31 Maret 2010

Pacar dan Kekasih

Salah seorang pujangga cinta berkata:
Pacar adalah kekasih
Pacar adalah segalanya
Pacar adalah cinta
Cinta adalah wanita
Wanita mesti jadi pacar
Itulah kekasihku

Aku seorang yang baru kemarin sore mengenal cinta berkata:
Pacar bukan kekasih
Pacar bukan segalanya
Pacar mungkin cinta
Cinta tidak hanya wanita
Wanita tidak mesti jadi pacar

Lebih lanjut aku berkata:
Pacar itu bukan kekasih
Kekasih tidak mesti jadi pacar
Malah kalau bisa kekasih jangan sampai jadi pacar
karena biasanya pacar itu kotor, kucel, kumel, amburadul,
diacak-acak, diobok-obok,
digesek-gesek sampai lecet
Padahal kekasih adalah yang tersayang,
yang tercinta, yang terjaga
Kukira kau cukup jadi kekasihku saja

JIN KOPI

Pagi ini, langit bersih tanpa awan, biru. Sang surya mengintip di atap rumah tetangga, malu-malu. Aku duduk bersantai-santai di atas kursi bambu di depan rumah butut-ku, membiarkan tubuhku dijilati sinar mentari bersama sepiring pisang goreng dan secangkir kopi panas.

Saat meneguk kopi, muncullah sesosok tubuh dari asap kopi. Wajahnya hitam legam, berpeci istambul, berkumis belanda, berjanggut runcing. Ada sebuah cincin di hidungnya, persis banteng spanyol. Di jari tangannya berjejer batu akik yang berkilauan. Kakinya seperti ekor belut, bergoyang-goyang.

“Siapa Kau?”

“Haha…! Aku adalah Jin Kopi. Aku akan mengabulkan tiga permohonanmu. Haha…!”

“Benarkah itu?”

“Ya. Tiga permohonan!”

“Kalau begitu, Jin Kopi, aku ingin jadi orang kaya. Aku bosan hidup melarat. Aku ingin memiliki rumah yang mewah dan harta yang melimpah.”

“Baiklah, akan kukabulkan!”

Tiba-tiba, turunlah hujan uang dari langit, seratus ribuan, hanya di atas rumahku. Ya, hanya di atas rumahku. Kupunguti satu-satu dan tak pernah sampai selesai aku memungutinya. Hujannya tidak pernah berhenti.

Kubeli sebuah rumah yang paling mewah di Rancamaya, yang ada kolam renangnya. Ya, aku berenang di sana seharian, aku memang suka berenang. Lalu kupesan beraneka makanan yang lezat, plus makanan pembuka dan penutupnya. Hari ini, aku ingin makan enak.

Selesai makan, aku beli sebuah pesawat terbang plus pramugari dan pilotnya. Aku ingin terbang keliling nusantara. Aku singgah di Jakarta, menikmati keindahan kota dengan gedung pencakar langitnya yang megah dan tinggi menjulang. Lalu aku meluncur ke kota Bandung untuk berbelanja, membeli pakaian yang paling modis dan trend.

Sampailah aku di wilayah timur nusantaraku. Aku singgah di pinggiran kota Jayapura. Oh, betapa anehnya penduduk di sini. Alienkah? Perutnya buncit-buncit. Matanya cekung dan belo. Tangannya sebesar tongkat semapur. Kulitnya kulit semar, seperti Jin Kopi. Mereka bermain-main di tanah, berguling-guling. Oh, Tuhan, negeri apakah ini? Apakah ini bukan tanah Indonesia? Tidak ada rumah sakit, tidak ada gedung sekolah, tidak ada gedung pencakar langit, tidak ada tempat rekreasi, tidak ada pusat perbelanjaan. Apakah ini tidak termasuk wilayah nusantara? Masa iya? Bukankah telah tertulis di peta nusantara?

O, ya, aku orang kaya. Dengan inisiatif sendiri, aku belikan mereka pakaian. Aku berikan mereka makanan enak secukupnya. Kudirikan rumah sakit. Kuambil dokter-dokternya dari Jakarta. Lalu kudirikan gedung-gedung sekolah. Kutarik para pengajarnya dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Kubangun pasar-pasar swalayan, kubagikan uang sepuluh lembar seratus ribuan biar mereka dapat berbelanja sepuasnya. Kudirikan pula tempat-tempat rekreasi untuk melepas penat.

Banyak pula tempat-tempat lain yang serupa itu, di dalam pesawat, aku tak habis pikir, apakah lagu Dari Sabang Sampai Merauke gubahan R.Suraryo itu suatu kebohongan?

Seorang pramugari memberiku secangkir kopi panas. Tahu saja dia minuman kesukaanku. Hendak kureguk, keluarlah Jin Kopi. Ia menagih permintaanku yang kedua. Kali ini aku bingung mau minta apa. Merasa badanku pegal-pegal, kukatakan padanya, “Jin Kopi, tolong panggilkan perempuan yang cantik untuk memijitku!”

