Sungguh beruntung
Pak Untung ini, sekarang sudah resmi jadi PNS golongan III-a. Sebagai seorang
PNS, Pak Untung tak perlu khawatir lagi untuk memberi nafkah anak-istrinya dan
keluarga besar istrinya, juga membayar sewa kontrakan setiap bulannya. Selain
mengajar mapel Sejarah di SMA negeri dekat rumahnya, Pak Untung ini sekarang dipercaya
juga sebagai bendahara BOS. Sebagai bendahara BOS, tentunya Pak Untung memegang
banyak uang, tapi uang panas. Keberuntungan Pak Untung yang lain saat ini
adalah dipercaya sebagai Ketua Panitia Penerimaan Siswa Baru.
Suatu sore,
datanglah Pak Komar bertamu ke rumah Pak Untung. Maksud dan tujuan kedatangan
Pak Komar yaitu ingin mendaftarkan anaknya ke SMA tempat Pak Untung mengajar.
Pak Komar ini adalah seorang pegawai desa yang cukup terpandang di daerahnya.
“NEM anak saya,
Marko, memang tidak terlalu besar. Akan tetapi, Marko itu anak baik. insyaAllah
tidak akan melakukan hal-hal yang merepotkan Ibu/Bapak guru di sekolah. Ini
sedikit ala kadarnya untuk Pak Untung,” ucap Pak Komar sambil menyodorkan
amplop putih dengan garis pinggir merah-biru.
“Saya belum bisa
menjamin anak Bapak diterima. Daftarkan saja sesuai prosedur, mudah-mudahan
bisa masuk. Dan maaf, saya tidak bisa menerima ini.”
“Kenapa? Apa tidak
cukup? Nanti saya tambah. Berapa?
“Maaf, saya tidak
bisa menerima sogokan.”
“Sok suci! Saya
tahu Pak Untung diterima PNS juga hasil sogokan. Zaman sekarang mana mungkin
bisa jadi PNS kalau tanpa begituan. Sudah terima saja ini, tidak usah munafik!”
“Munafik?”
#2
Sudah sangat lama
Pak Untung ingin memiliki rumah sendiri agar bisa terbebas dari sewa kontrakan
rumah. Sudah hampir setahun sejak menerima gaji pertamanya sebagai PNS, Pak
Untung rajin menabung dan gemar sedekah agar dapat membeli tanah dan membangun
rumah sendiri.
Untung sekali malam
itu sehabis pulang dari salat berjamaah Isya di masjid, Pak Komar mampir ke
rumah Pak Untung untuk sekadar ngopi-ngopi dan ngobrol ngaler-ngidul. Pak Komar
ini selain sebagai seorang pegawai desa juga memiliki profesi sampingan sebagai
calo tanah dan rumah. Pak Komar menawarkan, ada salah seorang warga yang mau
menjual rumahnya dengan cepat karena terlilit utang-piutang dengan lintah
darat.
“Luas tanahnya 200
m2, bangunan 90 m2, cuma minta tujuh puluh juta. Lokasi
strategis, Pak Untung. Dijamin untung. Ayo sikat, Pak!”
“Saya minat, tetapi
saya tidak punya uang sebanyak itu, Pak Komar.”
“Bapak ‘kan pegang
uang BOS.”
“Itu bukan uang
saya, Pak.”
“Hmm... Bapak ‘kan
sudah PNS. Pinjam saja ke bank. Bisa ‘kan?
“Ya, bisa saja.
Tapi saya tidak mau kena utang bank, Pak Komar. Riba.’”
“Sudah lumrah PNS
menyekolahkan SK-nya ke bank. Sudah biasa itu. Coba lihat Pak Hasan sekarang
rumahnya sudah megah. Pak Basri sudah punya mobil. Tanpa pinjam uang ke bank,
PNS tidak akan punya apa-apa. Itu namanya fasilitas. Jangan munafik, Pak
Untung.”
“Munafik?”
#3
Istrinya Pak
Untung, siapa namanya? Ada yang bisa menebak? Ya, Bu Untung. Bu Untung ini
memiliki paras yang cantik. Sejak Pak Untung dipenjara di Lapas Sukamiskin
karena terlilit kasus dana BOS di sekolahnya, Bu Untung harus berjuang seorang
diri menanggung beban menjadi tulang punggung untuk menghidupi anak-anaknya dan
juga keluarga besarnya. Kini setiap pagi Bu Untung bekerja sebagai buruh cuci harian
di rumah Pak Komar.
Pak Komar ini
selain sebagai seorang pegawai desa dan calo tanah juga dikenal sebagai seorang
duda usia 41 tahun yang selalu merasa keren dan ganteng. Suatu pagi yang tidak
terlalu cerah, ketika Bu Untung sedang bekerja sebagai buruh cuci, ketika Pak
Komar selesai sarapan, dan ketika Marko anak semata wayang Pak Komar berangkat
sekolah, rupanya Pak Komar tergoda oleh kemolekan Bu Untung. Mata genitnya
mulai nakal memindai tubuh Bu Untung tanpa henti, dari ujung rambut sampai
ujung kaki. Pak Komar mulai mendekati Bu Untung. Tangannya mulai...
“Jangan, Pak Komar,
jangan!”
“Bu Untung, santai
saja, tidak ada siapa-siapa di sini.”
“Tidak! Jangan!”
“Ayolah, saya sudah
lama menduda. Dan kaupun pasti kesepian semenjak suamimu mendekam di
Sukamiskin. Ayolah, sebentar saja. Sudah sejak lama aku mengagumimu.”
“Aaah... Tidak!”
“Ayolah, kita ini
sama-sama membutuhkan. Mumpung sepi.
Jangan munafik!”
Dengan sekuat
tenaga Bu Untung menendang salah satu bagian tubuh Pak Komar yang sangat
berharga, lalu berkata, “Munafik? Apa itu munafik? Rajin ibadah tapi rajin
maksiat, itu munafik! Di keramaian warga sok wibawa tapi di tempat sepi mulai
liar seperti babi, itu munafik! Di luar kau seperti orang terhormat, nyatanya
manusia bejat! Siapa yang munafik?”
Pak Komar masih
mengerang kesakitan. Bu Untung terus saja berceloteh, “Biar orang-orang tahu
siapa munafik sebenarnya, biar tahu malu, biar kukatakan pada orang sekampung sebejat
apa dirimu sebenarnya!”
Takut menanggung
malu, Pak Komar bangkit dan mengambil katana yang menempel di
dinding. Dan....
#4
Inna lillahi wa
inna ilaihi roji’un. Semoga amal baiknya diterima di sisi Tuhan. Mohon maaf
sedalam-dalamnya karena telah membuat akhir cerita seperti ini. Saya tidak
ingin munafik. Tapi sungguh ini di luar dugaan. Bu Untung harus buntung di
tangan Pak Komar dan Pa Untung kini hanya bisa mematung di Sukamiskin. Mereka
berdua adalah korban kemunafikan zaman. Semoga keluarga yang ditinggalkan
diberi ketabahan.
Jonggol, 28 April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar