06 Februari 2018

IKHLAS

Aku masih ingat betul Senin kemarin itu adalah pertemuan terakhirku mengajar di kelas itu. Senin depan, mereka sudah harus menghadapi ujian akhir semester. Masih sangat jelas hari itu aku memberikan tagihan akhir berupa tugas menulis teks ulasan film yang sudah pernah mereka tonton.
“Anak-anak, belajar bahasa itu di mana-mana sama saja, hanya belajar mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Pada pertemuan-pertemuan sebelumnya, kalian sudah pernah mempelajari contoh-contoh teks ulasan film, presentasi mengulas film yang sudah kalian tonton secara berkelompok di depan kelas. Sekarang saatnya kalian belajar menulis. Silakan kalian buat secara tertulis di kertas selembar teks ulasan dari film yang sudah pernah kalian tonton yang menurut kalian paling menarik! Ingat, menulis itu berbeda dengan mengarang. Mengarang itu mengada-ada, pura-pura mampu,  sedangkan menulis mah apa adanya, semampunya. Dan, menulis tingkat SMA itu berbeda dengan tingkat SD. Kalau menulis tingkat SD itu menyalin tulisan, sedangkan tingkat SMA mah menuangkan ide dan gagasan. Jadi, kalian tidak saya perkenankan menyalin teks ulasan dari mbah gugel. Tulis saja sebisanya, semampunya. Kalau ada kesulitan, silakan tanyakan. Jelas, ya. Ada pertanyaan?”
“Belum ada, Pak!”
“Banyak, di soal UKK!”
“Hahaha... Bapak mah bisa aja.”
“Ingat ya, menulis, bukan mengarang ataupun menyalin! Silakan.”

* * *

Lembaran kertas tugas siswa dari tiga kelas yang kuajar kini menumpuk di depan mataku. Malas aku mengoreksinya. Sebenarnya aku bukan tipe guru pemalas, sungguh. Tapi nyatanya kali ini aku benar-benar malas. Meliriknya saja kini aku enggan. Ingin kubakar saja kertas-kertas itu biar mampus. Muak aku dengan kertas. Betapa tidak, baru beberapa kertas kubaca, sudah tercium bau gugel. Kucoba baca kertas-kertas lainnya secara random, hampir semuanya rasa gugel, terutama di kelas yang satu itu. Padahal sudah kuingatkan, tulis sebisanya, jangan menyalin.
Apa susahnya sih mengulas film? Menceritakan kembali alur film dengan bahasa sendiri, kemudian menilai kelemahan dan kelebihan film dengan pemahaman sendiri, apa sulitnya? Kalau merasa sulit kan bisa bertanya ke gurunya. Apalagi yang sulit?
Ah, jelas sudah. Intinya, mereka semua tidak ada keinginan untuk belajar. Berangkat sekolah hanya untuk status pelajar. Ngakunya saja pelajar, tetapi ketika disuruh belajar malah ogah-ogahan. Maunya hanya santai-santai, kumpul becanda haha hihi dengan teman-teman, bahkan ada yang cuma numpang pacaran. Dasar pelajar palsu.
Anak sekolah zaman sekarang yang dikejar hanya angka bagus di rapor, tak peduli dengan cara etis ataupun tidak. Tak pernah saya lupakan bagaimana hebatnya aksi mereka ketika mengerjakan soal UTS kemarin, menyontek berjamaah. Sebal aku mengenangnya. Harusnya yang mereka kejar itu adalah nilai, nilai keuletan, nilai kerja keras, nilai kepercayaan diri, nilai pantang menyerah, nilai kejujuran, bukannya angka. Sudahlah, biar kali ini mereka semua kuberi angka kecil saja di rapor, biar tau rasa. Titik.