Permintaanku dikabulkannya. Datanglah seorang perempuan berparas cantik yang sepertinya wajah itu sudah tidak asing bagiku. Ia menghampiriku. Wajahnya berubah menjadi nenek sihir. Ia menjewer telingaku.

“Hey, pagi-pagi sudah ngelamun. Ayo kita ke sawah, Kang!”

Oh, Jin Kopi, aku belum sempat mengatakan permohonan ketigaku. Matahari memotret kami pada posisi 45 derajat. Aku malu pada isteriku.

10 Maret 2010

KALIMATMU

(1)

Hidup ini semestinya hidup
Tak boleh mati
Hidup ini serasa tak hidup
Seperti mati
Hidup ini semakin mati
Tak bisa hidup
Mati melanda hidup
Hidup tak rela mati
Mati menghendaki mati
Jangan sampai mati
Hidup bisa hidup
Mati pun bisa hidup
Hidup dengan kalimatmu
: “Yaa Hayyu, Yaa Qoyyuum”



(2)

Lidahku kering kerontang
Jiwaku berang, mengerang
Aku angkuh gila menang
Sudah sangat lama darahku panas tak kepalang

Kutemukan kalimatmu lewat kalimatnya...

Lidahku menjilati kalimatmu
Jiwaku tersedot oleh huruf-hurufmu
Aku hancur, luruh oleh panasmu
Tak lama kau mengalir sejuk di darahku

Kaujaga kalimatku dengan kalimatmu...

Kembali

Aku adalah mamalia yang sekarat karena organisme lain
Banyak nukleolus yang jatuh sakit karena kelaparan
Jumlah sitoplasma di dalam sel menurun drastis
Seluruh organ dalam tubuhku menangis meratapi kosmo kehidupan

Kesedihanku adalah sebanyak organisme yang kukenal
Rasa sakitku adalah sebanyak sel yang ada dalam tubuhku
yang terasa pada setiap otot dan persendian
Kekecewaanku terlihat pada seluruh susunan syaraf yang menegang
Harapanku terputus pada sistem pernafasan yang terengah-engah

Bioma kehidupan telah menudingku sebagai makhluk yang bersalah
Kini diriku menjadi sesosok makhluk yang patut dikasihani
Aku harus kembali pada habitatku yang semula

Hidup Ini Penuh Manusia

Satu
Dua
Tiga

Aku adalah burung gereja yang berada di tengah hutan belantara yang penuh dengan kebisuan dan ketidakpastian yang membuatnya terasing

Aku adalah keledai dungu yang menatapi sebuah batu hitam yang berada di antara bebatuan yang lain yang sangat asing

Aku adalah orang asing yang berdiri di samping orang asing dan semua yang ada di hadapan lensa matanya adalah asing dan apapun yang ia lakukan adalah asing sehingga membuat dirinya merasa menjadi orang yang paling asing
dunia pun telah menjadi asing

Oh, Tuhan!
Hidup ini penuh manusia
Kenapa aku serasa hidup seorang diri?
“Robbi laa tadzarnii fardan wa anta khoirul waaritsiin”

Kita Sedang Tidak Bersahabat dengan Bahasa Indonesia

Sekarang ini, kita masih merasakan krisis demi krisis yang belum tampak jalan keluarnya, di antaranya krisis ekonomi-keuangan, keamanan, hukum, dan krisis nilai luhur yang menyebabkan potret bangsa Indonesia berubah menjadi anarkis, beringas, ganas, dan tidak bisa menerima kekalahan. Tentunya, berbagai krisis tersebut sangat merugikan kita.
Ada satu krisis lagi yang barangkali kita tidak sadar bahwa krisis ini bisa mengancam jati diri kita, yaitu krisis berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Saat ini, kita sedang tidak bersahabat dengan bahasa Indonesia. Kita sedang tidak merasa bangga dengan bahasa kita sendiri. Kita merasa lebih bangga dengan bahasa orang lain. Kita merasa akan lebih dihargai jika dalam setiap pembicaraan kita terselip kata-kata asing di antara tuturan-tuturan kita. Jika telah demikian, kita akan lebih sering berbahasa asing. Akhirnya, kita akan sangat enggan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Inilah krisis yang sangat berbahaya karena sang kacang telah lupa akan kulitnya.
Di era globalisasi sekarang ini, memang segalanya penuh dengan persaingan, termasuk persaingan bahasa. Saking bebasnya persaingan tersebut, maka berlakulah hukum rimba: Siapa yang kuat, dialah yang menang, dan yang lemah akan mati. Lalu, bagaimanakah dengan nasib bahasa Indonesia?
Berikut ini akan saya paparkan beberapa bukti nyata mengenai krisis berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
1. Sinetron
Sekarang ini banyak sinetron yang mengambil tema-tema remaja dengan para pemain yang masih belia. Dialog-dialog yang dihadirkan dalam sinetron tersebut banyak menggunakan bahasa-bahasa gaul. Dari sana banyak istilah-istilah aneh yang mencampuradukkan bahasa bermunculan, seperti: sotoy luh, so what gitu loh, plis deh, oke-oke saja, dll.
Dengan maraknya tayangan-tayangan yang seperti itu, saya khawatir generasi muda kita tidak akan tahu lagi bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ia akan merasa benar sekaligus bangga menggunakan ‘bahasa campur-aduk’ itu.

