07 Februari 2015

MATA PENGAWAS

Namaku Gilang, pria lajang semata wayang dengan perawakan kering kerontang. Bukan salah bunda mengandung, tapi ini adalah takdirku, untuk menjadi seorang pejuang!
Aku lahir dari keluarga guru. Kakek buyutku adalah seorang guru ngaji yang tiap bulan tak pernah gajian. Kakekku seorang guru silat yang paling kesohor di kampungku dengan bayaran seikhlasnya. Ayahku selama 30 tahun menjadi seorang Oemar Bakri yang berpenghasilan ala kadarnya. Mereka semua kini telah tiada, tetapi murid-murid mereka tumbuh dan berserakan di gedung DPR, di kepolisian, di kejaksaan, di rumah sakit-rumah sakit, di lapas-lapas, di kapal laut, di pesawat terbang, bahkan di antariksa. Murid-murid mereka sukses menjadi apa yang mereka cita-citakan. Dan aku, kini menjadi seorang guru honorer di salah satu sekolah negeri favorit di Bogor Timur. Ya, guru honorer. Menjadi guru memang impianku sejak kecil, tak peduli menjadi guru PNS maupun honorer. Bagiku, uang bukan yang utama, tetapi pengabdian adalah nomor satu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa!
Malam-malam selalu terasa panjang bagi pria lajang sepertiku. Di luar hujan, pacar tak punya. Pilihan utama biasanya bermain gitar sambil iseng-iseng membuat lagu, kadang sampai menjelang subuh. Sepanjang sejarah, belum pernah ada satu lagu pun yang selesai dibuat. Ya, namanya juga iseng.
Khusus malam ini, aku habiskan waktu semalam suntuk dengan bermain PS3. Ini PS baru aku beli. Walaupun seken, tapi ini dibeli dengan uang halal hasil keringat sendiri. Hahahaa… ayo main!
* * *
KRIIIIING!! Kulihat jam tangan. 7.00
Aku kesiangan! Hari ini aku harus mengawas Try Out kelas XII. Try Out dimulai pukul 7.30. Lima belas menit sebelumnya aku harus sudah sampai di sekolah untuk mengikuti pengarahan dari kepala sekolah. Mataku masih merah. Bergegas kuambil air wudhu, lalu shalat subuh. Aku malu pada kakek buyutku. Selesai salam langsung ganti baju, sisir rambut, cium tangan ibu, dan berangkat!
Kutancap motor motor bututku dengan kecepatan 30km/jam. Udara pagi ini terasa dingin menusuk tulang. Aku lupa memakai jaket. Dan belum makan. Aku tahan-tahan. Sampai juga di gerbang sekolah tercinta.
Kuparkirkan motor di tempat parkiran. Parkiran masih sepi. Sampai depan ruang guru pun belum ada orang. Kulihat jam dinding di aula, 6.30. kulirik jam tanganku. Sialan salah lihat jam! Jam tanganku mati!
Terpaksa harus menunggu, duduk sendiri di kursi panjang samping ruang guru. Mataku masih merah.
* * *
Waktu mengawas telah tiba. Kubawa map berwarna hijau menuju ruang kelas paling ujung. Suasana hening. Masuklah aku ke ruang ujian. Map kuletakkan di atas meja pengawas.
“Siap beri saaaaalam!” teriak salah seorang siswa.
“Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” seru seluruh siswa.
Dalam hati kujawab salam itu. Kupandangi wajah-wajah para peserta ujian. Ada yang terlihat tegang, ada biasa-biasa saja, ada juga yang balas memandang dengan tatapan genit. Dasar anak SMA.
“Siapkan alat tulis, masukkan HP ke dalam tas, simpan tas kalian di depan kelas!”
Kubuka map berwarna hijau, kubagikan lembar soal dan lembar jawaban dengan cepat kepada seluruh peserta ujian.
“Ingat, waktu kalian 120 menit! Jangan ada yang menyontek! Kerjakan semampu kamu! Ingat, ini baru Try Out! Paham?”
“Iya, Pak!”
Kududuk di kursi pengawas untuk mengisi Lembar Berita Acara dan Daftar Hadir Peserta Try Out. Tiga puluh menit pertama suasana masih hening. Mereka masih anteng dengan lembar soal masing-masing. Tak sengaja kulihat salah seorang siswa asyik tertidur.
“Hey, kamu!!” kutunjuk wajahnya dari jauh dengan telunjuk saktiku sambil berdiri. Siswa itu pun terbangun mendengar teriakanku.
“Iya, Pak,” jawabnya gugup. Ruangan pun hening kembali. Aku pun kembali duduk.
Selang beberapa waktu, kulihat beberapa akal bulus mereka…. Ada seorang siswa bertubuh gempal menagih jawaban pada temannya yang mungil di depannya.
“Ehm…,” dehemku mengingatkan.