* * *

Pukul dua dini hari. Aku masih duduk melamun di meja kerja bersama kertas-kertas tugas siswa yang belum juga kubakar. Mataku sudah spaneng 5 watt, tapi kekesalan masih menyala terang di hati dan kepala. Tiba-tiba remang-remang terbayang seraut wajah penuh keteduhan, dengan senyumnya yang khas. Dia adalah guruku. Guru skripsiku waktu di kampus dulu, sudah sangat lama sekali. Tatapan matanya yang lembut mampu menghapus lelahku setelah berdesak-desakan di kereta antara Bogor-Cikini, berpanas-panasan dalam kemacetan bus Rawamangun. Senyum khasnya itu, mampu memompa semangatku untuk segera menyelesaikan skripsi dengan literatur yang memadai dan kualitas analisis yang mendalam. Selama kurang lebih tiga setengah tahun kuliah, rasanya ketika menyusun skripsi itulah aku benar-benar merasa belajar. Dialah dosen satu-satunya yang benar-benar menjadi guruku.
Kuingat saat ia mengajak kami menyanyi pada acara wisuda: Kasih ibu kepada beta / Tak terhingga sepanjang masa // Hanya memberi, tak harap kembali / Bagai sang surya menyinari dunia //. Kemudian ia berpesan, “Begitulah seharusnya seorang guru, ikhlas seperti kasih ibu, seperti mentari, hanya memberi, tak harap kembali.”
Astagfirullah. Selama ini aku lupa. Aku terlalu banyak mengharap. Mengharap pemikiran siswa harus sama denganku. Mengharap kemampuan siswa harus sama denganku. Jelas-jelas pemikiran anak remaja jauh berbeda dengan orang dewasa. Jelas-jelas kemampuan anak SMA tidaklah sama dengan sarjana. Aku terlalu banyak mengharap, lupa memberi. Bukannya memberi pembelajaran yang menyenangkan, malah memberikan kekesalan dan kemarahan. Astagfirullah. Aku lupa memberi. Aku harus introspeksi. Mungkin metode mengajarku salah, mungkin kurang media pembelajaran, mungkin gestur dan mimik mukaku salah, mungkin memang banyak kurang dan salah. Aku harus banyak memberi, jangan banyak berharap. Maafkan gurumu yang lalai ini, Nak!
Di sepertiga malam terakhir itu, aku bergegas merapikan lembaran kertas kerja siswa yang berserakan. Kubawa kertas-kertas itu ke luar rumah. Udara di luar terasa dingin sekali. Kupandangi langit, ternyata sepi dari bintang-bintang. Biarlah langit kelam ini menjadi saksi. Dengan mengucap basmalah, kubakar kertas-kertas itu dengan gelora semangat dalam dada, “Nak, kita mulai dari nol, ya!”

Jonggol, 13/06/2017

MUNAFIK

#1
Sungguh beruntung Pak Untung ini, sekarang sudah resmi jadi PNS golongan III-a. Sebagai seorang PNS, Pak Untung tak perlu khawatir lagi untuk memberi nafkah anak-istrinya dan keluarga besar istrinya, juga membayar sewa kontrakan setiap bulannya. Selain mengajar mapel Sejarah di SMA negeri dekat rumahnya, Pak Untung ini sekarang dipercaya juga sebagai bendahara BOS. Sebagai bendahara BOS, tentunya Pak Untung memegang banyak uang, tapi uang panas. Keberuntungan Pak Untung yang lain saat ini adalah dipercaya sebagai Ketua Panitia Penerimaan Siswa Baru.

Suatu sore, datanglah Pak Komar bertamu ke rumah Pak Untung. Maksud dan tujuan kedatangan Pak Komar yaitu ingin mendaftarkan anaknya ke SMA tempat Pak Untung mengajar. Pak Komar ini adalah seorang pegawai desa yang cukup terpandang di daerahnya.

“NEM anak saya, Marko, memang tidak terlalu besar. Akan tetapi, Marko itu anak baik. insyaAllah tidak akan melakukan hal-hal yang merepotkan Ibu/Bapak guru di sekolah. Ini sedikit ala kadarnya untuk Pak Untung,” ucap Pak Komar sambil menyodorkan amplop putih dengan garis pinggir merah-biru.
“Saya belum bisa menjamin anak Bapak diterima. Daftarkan saja sesuai prosedur, mudah-mudahan bisa masuk. Dan maaf, saya tidak bisa menerima ini.”
“Kenapa? Apa tidak cukup? Nanti saya tambah. Berapa?
“Maaf, saya tidak bisa menerima sogokan.”
“Sok suci! Saya tahu Pak Untung diterima PNS juga hasil sogokan. Zaman sekarang mana mungkin bisa jadi PNS kalau tanpa begituan. Sudah terima saja ini, tidak usah munafik!”
“Munafik?”

#2
Sudah sangat lama Pak Untung ingin memiliki rumah sendiri agar bisa terbebas dari sewa kontrakan rumah. Sudah hampir setahun sejak menerima gaji pertamanya sebagai PNS, Pak Untung rajin menabung dan gemar sedekah agar dapat membeli tanah dan membangun rumah sendiri.

