07 November 2010

Kidung Sandi Pasundan

Berdiri layaknya langit bagaimana ia ditinggikan,
dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan,
dan bumi bagaimana ia dihamparkan (Q.S. Al-Ghaasyiyah : 18-20)

Kujang di tangan, sematkan di dada
Kibarkan Merah Putih di dalam jiwa
Kenakan tameng, lindungi kerajaan hati

Cendikia yang bersaksi hanya Allah
Tuhan yang meninggikan langit tanpa tiang (Q.S. Ar-Ra’ad : 2)
Kepunyaan-Nyalah bahtera-bahtera yang tinggi
Layarnya di lautan laksana gunung-gunung (Q.S. Ar-Rahman : 24)
Jiwa raga bertakwa nakhodanya

Srikandi ibunda pertiwi
Sekuntum teratai besi tempaan alam
Cinta bersemi di lautan gejolak jiwa
Gemuruh ombak kasih sayang menghempaskan benci dan dendam

Satria muda, lidahmu adalah pedang
Satria pujangga merawat pedangnya
Menjaga dari perkataan dan perbuatan yang tiada guna (Q.S. Al-Mu’minun : 3)
Ramah dan sopan pada tua dan muda
Ciri patriot berpancasila

Pengembara tiada penghalang melintang
Menggenggam kompas musyawarah (Q.S. Ali Imran : 159)
Membidik ke segala penjuru ruang lepas

Amat bijaksana budi pekerti
Gilang-gemilang bagaikan cahaya mentari dan bulan
Buah ketabahan di antara tangkai kerelaan
untuk tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa (Q.S. Al-Maidah : 2)
Hemat, cermat, dan bersahaja
Disiplin ciri patriot penegak cakrawala
Keberanian jadi sayapnya
Bebas melayang di angkasa keadilan

Pelangi kesetiaan mewarnai harinya
Setia pada agama, setia pada pemimpin (Q.S. An-Nisa : 59)
Setia pada tanah air, pada orang tua,
pada sahabat, pada diri sendiri, dan setia pada Gerakan Pramuka

Insan sejati berpikir sebelum bertindak
Selalu memelihara amanat dan janji (Q.S. Al-Mu’minun : 8)
Wujud taruna-taruna sejati
Pengemban Darma Satyawacana Wira Karya
Cita-cita Ambalan R. Otto Iskandardinata-Fatmawati

Selamat Tinggal Dusta

kubeli sebuah peti ukuran kecil untukmu
masuklah segera ke dalamnya
biar aku kunci dengan gembok
aku bungkus lagi dengan kain lima lapis
kuikat erat-erat
kumasukkan lagi ke dalam koper ukuran besar
kukunci lagi dengan gembok
kubawa kau ke tepi lautan
lalu kulemparkan
selamat tinggal kawan lamaku
selamat tinggal dusta

Kau Adalah Pelangi (yang tak bisa kujalani)

dari: seorang temanku, dulu

Luluhkan hatiku bersama malam
Tunjukkan padaku arti sebuah bintang
Kelam malam berubah terang
Dalam riang namun bimbang

Ratapi hati ini sunyi
Terkurung gelap dalam ruang kosong
Hampa tak bernyawa
Laksana puisi bermakna
Maka hati ini pun berasa

Matahari kelilingi aku dengan sinarnya
Sebab aku adalah bumi
Tegak berdiri setia menanti
Akan indah pelangi yang tak bisa kujalani

Sebut saja sebuah mimpi!!!

01 November 2010

ANGKATAN SASTRA 2000: MENENGOK MASA LALU, MENATAP MASA DEPAN*

oleh:
Maman S Mahayana*

Masalah angkatan dalam kesusastraan Indonesia, belakangan ini, ramai menjadi wacana perdebatan. Perlukah sebuah angkatan dilahirkan? Sesungguhnya, sebuah angkatan lahir dan bergulir dengan sendirinya mengikuti gejolak dan tuntutan zaman. Ia lahir dan mengada dari sebuah gerakan yang memperlihatkan adanya semangat, cita-cita, ideologi, elan atau pemberontakan yang relatif homogen. Homogenitas inilah yang mempertemukan berbagai gagasan dalam sebuah wadah besar yang lalu disebut sebagai angkatan.
Tengoklah semangat para sastrawan kita terdahulu. Pada zaman Balai Pustaka, misalnya, karya-karya yang dihasilkannya memperlihatkan kecenderungan semangat pemberontakan pada kultur-etnis; Pujangga Baru pada dunia ideal untuk membangun kultur masyarakat Indonesia di masa datang; Angkatan 45 pada semangat revolusioner untuk membentuk kultur keindonesiaan dalam perhubungannya dengan kultur dunia; Angkatan 66 pada semangat protes atas tirani kekuasaan; sastrawan tahun 70-an pada masalah profetis melalui berbagai wacana eksperimental, dan sastrawan dekade ini, tentu dengan persoalannya sendiri. Demikianlah, kelahiran sebuah “angkatan” sangat ditentukan oleh alasan yang melatarbelakanginya, sekaligus juga dengan visi yang melatardepaninya.
Proses penjadian sebuah angkatan, sesungguhnya tidaklah lahir lewat desakan banyak pihak, melainkan dari gagasan-gagasan sastrawannya sendiri untuk lepas dari kejenuhan kultural. Ada persoalan kultural yang mengganjal yang terjadi pada zamannya. Inilah alasan-alasan yang melatarbelakanginya. Lalu dengan alasan itu, ada harapan-harapan untuk lepas dari ganjalan itu dan sekalian menawarkan sesuatu yang mungkin dapat mencairkan persoalan kultural itu. Ia menyampaikan visi tertentu. Inilah alasan-alasan yang melatardepaninya.
Mengingat persoalannya sudah menjadi kegelisahan kolektif dan dilakukan oleh sebuah gelombang semangat bersama, elan yang sama, maka ia menjadi sebuah gerakan (movement). Jika gerakan ini diberi semacam label, apakah label itu tepat jika disebut angkatan? Istilah “angkatan” itu sendiri sesungguhnya masih perlu memperoleh penjelasan; landasan kultural apa yang menyebabkan sebuah gerakan disebut angkatan. Apakah ia juga menampung gagasan lain yang mungkin sangat beragam. Oleh karena itu, istilah angkatan dalam konteks ini, kiranya masih perlu diperdebatkan!
***
Bagaimanakah dengan Angkatan Sastra 2000? Sudahkah ia mempunyai kegelisahan bersama atas ganjalan-ganjalan kultural yang terjadi pada zamannya? Bagaimana pula elan yang dimilikinya? Adakah ia menawarkan visi kultural dalam menatap masa depan masyarakatnya? Untuk menjawab pertanyaan itu, ada tiga persoalan signifikan yang perlu kita cermati. Pertama, soal istilah angkatan itu sendiri. Kedua, soal penafikan karya-karya yang dimuat di surat kabar dan majalah, dan ketiga soal penamaan Angkatan Sastra 2000 itu sendiri. Mari kita periksa duduk soalnya.
Angkatan atau Periode?
Sesungguhnya persoalan penamaan angkatan dan periode bagi pembabakan sejarah kesusastraan Indonesia, pernah disinggung Ajip Rosidi. Menurutnya, istilah angkatan dalam sastra Indonesia telah menimbulkan berbagai kekacauan. “Dalam suatu periode mungkin saja kita menemukan aktivitas lebih dari satu golongan pengarang yang mempunyai konsepsi yang berbeda-beda; sedangkan munculnya periode baru tidak pula usah berarti munculnya angkatan baru dengan konsepsi yang baru.”[1]
Meski alasan yang dikemukakan Ajip tidak cukup meyakinkan, setidak-tidaknya gagasannya patut dipertimbangkan kembali. Istilah angkatan lebih dekat kepada pengertian generasi yang memperlihatkan adanya semangat, cita-cita, elan atau ciri tertentu. Homogenitas menjadi salah satu ciri penting dalam sebuah angkatan. Untuk pembabakan sejarah kesusastraan, niscaya istilah angkatan dalam pengertian tersebut sangat mungkin malah mendatangkan persoalan. Dengan demikian, istilah angkatan untuk pembabakan sejarah sastra Indonesia sejak awal kelahirannya sampai sekarang, sama sekali tidak pas.
Berbeda dengan istilah angkatan, istilah periode lebih netral dan melingkupi rentang waktu relatif panjang. Satu periode dapat saja melingkupi masa lebih dari satu dasawarsa. Tetapi persoalannya tidak sekadar menyangkut soal rentang waktu, melainkan juga semangat, cita-cita, elan atau ciri-ciri yang lebih beragam. Periode bisa mengacu pada nama penguasa, nama sastrawan besar, nama peristiwa atau lembaga penting atau suatu masa yang panjang. Selain itu, periode tidak mengacu pada satu konsepsi seni tertentu, mengingat di dalam satu periode, mungkin saja lahir berbagai kecenderungan.
Meskipun periode bersifat statis karena terikat oleh ruang dan waktu, ia lebih dapat menampung kemungkinan adanya keberagaman pemikiran atau bahkan juga aliran. Dengan demikian, penamaan periode (atau periodesasi) dalam konteks sejarah kesusastraan Indonesia lebih representatif dibandingkan angkatan. Persoalannya akan menjadi lebih jelas manakala kita mencoba mencermati berbagai persoalan dalam catatan sejarah kesusastraan Indonesia.
Periode Balai Pustaka
Pembabakan yang dilakukan Ajip Rosidi menyebutkan, periode awal kesusastraan Indonesia tahun 1900–1933, di dalamnya termasuk sastrawan-sastrawan Balai Pustaka.[2] Namun, dalam bukunya yang lain,[3] Ajip berpendapat, bahwa kesusastraan Indonesia lahir sekitar tahun 1920. Sementara Zuber Usman, eksplisit mengatakan Zaman Balai Pustaka (1908) sebagai yang mengawali kesusastraan Indonesia modern.[4] Sedangkan A. Teeuw, meski tidak secara tegas menyebutkan Balai Pustaka, ia menunjuk angka tahun 1920 sebagai lahirnya kesusastraan Indonesia modern.[5]
Benarkah kesusastraan Indonesia modern dilahirkan pada (sekitar) tahun itu? Menurut Teeuw, “Pada ketika itulah para pemuda Indonesia untuk pertama kali mulai menyatakan perasaan dan ide … yang pada pokoknya menyimpang dari bentuk-bentuk sastra Melayu, Jawa dan sastra lainnya yang lebih tua ….”. Sementara alasan Ajip menunjuk tahun itu lantaran pada saat itulah para pemuda Indonesia (Yamin, Hatta, dll.) mengumumkan sajak-sajak mereka yang bercorak kebangsaan.
Dapat dipahami kedua alasan itu, mengingat keduanya bertumpu pada karya yang dipublikasikan sebagai buku. Akibatnya, karya sastra di luar itu, ditiadakan. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah: Mengapa karya-karya yang bertebaran di media massa tidak dipandang sebelah mata? Apakah alasan pemakaian bahasa Melayu pasar menjadi salah satu faktor penting untuk menyebut sastra di luar Balai Pustaka sebagai bukan sastra? Inilah bahayanya jika penentuan sastra dan bukan sastra hanya bertumpu pada publikasi buku. Ia tidak hanya menafikan dinamika sosiologis, tetapi juga berdampak pada peniadaan banyak nama yang mestinya tercatat sebagai bagian dalam perjalanan kesusastraan Indonesia.
Menjelang berakhir abad ke-19 dan awal memasuki abad ke-20, sedikitnya ada belasan surat kabar dan majalah berbahasa Melayu. Beberapa di antaranya, memuat juga cerita bersambung, cerpen, dan puisi. Majalah Sahabat Baik (1891) yang terbit di Betawi, misalnya, mencantumkan subjudulnya seperti ini: “Hikayat, tjerita, dongeng, sjair, pantoen, dan lain-lain daripada itu.” Surat kabar Selompret Melajoe (terbit di Semarang, 1860–1910) malah sering sekali memuat surat-surat pembacanya dalam bentuk puisi. Cara demikian, ternyata juga kita jumpai dalam majalah Poetri Hindia (terbit di Bogor, 1908) dan beberapa majalah yang terbit masa itu. Jika bahasa Melayu pasar yang menjadi alasan, maka Majalah Bintang Hindia (1903) dan Wanita Swara (terbit di Kediri, 1912), harusnya dike-cualikan, karena ia tidak memakai bahasa Melayu pasar.[6]
Jelas, Teeuw dan Ajip Rosidi secara apriori telah menyimpulkan kelahiran kesusastraan Indonesia modern hanya berdasarkan karya-karya yang dipublikasikan sebagai buku. Karya yang terbit dalam majalah dan surat kabar telah ditenggelamkan sedemikian rupa. Oleh karena itu, pelacakan lebih lanjut mengenai sumbangan media massa itu bagi kesusastraan Indonesia, agaknya merupakan tuntutan yang mendesak. Dengan demikian, pemahaman mengenai Periode Balai Pustaka, mesti dimaknai sebagai masa menjelang dan awal berdirinya lembaga penerbitan itu.[7]
Jika dikatakan bahwa sastrawan Balai Pustaka memperlihatkan kecenderungan semangat pemberontakan pada kultur-etnis, maka sastrawan di luar Balai Pustaka memperlihatkan semangat yang sangat beragam. Ada yang mengangkat persoalan emansipasi, edukasi bagi penduduk pribumi, bahkan ada juga yang menunjukkan elan kebangsaan. Jadi, jika periode Balai Pustaka hanya diwakili oleh sastrawan Balai Pustaka, maka dinamika sosiologis yang terjadi di luar Balai Pustaka, hilang begitu saja. Padahal, dari kegandrungan mereka mengirimkan tulisannya ke media-media massa itu, tampak bahwa di antaranya ada yang justru memperlihatkan mekarnya embrio semangat kebangsaan.
Periode Pujangga Baru
Popularitas Pujangga Baru bermula dari usaha Takdir, Armijn, Sanusi, dan Amir Hamzah untuk menerbitkan majalah yang kemudian bernama Pujangga Baru. Lewat majalah inilah, para sastrawan di pelosok tanah air -termasuk dari Semenanjung Melayu- mengirimkan karya-karyanya. Beberapa dari kaum terpelajar waktu itu, juga menulis di majalah itu. Polemik Kebudayaan yang dikumpulkan Achdiat Karta Mihardja merupakan bukti sumbangan majalah itu bagi perkembangan kebudayaan dan kesusastraan kita.
Begitu populernya majalah itu, sehingga para pengarang yang berkarya pada masa itu, dikatakan sebagai sastrawan Pujangga Baru. Sesungguhnya, masih banyak majalah lain yang juga punya kontribusi seperti itu. Satu di antaranya adalah majalah Pedoman Masjarakat; sebuah majalah mingguan terbitan Medan (1935–1942). Di antara para pengelola majalah itu, tercatat Helmi Yunan Nasution dan Hamka. Mengapa majalah ini tidak pernah disinggung para pengamat sastra Indonesia? Secara kuantitas, majalah ini jelas lebih unggul, karena ia terbit mingguan. Kontribusinya bagi sastra Indonesia, juga tidak kecil. Tercatat, nama Aoh K. Hadimadja, Muhammad Dimyati, lahir lewat majalah ini. Karya-karya Hamka sendiri, seperti Tenggelamnya Kapal van der Wijck, Dijemput Mamaknja, dan Di Bawah Lindungan Kabah, pernah menjadi ceria bersambung majalah ini. Selain itu, majalah ini juga tercatat pernah menyelenggarakan lomba penulisan roman.