“Ehm… ehm… ehm…,” balas beberapa siswa dengan kesan mengejek. Beberapa siswa lainnya menjadi riuh. Aku pun agak kesal mendengarnya. Ah, kuberdiri saja sambil menatap tajam wajah-wajah mereka.
“Pak, duduk aja Pak biar gak pegel,” bujuk salah seorang siswa.
“Terima kasih,” balasku dengan tetap berdiri. Malah, agak kudekati dianya yang duduk di depan sebelah kiri. Beberapa siswa masih mencoba melakukan akal bulus mereka. Beberapa mata mereka mencuri pandang ke arahku, lalu mencolek temannya yang dia anggap pintar. Kutangkap juga melalui sudut mataku adegan seorang siswa yang sedikit mengangkat lembar jawabannya sementara kawannya asyik memindahkan jawaban dari lembar jawabannya itu.
Melihat adegan itu, kuteringat nasihat ayahku, ‘Jika kamu melihat kemunkaran di depan matamu, maka hentikanlah dengan tanganmu, atau dengan lidahmu, atau cukup dengan hatimu, maka itu adalah selemah-lemahnya iman.’
“Hey, kamu!!” kutunjuk wajahnya dari jauh dengan telunjuk saktiku. Seketika kaget dianya dan lembar jawabannya kembali rata dengan meja.
“Pak, jangan galak-galak, dong,” celetuk siswi cantik yang duduk samping jendela. Tapi aku tidak tergoda.
“Maaf ya, saya bukan galak! Saya hanya membantu kalian agar kembali ke jalan yang benar!”
Beberapa adegan akal bulus kembali terekam sorotan tajam mataku, lagi dan lagi… dan telunjukku ini sepertinya sudah kurang ampuh lagi.
“Ssst… nomor 13!”
“C.”
“14?”
“Belum.”
“15?”
“Belum.”
“Hey, kamu!!” kuhentikan operasi mereka.
“Pak, Bapak kayak gak pernah nyontek aja…,” komentar salah seorang siswa.
“Iya, Pak… pengertian lah, Pak,” sambung yang lain.
“Hey, kalian! Menyontek itu berarti tidak jujur, sama artinya dengan menipu diri, membohongi diri sendiri, membohongi guru kalian dan bahkan orangtua kalian!” ucapku dengan geram. “Sudah tahu kalian tidak bisa, mau pura-pura bisa, ingin dianggap bisa! Makanya belajar! Kerjakan sebisanya! Kalau gak bisa, sudah kumpulkan saja, pulang, belajar lagi!”
“Serius amat pak ampe segitunya?” celetuk siswi berjilbab.
“Astagfirulloohal’azhiiim… Buka mata kalian! Bayangkan, jika nanti ketika kalian lulus dengan kemampuan palsu, lalu menjadi dokter yang sedang memeriksa pasien dan kalian bingung si pasien mengidap penyakit apa, kalian mau menyontek ke siapa? Nyontek resep siapa? Bayangkan pula sekiranya ada yang menjadi arsitek yang dipercaya membangun hotel dan jembatan, lalu ia bingung menghitung sudut dan siku, lalu terpaksa ia menghitung asal-asalan, lalu tak lama akhirnya hotel dan jembatan yang ia bangun AMBRUK karena salah perhitugan. Berapa banyak korban penghuni hotel dan pengguna jembatan yang akan tewas?? Lalu bayangkan lagi jika ada salah seorang dari kalian yang menjadi anggota DPR yang harus merumuskan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tetapi ia tidak bisa menghitung anggaran dengan benar, hancurlah Negara ini!”
Beberapa siswa menyimak dengan teliti. Tapi rupanya ada seorang siswa berkulit coklat di tengah samping kanan sedang asyik menyalin jawaban dari lembar jawaban teman di depannya.
“Ehm…,” dehemku kesal.
“Ehm, nomor 32 ehm…,” celetuk salah seorang siswa lainnya yang berambut keriting kepada temannya yang dianggap pintar.
“Ehm, belum!” jawabku geram. Seketika ruangan menjadi riuh. Kulirik jam dinding. “Sudah, sudah, jangan ribut! Kerjakan sebisamu! Waktumu tinggal 30 menit lagi.”
Akal bulus pun makin terang-terangan. Ada yang bertanya kencang, malah ada pula yang berani meloncat mendekati lembar jawaban temannya.  Aku semakin geram.
“Sssst…. 27!”
“A.”
“Satu esai?
“Panjang.”
“Hey, kalian! Ingat, ini hanya Try Out! Jangan korbankan try Out ini dengan perbuatan kotor kalian hanya demi sebuah nilai palsu,” peringatanku tidak digubris. Wajah-wajah dan sorotan mata mereka yang seolah tak berdosa membuatku ingin marah. Jadilah sudah aku naik darah. “Hey, kaliaaaaaaan!!”
* * *
“Hey, Kang! Bangun! Ayo mulai ngawas!” suara rekan kerjaku menyadarkanku dari tidur. Kubuka mataku yang masih lengket. Kulihat ia berjalan meninggalkanku dengan map hijau di tangannya.

Jonggol, 3 Februari 2015