buka buku paket, mengotret di buku kosong, aku senang melihatnya. Setelah dua menit berlalu, aku duduk kembali di atas kursi.
“Nah, kalau kalian rajin, kalian pasti akan menjadi orang sukses. Waktu masih sekolah dulu, Bapak juga sering dihukum, dimarahi, kena tampar, diberi soal banyak, setiap hari ada PR, itu sudah biasa. Lihatlah hasilnya sekarang, Bapak bisa menjadi pegawai negeri, menjadi seorang guru, pahlawan tanpa tanda jasa. Ini semata-mata berkat kerja keras Bapak. Makanya, kalian harus bekerja keras, belajar yang rajin.”
Kening para pelajar SD kelas tiga itu bersimbah peluh. Aku senang. Itu tandanya mereka berpikir dan bekerja keras. “Sudah tiga menit, kalian pasti sudah menyelesaikan sekitar enam soal. Anton, coba kerjakan nomor satu di papan tulis!”
Ia terkejut ketika kupanggil namanya. Dengan gugup, ia melangkah ke papan tulis. Anton adalah siswa yang katanya paling pintar di kelasnya. Dari kelas satu sampai kelas dua, ia selalu menjadi ranking pertama. Tapi aku tidak percaya. Ia pasti siswa yang bodoh. Ia ranking karena ayahnya orang kaya. Ayahnya pasti menyuap guru kelasnya agar menjadi ranking satu. Tapi aku tidak bisa disuap. Akan kupastikan kalau ia akan tinggal kelas karena ia siswa yang bodoh. Haha....
A ha... dugaanku ternyata benar. Anton memang siswa yang bodoh. Ia hanya bengong di depan papan tulis. Wajahnya penuh ketakutan dan kegelisahan.
“Hey, bodoh! Ayo kerjakan! Jangan diam saja!” sambil ku-pukul kepalanya. Air matanya tumpah. Aku jadi muak melihatnya. “Kenapa menangis? Tidak bisa, ya? Dasar anak bodoh!”
Aku kesal melihat ujung bibirnya yang tertarik ke bawah dan sedikit menganga menampung air matanya yang bocor. Menurutku, ia lebih cocok menjadi pengemis jalanan yang selalu meminta belas kasihan dari orang lain dengan wajah menyedihkan.
Terkadang aku ingin tertawa geli. Ini mengingatkanku pada 30 tahun yang lalu, ketika aku masih SD kelas tiga. Pak guru memanggil namaku dengan galak, menyetrapku karena kesiangan, menyuruhku push up karena lupa membawa buku PR, memukul kepalaku karena tidak bisa mengerjakan soal. Aku memang tergolong siswa yang tidak pintar. Makanya, aku tidak senang kepada orang yang pintar. Sungguh, nostalgia yang menyedihkan.
Aku tidak peduli anak-anak akan membenciku dan lebih menyenangi Pak Malik, guru kelas dua yang masih bau kencur itu. Aku juga tidak peduli kalau anak-anak menjulukiku ‘Pak Killer’. Kalau dipikir, apa hebatnya Si Malik itu? Ia hanya guru honor di sini. Ijazahnya hanya sampai SMA. Jadi, apa hebatnya? Hari ini, ia menggembalakan murid-muridnya di luar sekolah. Baru dua bulan jadi guru honor, sudah berani. Ah, lagi-lagi aku memikirkan yang macam-macam. Buat apa aku memikirkan guru honor yang tidak tahu diri itu.
“Hey, Anton! Pulang sana ke rumah orang tuamu. Bilang kepada mereka, kamu diberhentikan. Percuma ikut sekolah kalau kamu tetap bodoh. Kamu hanya akan menghabiskan uang ayahmu saja.”
Anton pun pulang dengan membawa bibirnya yang bergelombang. Hatiku tertawa puas, seolah-olah dendamku telah terbalas. Tiba-tiba....
“Permisi!”
Si Bau Kencur itu datang ke kelasku. Aku tidak tahu maksud kedatangannya. “Ada apa?” tanyaku.
“Maaf, Pak Lukman! Bapak dipanggil Bapak Kepala Sekolah. Sekarang!” Setelah mengatakan itu, ia tetap diam di lawang pintu.
“Sekarang, Pak!” ucapnya. Perasaanku tidak enak kali ini. Jarang-jarang Bapak Kepala Sekolah memanggilku ke ruangannya. Ada apa ini? Jangan-jangan Si Bau Kencur ini melaporkanku kepada Bapak Kepsek? Ah, peduli amat. Yang pasti, sekarang aku benci karena aku berjalan di belakang Si Bau Kencur seolah-olah aku ini ajudannya. Sebal.
Di ruang Kepsek, aku duduk berdampingan dengan manusia menyebalkan itu. Perasaanku semakin tidak enak saja karena di ruangan itu ada juga dua orang polisi yang berseragam lengkap. “Ada apa Bapak memanggil saya?”
Tanpa berbasa-basi, Pak Kepsek langsung menjawab, “Muridmu, Zainudin, telah meninggal dunia di rumah sakit tadi pagi. Tubuhnya penuh memar. Sebelum meninggal, ia sempat meng-adukan bahwa Pak Lukman sering memukulinya.”
Hatiku bagai tersambar petir. Aku telah membunuh muridku sendiri. Aku pembunuh. Belum sempat menghela napas, Pak Kepsek kembali bersua, “Murid-muridmu yang lain juga meng-adukan hal yang sama. Mereka tidak ingin masuk sekolah karena Pak Lukman sering menganiaya mereka.”
Benar-benar aku tidak bisa berkata apa-apa. Jantungku berdetak keras. Pikiranku mulai kacau. Aku cengengesan ketika Pak Polisi menyeretku ke mobil tahanan. Haha... aku jadi pembunuh. Aku tertawa sekeras-kerasnya.

* * * *

Ciawi, 6 Maret 2004