Pada periode ini, jumlah majalah dan suratkabar yang terbit waktu itu, jauh lebih banyak lagi. Bahkan ada majalah yang khusus memuat cerpen dan cerita roman. Sesung-guhnya, majalah seperti itu sudah ada sejak tahun 1923, seperti majalah Tjerita Melajoe (Weltevreden, 1923), Tjerita Pilihan (Bandung, 1924), Tjerita Baroe (Padang, 1924), Tjerita Novel (Bandung, 1930), dan Tjerita Roman (Malang, 1930). Meskipun beberapa di antara majalah itu lebih menyerupai format sebuah buku, penyebarannya kepada masyarakat pembaca yang dilakukan dengan cara berlangganan, menunjukkan bahwa kehidupan kesusastraan Indonesia masa itu, tidaklah sekadar karya-karya terbitan Balai Pustaka dan Pujangga Baru semata-mata, melainkan juga karya yang dimuat majalah-majalah itu.
Demikianlah, menafikan sastra yang dimuat di majalah dan koran, sama halnya dengan menenggelamkan sebagian dari khazanah kesusastraan kita. Hal yang sama juga terjadi pada periode zaman Jepang dan terus berlanjut sampai kini.
Dalam sistem sastra, majalah atau surat kabar merupakan bagian penting dalam proses reproduksi karya sastra. Lewat majalah atau suratkabar itulah, karya sastra direproduksi dan sekaligus didistribusikan. Yang juga perlu dicatat bagi kepentingan sejarah sastra adalah karya-karya yang bertebaran dan tercecer itu. Malahan, lantaran karya itu dimuat di media massa, maka beberapa pembaca tidak jarang menuliskan tanggapannya, baik dalam bentuk surat pembaca, maupun dalam bentuk esai. Dengan demikian, pelacakan data kesastraan dalam majalah dan surat kabar itu juga sekaligus untuk menangkap dinamika yang terjadi pada masyarakat pembacanya.
Secara keseluruhan, periode Pujangga Baru memperlihatkan adanya kesadaran pentingnya pendidikan dan pengetahuan. Selain itu, persoalan keindonesiaan, tampak tidak hanya dari surat kabar atau majalah yang berlandaskan agama (Islam dan Kristen), tetapi juga dari surat kabar atau majalah etnis daerah dan Tionghoa. Dengan begitu, semangat sastrawan Pujangga Baru pada dunia ideal untuk membangun kultur masyarakat Indonesia di masa datang, sesungguhnya dalam konteks membangun kultur masyarakat Indonesia yang merdeka. Dan elan kemerdekaan ini, justru muncul dalam surat kabar dan majalah yang terbit ketika itu.
Jika ditarik garis dari Periode Balai Pustaka sampai Angkatan 45, ada kesadaran kolektif yang menjadi ciri para sastrawan masa itu, yaitu kesadaran pada kebutuhan tradisi pemikiran, kecendekiaan, dan ilmu, sebagaimana dikatakan Budi Darma.[8] Kesadaran ini pun, justru dalam kerangka elan nasionalisme dan cita-cita membangun kultur masyarakat Indonesia yang merdeka.
Periode Angkatan 45
Konsepsi seni Angkatan 45 dapat kita tangkap pada pernyataan “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Kalimat pertamanya yang berbunyi: “Kami adalah ahli waris jang sah dari kebudajaan dunia dan kebudajaan ini kami teruskan dengan tjara kami sendiri,” mengisyaratkan terbukanya angkatan ini menerima pengaruh asing dan kemudian merumuskannya sendiri berdasarkan keberagaman kultur keindonesiaan. “Kebudajaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara jang disebabkan suara-suara jang dilontarkan dari segala sudut dunia dan jang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri.”
Secara umum, semangat para sastrawan Angkatan 45 memang tampak homogen, meski sejumlah perbedaan tetap mereka hargai. Konsepsi seni Chairil Anwar yang menekankan pada harga diri manusia (human-dignity), misalnya, secara substansial tidaklah berbeda dengan konsepsi seni Affandi: kemanusiaan (humanism).[9] Sesungguhnya, harga diri manusia –Chairil– dan humanisme –Affandi– berorientasi pada arah yang sama, yaitu kesusastraan Barat. Sebagaimana dinyatakan Budi Darman, “Humanisme universal dalam manifesto “Surat Kepercayaan Gelanggang” tidak lain mengacu pada pemikiran Barat. Karena pemikiran Barat pada dasarnya menguasai seluruh dunia, maka humanisme Barat adalah juga humanisme universal.”[10]
Dalam konteks pembicaraan sejarah kesusastraan Indonesia, penamaan Angkatan 45, agaknya yang paling pas mewakili suasana dan dinamika zamannya. Tetapi kemudian menjadi persoalan jika kita menariknya sampai ke tahun 1965. Bahwa antara tahun 1945 sampai pemerintah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, akhir 1949, kecenderungan pada semangat dan cita-cita yang sama, masih tampak kental, tetapi kemudian pecah selepas LEKRA berdiri, 17 Agustus 1950, dan menyatakan sikapnya sebagaimana terungkap dalam Mukaddimah-nya.
Apa yang terjadi kemudian dalam catatan buku sejarah kesusastraan Indonesia? Kembali kesalahan yang sama terjadi. Pengungkapan keanekaragaman tema karya-karya yang terbit pada masa itu, hanya muncul pada karya yang diterbitkan sebagai buku. Karya sastra yang terbit di media massa, luput dari catatan. Padahal, dibandingkan dengan situasi kesusastraan zaman sebelumnya, tahun 1950-an merupakan masa yang paling semarak. Begitu banyak majalah dan surat kabar terbit, termasuk majalah khusus cerpen,[11] dan hampir semuanya memuat karya-karya sastra. Dengan demikian, pembabakan sesudah Angkatan 45 ke Angkatan 66, sebenarnya mengandung rumpang. Di antara kedua Angkatan itu, mestinya ada satu angkatan lain, sebagaimana yang diusulkan Ajip Rosidi mengenai Angkatan Terbaru.[12] Persoalannya akan menjadi lain jika pembabakan itu berdasarkan periodesasi, dan bukan angkatan.