2. Dunia Informasi
Kita tahu bahwa Metro TV adalah satu-satunya stasiun televisi yang mengkhususkan diri pada jalur berita. Program-program yang ditawarkannya selalu yang berkaitan dengan informasi, baik bidang politik, ekonomi, pertahanan-keamanan, sosial-budaya, maupun iptek, seperti: Headline News, Famous to Famous, dll. Agaknya, kita mesti bangga akan hal itu.
Rasa bangga tersebut ternyata harus beradu dengan rasa sedih karena hampir semua judul program acara Metro TV menggunakan bahasa asing (bahasa Inggris). Sebetulnya sah-sah saja judul tersebut menggunakan bahasa asing asalkan isi dari program tersebut juga berbahasa asing. Akan tetapi masalahnya hanya judulnya saja yang berbahasa asing, sedangkan di dalamnya menggunakan bahasa Indonesia. Apakah kita rela bahasa Indonesia dinomorduakan?

3. Ajang Festival
AFI (Akademi Fantasi Indosiar), Indonesian Idol, KDI (Kontes Dangdut TPI), adalah beberapa ajang festival yang bertujuan untuk mencetak penyanyi-penyanyi instan. Di satu sisi, hal itu cukup bagus mengingat penyanyi-penyanyi senior Indonesia semakin langka sehingga ada regenerasi untuk itu. Di sisi lain, apakah para penyanyi instan itu akan sanggup menggantikan para seniornya sementara kemampuannya dalam tarik suara belum benar-benar teruji?
Namun bukan itu yang menjadi persoalan kita. Biasanya dalam kontes tersebut––kita ambil contoh AFI––, ketika si kontestan membawakan lagu berbahasa Inggris, sang komentator akan mengkritik dan mewanti-wanti habis-habisan mengenai pelafalannya. Akan tetapi, ketika si kontestan membawakan lagu berbahasa Indonesia, sang komentator seperti acuh tak acuh terhadap pelafalan huruf t menjadi ch. Apakah kita rela jika bahasa Indonesia tidak menjadi prioritas utama?

4. Kasus Lain
Ada sebuah gedung, di depannya ada sebuah papan nama yang bertuliskan “Abah Restaurant”, lalu di bawahnya tertulis “Rumah Makan Abah”. Permasalahannya adalah, kenapa mesti yang berbahasa asing yang dituliskan di atas dan kenapa yang bahasa Indonesianya mesti dituliskan di bawahnya?
Ada sebuah papan nama yang bertuliskan “Kiki Motor” di atas sebuah tempat. Kita mungkin menyangka bahwa itu adalah tempat penjualan motor, padahal yang dimaksud adalah bengkel motor. Kita juga sering mendengar ada istilah ‘bengkel kecantikan’, dan sering juga kita mendengar istilah ‘salon mobil’ yang menyediakan berbagai aksesoris mobil.
Kita cenderung kurang begitu perhatian terhadap kaidah penulisan. Kita seenaknya saja menuliskan photo copy, fotocopy, atau photokopi. Kita sudah tidak tahu lagi mana yang sesuai kaidah dan mana yang tidak sesuai kaidah. Kita memang harus mengakui bahwa kita sedang tidak bersahabat dengan bahasa Indonesia.

Faktor Penyebab
Sebelum membahas tentang faktor penyebab krisis berbahasa Indonesia yang baik dan benar, saya ingin menjelaskan alasan mengapa saya menggunakan istilah ‘kita’ pada penjelasan-penjelasan sebelumnya. Hal itu dimaksudkan agar kita tidak terjebak menunjuk kepada salah satu pihak sebagai biang keladi, sebagai perusak bahasa Indonesia. Bahwa sebenarnya kita juga turut serta dalam pengrusakan bahasa Indonesia. Kita semualah biang keladinya. Kita jugalah yang bertanggung jawab untuk mengembalikan martabat bahasa Indonesia.
Setidaknya, ada dua faktor yang menyebabkan kita enggan bersahabat dengan bahasa Indonesia.
1. Lupa bahwa kita telah bersumpah pada Kongres Pemuda II. Pada tanggal 28 Oktober 1928 kita telah bersumpah akan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Oleh karena itu, peringatan Sumpah Pemuda dengan berbagai kegiatan positif––seperti Debat Bahasa ini saya kira––menjadi penting.
2. Kita kurang percaya diri dalam kancah pergaulan dunia yang semakin bebas. Rasa kurang percaya diri tersebut timbul karena kita tidak siap menerima perubahan-perubahan yang serba cepat. Kita tidak siap berkarya dalam era globalisasi yang penuh dengan persaingan ini. Akhirnya, kita kembali ‘terjajah’ oleh dunia barat.

