20 September 2010

Nokia 1108

Malam Jumat, 19.53, rumahku gelap gulita. Listrik mati dari pagi. Aku enggan menyalakan lilin. Korek ada di saku celanaku. Lilin juga masih penuh satu bungkus di atas lemari kamarku, baru dibeli ibuku kemarin sore di warung depan rumah.
Aku sendirian di rumah. Ayah ibuku beserta adik-adikku, Yusuf, Wahyu, dan Rizki, dari pagi pergi ke rumah kakekku di Sukabumi. Mereka baru akan pulang besok siang. Kabarnya, kakek sakit-sakitan. Menurutku, itu hal biasa. Setiap orang yang sudah mencapai usia tua pasti sakit-sakitan. Biasa, penyakit tua itu namanya.
Selepas salat isya, aku duduk santai di ruang tamu di atas sofa depan televisi sambil memain-mainkan handphone baruku, Nokia 1108. Hp ini memiliki fasilitas lampu senter sehingga bisa kugunakan untuk menerangi jalan atau mencari sesuatu di kala gelap. Itulah sebabnya kenapa aku malas menyalakan lilin.
Kadang kuberpikir tentang orang-orang yang bekerja di PLN, kenapa sih mesti usil memutuskan aliran listrik? Apakah mereka tidak sadar telah merugikan banyak orang? Listrik dibayar tepat waktu tiap bulan, tetapi pelayanan tidak memuaskan. Kalau di luar negeri pelayanan adalah nomor satu, sedangkan di negeri ini... ah, tidak ada gunanya dibicarakan. ‘Pokoknya, kalau lima menit lagi listrik belum menyala, akan kubakar PLN-nya,’ candaku.
Beberapa menit kemudian, 20.00, listrik menyala, semua lampu di rumahku menyala, televisi pun menyala. Memang sengaja stop-kontaknya kunyalakan dari tadi sore. Akhirnya, sempat juga menonton acara televisi kegemaranku, Film Horor. Haha...! Ternyata, PLN takut juga kalau digertak.
Kuambil remotte control di atas meja. Cit... cit... cit.... Seekor anak tikus keluar dari bawah meja. Dia berlari dengan gesit ke kamarku. Tentu saja aku berang. Aku benci kamarku dimasuki mahluk pengerat yang jijik seperti itu. Di rumahku memang banyak tikus. Sudah kusuruh ayahku untuk membeli lem tikus, tetapi jawabannya hanya ‘ya nanti bapa beli’ atau ‘ya nanti bapa suruh wahyu untuk membelinya’.
Huh, sebenarnya pintu kamarku tertutup rapat. Akan tetapi tubuh si hewan pengerat yang mungil itu dapat masuk melalui sela-sela bawah pintu.
Begitu kulihat ia masuk ke kamar, segera kukejar ia. Kuhentak pintu kamar dengan keras. Begitu aku masuk kamar, kututup lagi cepat-cepat. Kusumpal sela-sela bawahnya dengan handuk yang menggantung di balik pintu bersama beberapa pakaian kotor milikku. Hai tikus busuk, ajalmu sudah dekat! Kau takkan bisa keluar hidup-hidup dari kamarku yang sempit ini!
Musik horor dari televisi menemani perburuanku. Kutengok kesebelah kanan. Kulihat ia masuk ke balik lemari baju, di pojok kamar di balik pintu. Kugedor-gedor lemarinya. Tidak keluar. Kugedor-gedor lagi. Belum mau keluar juga. Tikus sialan! Kugeser lemarinya. Agak berat juga; 80 x 45 x 150 cm, plus full pakaian. Lemari berhasil kugeser sedikit, tetapi tikus kerempeng itu tak kulihat.
Kugoyang-goyang risbang yang ada di samping lemari baju. Buku-buku yang tersusun rapi di atasnya berjatuhan. Akhirnya kulihat juga ia meloncat ketakutan dari kolong risbang. Ia berlarian di sekitar kakiku. Spontan saja aku gugup plus kaget. Kulempari tikus sialan itu dengan buku-buku yang berserakan di bawah. Mataku tertutup. Begitu kagetku reda, kubuka mata. Tikus itu raib.
Kusapu keempat pojok kamarku dengan pandangan mataku, mulai dari lemari baju, risbang, rak buku lima tingkat, sampai komputer, kutatap dengan serius. Ah, tidak ada. Kutarik nafas panjang-panjang untuk mengatur kembali nafasku yang terengah-engah. Kutatap sejenak kalender bergambar Aa Gym yang terpampang di dinding di atas komputer agak ke kanan sedikit. Dinding kamarku memang bersih, tidak banyak pajangan gambar. Hanya ada kalender dan jam dinding yang terletak di atas risbang.
Gambar Aa Gym di kalender itu mengingatkan aku akan salah satu pernyataannya yang sederhana mengenai hati yang lapang. Katanya, hati yang lapang ibarat seseorang yang berada di padang rumput yang luas. Meskipun di sana banyak binatang buas, seperti harimau, macan, ular, dan lain-lain, tetapi ia akan merasa aman. Sebaliknya, hati yang sempit ibarat seseorang yang berada di sebuah kamar yang sempit dan ditemani oleh seekor tikus. Tentu saja ia tidak akan merasa nyaman.
Setelah nafas mulai stabil, kembali kulanjutkan perburuanku. Kusapu balik saja mulai dari komputer, lalu.... Aha! Kulihat ekornya bergoyang-goyang di balik rak buku. Kuambil sebuah buku tebal yang tadi berserakan untuk membunuh tikus sialan itu.
Aku harus melangkah ke sana pelan-pelan agar binatang pengerat itu tidak lari. Namun, baru saja kaki kananku diangkat, tikus itu masuk ke balik rak. Uh, kudorong saja rak bukunya ke dinding biar mampus terjepit ia. Setelah merasa puas mendorongnya, kugeser rak buku untuk melihat perkembangan yang terjadi, apakah tikus sialan itu sudah mati atau belum.
Ya, kugeser pelan-pelan. Dan, haha... tikus keparat itu sudah gepeng! Aku telah berhasil membunuhnya! Haha...! Aku tertawa puas. Tiba-tiba, listrik mati lagi. Gelap. Aku kaget. Nokia 1108 dalam saku celanaku bergetar. Kaget. Ada telepon. Kuangkat dengan nafas terengah-engah. Hallo,... ya Tuhan... Oh... Tidak...! Prak! Nokia-ku terjatuh.
Ya Tuhan! Malam ini begitu banyak yang mati! Tikus mati! Listrik mati! Hp-ku mati! Kakekku mati! Hatiku mati! Ya Tuhan...!