***
Pembicaraan beberapa periodesasi tersebut di atas (Balai Pustaka sampai Angkatan 45) sekadar hendak menunjukkan bahwa catatan sejarah kesusastraan Indonesia, perlu segera direvisi. Satu hal yang juga penting dipertimbangkan adalah keberadaan sastra yang dimuat di berbagai media massa. Tanpa melibatkan itu, maka catatan sejarah kesusastraan Indonesia akan tetap menampilkan potongan-potongan tidak lengkap dari perjalanan kesusastraan kita.
Penamaan Angkatan 66, sesungguhnya juga mengandung beberapa persoalan, oleh karena itu terbuka pula untk diperdebatkan. Dasar pemikiran Jassin mengenai Ang-katan 66 ini, bertumpu pada peristiwa tahun 1966 ketika mahasiswa dan para pelajar kita mendobrak kebobrokan dan penyelewengan negara. “… kita pun menyaksikan satu ledakan pemberontakan dari penyair, pengarang dan cendekiawan, yang telah sekian lama dijajah jiwanya dengan slogan-slogan yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.”[13] Selanjutnya Jassin mengatakan: “Siapakah pengarang-pengarang yang termasuk Angkatan 66 ini? Ialah mereka yang tatkala tahun 1945 berumur kira-kira 6 tahun dan … tahun 1966 kira-kira berumur 25 tahun. Mereka inilah yang telah giat menulis dalam majalah sastra dan kebudayaan sekitar tahun 55-an, seperti Kisah, Siasat, Mimbar Indonesia, Budaya, Indonesia, Konfrontasi, Tjerita, Prosa, Basis….”[14]
Demikianlah, kita melihat bahwa penamaan angkatan-angkatan yang lalu diajarkan di sekolah-sekolah, sebenarnya mengandung banyak persoalan. Jika persoalan masa lalu penamaan sejarah kesusastraan kita masih perlu perevisian, lalu perlu dan sudah amat mendesakkah Angkatan 2000 dilahirkan? Persoalan tahun 70-an yang semarak dengan karya eksperimentasi dan tahun 80-an yang beragam, juga masih perlu perumusannya sendiri. Oleh karena itu, pembicaraan angkatan 2000, seyogianya di dalam konteks prediksi-prediksi yang serba mungkin melahirkan kecenderungannya sendiri.
Sastra Indonesia Tahun 2000
Sejak isu “Sastra Pedalaman” digulirkan, sastrawan berbagai daerah di luar Jakarta seolah-olah hendak berteriak keras dan “mendesak” legitimasi keberadaan mereka. Keberadaan sastrawan daeah yang kemudian mengirimkan karya-karya ke pusat-pusat kota, sesungguhnya sudah ada sejak sebelum Balai Pustaka berdiri. Lalu, perlukah legitimasi itu diberikan, jika secara faktual mereka memang ada dan mengada?
Dalam konteks sejarah kesusastraan Indonesia, kehadiran mereka –apalagi yang tidak menulis di media-media ibukota– memang acapkali tenggelam dan ditenggelamkan. Beruntung mereka kemudian mempublikasikan sendiri karya-karyanya –meski dengan biaya swadaya dan dengan hasil cetakan yang tidak mewah. Lalu, apakah keberadaan me-reka akan ditenggelamkan lagi? Inilah tugas besar lembaga-lembaga penelitian untuk menginventarisasi dan mengkodifikasi karya-karya mereka.
Sementara itu, terbitnya koran-koran dan majalah lokal, sekaligus merupakan wadah yang telah memberi peluang bagi mereka untuk menyalurkan karyanya. Jadi, sesungguhnya publikasi mereka dapat dilakukan secara lokal dan nasional. Di sini pula, penelitian mengenai sastra koran dan majalah, mutlak perlu dilakukan.
Dalam situasi demikian, perubahan besar dalam tatanan kehidupan sosial politik di negeri ini, niscaya juga akan berdampak besar bagi kehidupan sosial budaya di berbagai daerah. Tawaran otonomi daerah yang lahir dari keinginan untuk tidak terlalu bergantung pada pemerintah pusat, membuka ruang yang lebih luas bagi sastrawan di berbagai daerah untuk menunjukkan jati dirinya dan bersaing secara sehat dengan sastrawan ibukota. Jakarta, niscaya tidak akan lagi menjadi pusat orientasi.
Kecenderungan itu sudah tampak ketika isu “Sastra Pedalaman” digulirkan, dan keberadaan mereka akan sangat penting dalam tahun 2000 nanti. Lalu, apakah cukup signifikan kontribusi mereka bagi perkembangan kesusastraan Indonesia? Sekadar contoh, mari kita periksa beberapa nama mereka.
Dalam tahun 2000 nanti, Gus tf (Padang) dan Taufik Ikram Jamil (Riau), agaknya tinggal menunggu waktu pembaptisannya sebagai sastrawan penting awal abad 21 ini. Bahwa keduanya memperlihatkan penguasaan bahasa Indonesia dengan begitu jernih, tentu tak terlepas dari latar sosio-kulturalnya. Meski keduanya memperlihatkan problem kultural yang berbeda –dan terasa lebih kental pada diri Taufik, Sangkar Daging, Gus tf dan Tersebab Haku Melayu, Taufik, merupakan karya jadi dan menjanjikan. Sekali lagi, pembaptisannya sastrawan penting tinggal menunggu waktu.
Hal yang sama juga terjadi pada sastrawan Bandung. Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, Agus R. Sarjono, tak pelak lagi adalah tiga nama yang juga sudah jadi dan keduanya tidak perlu lagi menunggu waktu. Jangan lupa pula nama Cecep Samsul Hari dan Oka Rusmini, dua nama yang kiprahnya penuh pengharapan. Disusul dengan nama-nama Ahmad Syubbanudin Alwy, Saeful Badar, Karno Kartadibrata, Doddi Achmad Fawzy, Juniarso Ridwan, Beni Setia, Atasi Amin, Ahda Imran. Bandung kelak sangat mungkin akan menjadi salah satu pusat kegiatan sastra yang penting yang tidak dapat diabaikan kontribusinya bagi perkembangan kesusastraan Indonesia.