Bagaimana Seharusnya Kita Menempatkan Bahasa Indonesia
Di era globalisasi sekarang ini, bahasa Indonesia harus dapat menempat-kan peranannya sebagai:
1. Bahasa Nasional
Pada tanggal 28 Oktober 1928, bahasa Indonesia telah membuktikan dirinya sebagai bahasa pemersatu melalui Sumpah Pemuda. Para pemuda Indonesia pada waktu itu telah bersumpah untuk menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

2. Bahasa Negara
Bahasa Indonesia harus benar-benar menjadi bahasa negara sesuai dengan yang tercantum pada Bab XV Pasal 36 UUD 1945, “Bahasa negara ialah Bahasa Indonesia”.
Di dalam forum-forum resmi, seperti pada acara kenegaraan, forum rapat, kegiatan belajar-mengajar, bahasa Indonesia mutlak digunakan secara baik dan benar. Hal ini tidak boleh ada toleransi bagi siapa pun.
Kita pernah merasa bangga ketika masa pemerintahan Orde Baru. Dalam setiap pidato kenegaraannya, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, Presiden Soeharto tetap konsisten menggunakan bahasa Indonesia meskipun logat Jawanya masih terdengar kental.
Tidak mustahil jika suatu saat bahasa Indonesia akan menjadi bahasa Dunia jika setiap warga negara Indonesia bangga menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai kegiatan.

Tugas Kita
Kebahasaan pada dasarnya terbagi atas pembinaan dan pengembangan. Pembinaan ditujukan kepada masyarakat pemakai bahasa, sedangkan pengembangan ditujukan kepada bahasa itu sendiri.
Upaya yang dapat dilakukan dalam pembinaan berbahasa di antaranya ialah menyusun kamus, mengadakan seminar dan penyuluhan bahasa, baik melalui media cetak maupun melalui media elektronik. Upaya pengembangan bahasa dapat dilakukan melalui pengkajian terhadap ilmu tata bahasa, seperti fonologi, morfologi, sintaksis, wacana, dan semantik.
Lalu siapakah yang berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengembangan itu?
Tugas pembinaan dan pengembangan bahasa itu bukan hanya tugas Pusat Bahasa saja, melainkan tugas kita semua selaku anak bangsa yang telah bersumpah untuk menjunjung bahasa Indonesia. tugas ini tidak boleh dibebankan hanya kepada orang per orang atau hanya kepada satu lembaga saja karena itu adalah masalah kita bersama. Kita sebagai suatu bangsa adalah sebuah sistem yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kita harus saling membahu dalam memecahkan suatu permasalahan.
Lalu apa saja yang harus kita kerjakan dalam upaya pembinaan dan pengembangan bahasa?
Pengembangan bahasa hanya dapat dilakukan oleh para pakar bahasa karena hanya dialah yang tahu akan seluk-beluk bahasa. Adapun kita semua harus juga berusaha untuk menjadi seorang ahli bahasa agar dapat turut serta dalam upaya pengembangan bahasa.
Upaya pembinaan yang paling bijak dan ampuh adalah bina diri. Sebelum membina orang lain agar berbahasa Indonesia yang baik dan benar, kita bina terlebih dahulu diri kita untuk selalu berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Inilah teknik yang jitu yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad kepada seluruh umatnya, yaitu sebuah teknik keteladanan.
Adapun dalam teknis pelaksanaannya, upaya pembinaan tersebut dapat dilakukan sesuai dengan kemampuan kita. Jika kita seorang pembawa acara, maka sedapat mungkin kita gunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam membawakan sebuah acara. Jika kita seorang mahasiswa, maka gunakan bahasa Indonesaia yang baik dan benar dalam setiap perkuliahan, atau pada acara-acara formal lainnya dalam mengemukakan ide dan pemikiran.
Sebelum mengakhiri makalah ini, saya ingin berpesan kepada para pembaca, jangan bangga dengan bahasa orang lain, tumbuhkan rasa bangga di dalam hati memiliki bahasa Indonesia. Jadikanlah bahasa Indonesia sebagai sahabat kita.

Download file:
http://www.ziddu.com/download/8905879/KitaSedangTidakBersahabatdenganBahasaIndonesia.doc.html