“Anak-anak,
belajar bahasa itu di mana-mana sama saja, hanya belajar mendengarkan,
berbicara, membaca, dan menulis. Pada pertemuan-pertemuan sebelumnya, kalian
sudah pernah mempelajari contoh-contoh teks ulasan film, presentasi mengulas
film yang sudah kalian tonton secara berkelompok di depan kelas. Sekarang
saatnya kalian belajar menulis. Silakan kalian buat secara tertulis di kertas
selembar teks ulasan dari film yang sudah pernah kalian tonton yang menurut
kalian paling menarik! Ingat, menulis itu berbeda dengan mengarang. Mengarang
itu mengada-ada, pura-pura mampu,
sedangkan menulis mah apa
adanya, semampunya. Dan, menulis tingkat SMA itu berbeda dengan tingkat SD.
Kalau menulis tingkat SD itu menyalin tulisan, sedangkan tingkat SMA mah menuangkan ide dan gagasan. Jadi,
kalian tidak saya perkenankan menyalin teks ulasan dari mbah gugel. Tulis saja
sebisanya, semampunya. Kalau ada kesulitan, silakan tanyakan. Jelas, ya. Ada
pertanyaan?”
“Belum
ada, Pak!”
“Banyak,
di soal UKK!”
“Hahaha...
Bapak mah bisa aja.”
“Ingat
ya, menulis, bukan mengarang ataupun menyalin! Silakan.”
* * *
Lembaran
kertas tugas siswa dari tiga kelas yang kuajar kini menumpuk di depan mataku.
Malas aku mengoreksinya. Sebenarnya aku bukan tipe guru pemalas, sungguh. Tapi
nyatanya kali ini aku benar-benar malas. Meliriknya saja kini aku enggan. Ingin
kubakar saja kertas-kertas itu biar mampus. Muak aku dengan kertas. Betapa
tidak, baru beberapa kertas kubaca, sudah tercium bau gugel. Kucoba baca
kertas-kertas lainnya secara random, hampir semuanya rasa gugel, terutama di
kelas yang satu itu. Padahal sudah kuingatkan, tulis sebisanya, jangan
menyalin.
Apa
susahnya sih mengulas film? Menceritakan kembali alur film dengan bahasa
sendiri, kemudian menilai kelemahan dan kelebihan film dengan pemahaman
sendiri, apa sulitnya? Kalau merasa sulit kan bisa bertanya ke gurunya. Apalagi
yang sulit?
Ah,
jelas sudah. Intinya, mereka semua tidak ada keinginan untuk belajar. Berangkat
sekolah hanya untuk status pelajar. Ngakunya saja pelajar, tetapi ketika
disuruh belajar malah ogah-ogahan. Maunya hanya santai-santai, kumpul becanda
haha hihi dengan teman-teman, bahkan ada yang cuma numpang pacaran. Dasar
pelajar palsu.
Anak
sekolah zaman sekarang yang dikejar hanya angka bagus di rapor, tak peduli
dengan cara etis ataupun tidak. Tak pernah saya lupakan bagaimana hebatnya aksi
mereka ketika mengerjakan soal UTS kemarin, menyontek berjamaah. Sebal aku
mengenangnya. Harusnya yang mereka kejar itu adalah nilai, nilai keuletan,
nilai kerja keras, nilai kepercayaan diri, nilai pantang menyerah, nilai
kejujuran, bukannya angka. Sudahlah, biar kali ini mereka semua kuberi angka
kecil saja di rapor, biar tau rasa. Titik.
* * *
Pukul
dua dini hari. Aku masih duduk melamun di meja kerja bersama kertas-kertas
tugas siswa yang belum juga kubakar. Mataku sudah spaneng 5 watt, tapi kekesalan
masih menyala terang di hati dan kepala. Tiba-tiba remang-remang terbayang
seraut wajah penuh keteduhan, dengan senyumnya yang khas. Dia adalah guruku.
Guru skripsiku waktu di kampus dulu, sudah sangat lama sekali. Tatapan matanya yang
lembut mampu menghapus lelahku setelah berdesak-desakan di kereta antara
Bogor-Cikini, berpanas-panasan dalam kemacetan bus Rawamangun. Senyum khasnya
itu, mampu memompa semangatku untuk segera menyelesaikan skripsi dengan
literatur yang memadai dan kualitas analisis yang mendalam. Selama kurang lebih
tiga setengah tahun kuliah, rasanya ketika menyusun skripsi itulah aku
benar-benar merasa belajar. Dialah dosen satu-satunya yang benar-benar menjadi
guruku.
Kuingat
saat ia mengajak kami menyanyi pada acara wisuda: Kasih ibu kepada beta / Tak terhingga sepanjang masa // Hanya memberi,
tak harap kembali / Bagai sang surya menyinari dunia //. Kemudian ia
berpesan, “Begitulah seharusnya seorang guru, ikhlas seperti kasih ibu, seperti
mentari, hanya memberi, tak harap kembali.”
Astagfirullah.
Selama ini aku lupa. Aku terlalu banyak mengharap. Mengharap pemikiran siswa
harus sama denganku. Mengharap kemampuan siswa harus sama denganku. Jelas-jelas
pemikiran anak remaja jauh berbeda dengan orang dewasa. Jelas-jelas kemampuan
anak SMA tidaklah sama dengan sarjana. Aku terlalu banyak mengharap, lupa
memberi. Bukannya memberi pembelajaran yang menyenangkan, malah memberikan
kekesalan dan kemarahan. Astagfirullah. Aku lupa memberi. Aku harus
introspeksi. Mungkin metode mengajarku salah, mungkin kurang media pembelajaran,
mungkin gestur dan mimik mukaku salah, mungkin memang banyak kurang dan salah.
Aku harus banyak memberi, jangan banyak berharap. Maafkan gurumu yang lalai
ini, Nak!
Di
sepertiga malam terakhir itu, aku bergegas merapikan lembaran kertas kerja
siswa yang berserakan. Kubawa kertas-kertas itu ke luar rumah. Udara di luar
terasa dingin sekali. Kupandangi langit, ternyata sepi dari bintang-bintang. Biarlah
langit kelam ini menjadi saksi. Dengan mengucap basmalah, kubakar kertas-kertas
itu dengan gelora semangat dalam dada, “Nak, kita mulai dari nol, ya!”
Jonggol, 13/06/2017