Lampung juga patut diperhitungan. Nama-nama Naim Emel Prahana, Hasanuddin Z. Arifin, Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tanpaka, Panji Utama, tidak hanya penting bagi penyemarakan kehidupan sastra di sana, tetapi juga penting dalam mendorong lahirnya (calon) sastrawan yang kemudian.
Kesemarakan kehidupan kesusastraan Indonesia belakangan ini, dimungkinkan pula oleh peran yang dimainkan komunitas-komunitas sastra. Riau, Bandung, Lampung, Padang, Makasar, Banten, Depok, Tanggerang, dan entah di mana lagi komunitas-komunitas sastra itu bertebaran. Keberadaannya jelas punya kontribusi yang tidak kecil. Komunitas Sastra Indonesia, misalnya, secara berkala menyelenggarakan kegiatannya cu-kup punya arti penting dalam konteks pemerkayaan catatan sejarah kesusastraan kita. Penelitiannya mengenai komonitas sastra di Jabotabek, memperlihatkan, betapa kehidupan kesusastraan kita sesungguhnya tidak sepi. Usahanya menebitkan kumpulan puisi terbaik,[15] tahun 1998 merupakan salah satu cara “melahirkan” sastrawan.
Beberapa nama yang juga patut dicatat, antara lain, Anil Hukma (Ujung Pandang) yang telah menghasilkan beberapa antologi, Tomon Haryowisobo (Yogyakarta) jika cukup menjanjikan, dan Tomy Tamara (Makasar) sangat gigih menekuni bidang sastra. Selain itu, sejumlah nama lulusan FSUI, agaknya tidak mau ketinggalan. Yudhi Sunarto, dan kemudian Asep Sambodja, Ihsan Abdul Salam, Purwad Djunaedi, Rizal, dan belakangan Zeffry J. Alkatiri, memberi warna lain dalam peta kesusastraan kita.
Nama-nama lain, pasti masih banyak yang tercecer. Yang jelas, mereka adalah panyair (yang sudah jadi) dan (calon) penyair yang sungguh menjanjikan. Merekalah yang kelak akan turut menentukan maju tidaknya kesusastraan Indonesia abad 21.
Sementara itu, para cerpenis muda kita –yang juga bertebaran di pelosok tanah air ini– beberapa di antaranya niscaya akan menjadi sastrawan penting. Seno Gumira Ajidarma, Jujur Prananto, Yanusa Nugroho, –jelas– tidak perlu diperkatakan lagi. Dari Surabaya, M. Shoim Anwar (telah menghasilkan sejumlah antologi) dan Sirikit Syah (juga telah menghasilkan antologi) memperlihatkan kualitas yang mumpuni, kemudian Kusprihyanto Namma dan Aria Kamandaka, Sony Karsono memberi banyak harapan bagi karya-karya selanjutnya. Dari Yogyakarta, dua nama Agus Noor dan Joni Aridinata; di antara penulis wanita, Helvy Tiana Rosan dan Lea Pamungkas, patut pula kita perhitungkan.
Sesungguhnya, masih banyak nama yang memberi pengharapan besar bagi penyemarakan kesusastraan kita di masa mendatang. Merekalah yang kelak diharapkan “menguasai peta” cerpen Indonesia.
Bagaimanakah dengan prosa Indonesia mendatang? Harapan besar tentu jatuh pada nama Ayu Utami, Taufik Ikram Jamil, dan para cerpenis kita. Meski para cerpenis itu belum menghasilkan novel, dari cara bertutur dan tema yang dikedepankan, teristimewa Seno, Yanusa, dan Jujur, novel dari tangan mereka tinggal menunggu waktu dan maunya mereka.
Apa yang melandasi pemikiran bahwa mereka akan berperan penting dalam penyemarakan kesusastraan Indonesia abad 21. Peran media massa, terutama surat kabar Minggu, baik terbitan ibukota, maupundaerah, tetap akan memberi kontribusi penting dalam melahirkan dan mematangkan kesastrawanan mereka. Kondisi itu juga dimatangkan lewat peran komunitas-komunitas sastra.
Sementara itu, di luar peran media massa dan komunitas sastra, terjadinya perubahan mendasar dalam kehidupan sosial politik pemerintah, memberi ruang yang cukup luas bagi penyemarakan kehidupan sosial budaya –termasuk sastra– di negeri ini. Adanya penataran bagi guru-guru sastra, sebagaimana yang sudah, sedang dan terus akan dilakukan Taufiq Ismail, membuka terjadi perubahan cara pengajaran sastra di sekolah-sekolah. Yang lebihpenting dari itu, memungkinkan citra sastrawan dalam pandangan guru dan siswa, berubah secara meyakinkan. Anggapan bahwa membaca karya sastra sebagai pekerjaan yang membuang-buang waktu, profesi sastrawan sebagai “pengangguran” dan pelajaran sastra sebagai materi yang tidak penting, –dalam penataran itu– tampak mulai berubah secara meyakinkan.
***
Kehidupan sastra tahun 2000, jika melihat fenomena yang terjadi dewasa ini, agaknya sangat melegakan hati. Persoalannya tinggal, apakah para sastrawan kita, mampu mengeksploitasi dan mengeksplorasi berbagai problem sosio-kultural kita. Tanpa usaha pendayagunaan dan penjelajahan itu, tanpa usaha penggalian dan pendalaman keberagaman kekayaan kultur kita, niscaya karya-karya yang akan dihasilkannya hanya sebagai karya yang baik, tidak monumental. Jika begitu, ia hanya sekadar meramaikan belaka dan tidak cukup penting untuk melengkapi catatan sejarah kesusastraan Indonesia.
Demikianlah, jika tahun 2000 nanti, sejumlah nama yang telah disebutkan itu secara kolektif, cukup signifikan mewarnai peta kesusastraan Indonesia, penamaan Angkatan Sastra 2000 patutlah dipertimbangkan, meski saya cenderung menyebutnya sebagai Periode Reformasi. Kita lihat saja nanti!
______________________________________________
* Diskusi Angkatan Sastra 2000, Diselenggarakan Komunitas Sastra Indonesia, Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, 2 Oktober 1999.
* Pengajar FIB-UI