Untung sekali malam itu sehabis pulang dari salat berjamaah Isya di masjid, Pak Komar mampir ke rumah Pak Untung untuk sekadar ngopi-ngopi dan ngobrol ngaler-ngidul. Pak Komar ini selain sebagai seorang pegawai desa juga memiliki profesi sampingan sebagai calo tanah dan rumah. Pak Komar menawarkan, ada salah seorang warga yang mau menjual rumahnya dengan cepat karena terlilit utang-piutang dengan lintah darat.

“Luas tanahnya 200 m2, bangunan 90 m2, cuma minta tujuh puluh juta. Lokasi strategis, Pak Untung. Dijamin untung. Ayo sikat, Pak!”
“Saya minat, tetapi saya tidak punya uang sebanyak itu, Pak Komar.”
“Bapak ‘kan pegang uang BOS.”
“Itu bukan uang saya, Pak.”
“Hmm... Bapak ‘kan sudah PNS. Pinjam saja ke bank. Bisa ‘kan?
“Ya, bisa saja. Tapi saya tidak mau kena utang bank, Pak Komar. Riba.’”
“Sudah lumrah PNS menyekolahkan SK-nya ke bank. Sudah biasa itu. Coba lihat Pak Hasan sekarang rumahnya sudah megah. Pak Basri sudah punya mobil. Tanpa pinjam uang ke bank, PNS tidak akan punya apa-apa. Itu namanya fasilitas. Jangan munafik, Pak Untung.”
“Munafik?”

#3
Istrinya Pak Untung, siapa namanya? Ada yang bisa menebak? Ya, Bu Untung. Bu Untung ini memiliki paras yang cantik. Sejak Pak Untung dipenjara di Lapas Sukamiskin karena terlilit kasus dana BOS di sekolahnya, Bu Untung harus berjuang seorang diri menanggung beban menjadi tulang punggung untuk menghidupi anak-anaknya dan juga keluarga besarnya. Kini setiap pagi Bu Untung bekerja sebagai buruh cuci harian di rumah Pak Komar.

Pak Komar ini selain sebagai seorang pegawai desa dan calo tanah juga dikenal sebagai seorang duda usia 41 tahun yang selalu merasa keren dan ganteng. Suatu pagi yang tidak terlalu cerah, ketika Bu Untung sedang bekerja sebagai buruh cuci, ketika Pak Komar selesai sarapan, dan ketika Marko anak semata wayang Pak Komar berangkat sekolah, rupanya Pak Komar tergoda oleh kemolekan Bu Untung. Mata genitnya mulai nakal memindai tubuh Bu Untung tanpa henti, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Pak Komar mulai mendekati Bu Untung. Tangannya mulai...

“Jangan, Pak Komar, jangan!”
“Bu Untung, santai saja, tidak ada siapa-siapa di sini.”
“Tidak! Jangan!”
“Ayolah, saya sudah lama menduda. Dan kaupun pasti kesepian semenjak suamimu mendekam di Sukamiskin. Ayolah, sebentar saja. Sudah sejak lama aku mengagumimu.”
“Aaah... Tidak!”
“Ayolah, kita ini sama-sama membutuhkan. Mumpung sepi.  Jangan munafik!”
Dengan sekuat tenaga Bu Untung menendang salah satu bagian tubuh Pak Komar yang sangat berharga, lalu berkata, “Munafik? Apa itu munafik? Rajin ibadah tapi rajin maksiat, itu munafik! Di keramaian warga sok wibawa tapi di tempat sepi mulai liar seperti babi, itu munafik! Di luar kau seperti orang terhormat, nyatanya manusia bejat! Siapa yang munafik?”
Pak Komar masih mengerang kesakitan. Bu Untung terus saja berceloteh, “Biar orang-orang tahu siapa munafik sebenarnya, biar tahu malu, biar kukatakan pada orang sekampung sebejat apa dirimu sebenarnya!”
Takut menanggung malu, Pak Komar bangkit dan mengambil katana yang menempel di dinding. Dan....

#4
Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Semoga amal baiknya diterima di sisi Tuhan. Mohon maaf sedalam-dalamnya karena telah membuat akhir cerita seperti ini. Saya tidak ingin munafik. Tapi sungguh ini di luar dugaan. Bu Untung harus buntung di tangan Pak Komar dan Pa Untung kini hanya bisa mematung di Sukamiskin. Mereka berdua adalah korban kemunafikan zaman. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan.

Jonggol, 28 April 2017