[1] Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung; Binacipta, 1976), hlm. 13.
[2] Ibid., hlm. 16–19.
[3] Ajip Rosidi, Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? (Jakarta: Gunung Agung, 1985), hlm 1–8.
[4] Zuber Usman, Kesusasteraan Baru Indonesia, (Djakarta: Gunung Agung, 11957), hlm. 1–2.
[5] A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia, (Ende: Nusa Indah, 1978), hlm. 15–18.
[6] Majalah Poetri Hindia yang dikelola Tirto Adhi Soerjo sengaja menggunakan bahasa Melayu Pasar, karena menurutnya bahasa Melayu seperti itu adalah bahasa masyarakat pribumi. Ia menolak menggunakan Ejaan Ophuijsen, karena selain logat yang dirumuskan orang asing, juga secara teknis menambah biaya jika berkirim telegram (kawat). Ia mau menggunakan logat van Ophuijsen jika pemerintah Belanda mendanai penerbitan majalah itu. Inilah kalimat terakhirnya: “Kalau Gouvernement tida maoe bantoe kesempoernaan maksoednja Poetri ini, Poetri poen tida maoe bantoe meoemoemkan pendapatnja Ophuizen jang disangkal tidak saja oleh kantor post djoega ampir semoea pers Melajoe.
[7] Perlu diingat bahwa berdirinya Balai Pustaka (1908; 1917) terutama dimaksudkan sebagai usaha mencegah masuknya pengaruh bacaan terbitan swasta. Jadi, secara tidak langsung, penerbit-penerbit swasta itulah yang “mendorong” pemerintah Belanda untuk mendirikan Balai Pustaka.
[8] Budi Darma, “Sastra Kita Menghadapi Masa Depan,” Horison, Mei 1999, hlm. 12.
[9] Lihat Sitor Situmorang, “Angkatan 45,” Gelanggang, Siasat, 6 November 1949. Pembicaraan mengenai Angkatan 45 yang agak lengkap, lihat Keith Foulcher, Angkatan 45 (Jakarta: Jaringan Kerja Budaya, 1993; dengan beberapa perubahan dimuat pula dalam “Angkatan 45 dan Warisannya: Seniman Indonesia sebagai Warga Masyarakat Dunia,” Ajip Risidi, et al., Asrul Sani 70 Tahun, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1997) hlm. 85–114.
[10] Budi Darma, Loc. Cit., hlm. 15–16.
[11] Majalah Prosa, terbit pertama kali Juli 1955.
[12] Ajip Rosidi, Op. Cit., hlm. 138.Lihat juga, Ajip Rosidi, Kapankah Kesusasteraan Indonesia Lahir? (Djakarta: Bhatara, 1964).
[13] H.B. Jassin, Angkatan 66: Prosa dan Puisi, (Jakarta: Gunung Agung, 1976), hlm. 5.
[14] Ibid., hlm. 19.
[15] Untuk tahun 1998, Komunitas Sastra Indonesiatelah memilih antologi puisi Toto ST Radik, Indonesia Setengah Tiang, (KSI, 1999). Saya melihat, penyair asal Banten ini punya prospek yang baik jika terus serius menekuni bidang sastra.

Sastra: Ringkasan Ciri-ciri Karya Sastra Tiap Angkatan

Ciri-ciri Angkatan Balai Pustaka
Berbicara tentang pertentangan adat dan kawin paksa, dominasi orang tua dalam perkawinan. Gaya penceritaan terpengaruh oleh sastra Melayu yang mendayu-dayu, masih menggunakan bahasa klise seperti peribahasa dan pepatah-petitih. Karya-karya yang diterbitkan Balai Pustaka diharuskan memenuhi Nota Rinkes yang berbunyi: didaktis, serta netral agama dan politik.
Ciri-ciri Angkatan Pujangga Baru
Menampilkan nasionalisme Indonesia,. memasuki kehidupan modern, menampakkan kebangkitan kaum muda. Banyak terpengaruh oleh Angkatan 1880 di Negeri Belanda, sehingga puisi-puisinya banyak yang berbentuk soneta. Pada masa ini terjadi polemik yang seru antartokoh-tokohnya. Sutan Takdir Alisyahbana berorientasi ke barat yang intelektualistik, individualistuik dan materialistik, punya idealisme tinggi akan kemajuan iptek/sains dan dunia. Sanusi Pane berorientasi ke timur (India, Timur Tengah, Cina) yang spiritualistik, mementingkan olah ruhani. Kemudian Armijn Pane, Amir Hamzah, Kihajar Dewantara, yang lebih menginginkan adanya sintesis barat yang sifistikated dan timur yang sufistik.
Ciri-ciri Sastra Masa Masa Jepang dan Angkatan 45
Bicara tentang kegetiran nasib di tengah penjajahan Jepang yang sangat menindas, menampilkan cita-cita merdeka dan perjuangan revolusi fisik. Pada masa Jepang untuk berkelit dari sensor penguasa, berkembang sastra simbolik. Muncul ungkapan-ungkapan yang singkat-padat-bernas (gaya Chairil Anwar dalam puisi) dan kesederhanaan baru dengan kalimat pendek-pendek nan lugas (gaya Idrus dalam prosa fiksi/sketsa).
Sastra dekade 50-an
Memantulkan kehidupan masyarakat yang masih harus terus berjuang dan berbenah di awal-awal masa kemerdekaan. Disebut juga Generasi Kisah (nama majalah sastra). Di masa ini sastra Indonesia sedang mengalami booming cerpen. Juga marak karya-karya teater dengan tokohnya Motenggo Boesye, Muhammad Ali Maricar, W.S. Rendra (sekarang Rendra saja).Mulai tumbuh sarasehan-sarasehan sastra terutama di kampus-kampus.
Sastra Angkatan ‘66
Menegakkan keadilan dan kebenaran bnerdasarkan Pancasila dan UUD 45, menentang komunisme dan kediktatoran, bersama Orde Baru yang dikomandani Jendral Suharto ikut menumbangkan Orde Lama, mengikis habis LEKRA dasn PKI. Sastra Angkatan ’66 berobsesi menjadi Pancasilais sejati. Yang paling terkenal adalah “Tirani” dan “Benteng” antologi puisi Taufiq Ismail. Hampir seluruh tokohnya adalah pendukung utama Manifes Kebudayaan yamng sempat berseteru dengan LEKRA.
Dekade 70-an – 80-an
Penuh semangat eksperimentasi dalam berekspresi, merekam kehidupan masyarakat yang penuh keberagaman pemikiran dan penghayatan modernitas. Muncul para pembaharu sastra Indonesia dengan karuya-karyanya yang unik dan segar seperti Sutarji Calzoum Bachri dan Yudhistira Ardi Noegraha dalamm puisi, Iwan Simatupang dan Danarto dal;am prosa fiksi, Arifin C. Noer dan Putu Wijaya dalam teater.
Sastra Mutakhir (Dekade 90-an dan Angkatan 2000)
Memasuki era Reformasi yang sangat anti KKN dan praktik-praktik otoriter, penuh kebebasan ekspresi dan pemikiran, mengandung renungan religiusitas dan nuansa-nuansa sufistik. Menampilkan euforia menyuarakan hati nurani dan akal sehat untuk pencerahan kehidupan multidimensional. Taufiq Ismail yang pernah terkenal sebagai tokoh sastra Angkatan ’66 ikut mengawal Reformasi dengan bukunya antologi puisi “Malu Aku Jadi Orang Indonesia” (MAJOI). Di samping menampilkan sanjak-sanjak peduli bangsa (istilah yang diusung rubrik budaya Republika) dan karya-karya reformasi yang anti penindasan, gandrung keadilan, berbahasa kebenaran (sesuai Sumpah Rakyat 1998), muncul pula fenomena kesetaraan gender yang mengarah ke woman libs sebagaimana tercermin dalam karya-karya Ayu Utami dari Komunitas Sastra/Teater Utan Kayu, Jenar Mahesa Ayu, Dewi Lestari. Pada era yang bersamaan berkibar bendera Forum Lingkar Pena (FLP) dengan tokohnya HTR (Helvy Tiana Rosa) yang berobsesi mengusung Sastra Pencerahan, Menulis Bisa Bikin Kaya (kaya ruhani, kaya pikiran,, kaya wawasan, dan semacamnya).