Namaku Gilang, pria lajang semata
wayang dengan perawakan kering kerontang. Bukan salah bunda mengandung, tapi
ini adalah takdirku, untuk menjadi seorang pejuang!
Aku lahir dari keluarga guru. Kakek
buyutku adalah seorang guru ngaji yang tiap bulan tak pernah gajian. Kakekku
seorang guru silat yang paling kesohor di kampungku dengan bayaran seikhlasnya.
Ayahku selama 30 tahun menjadi seorang Oemar Bakri yang berpenghasilan ala
kadarnya. Mereka semua kini telah tiada, tetapi murid-murid mereka tumbuh dan
berserakan di gedung DPR, di kepolisian, di kejaksaan, di rumah sakit-rumah
sakit, di lapas-lapas, di kapal laut, di pesawat terbang, bahkan di antariksa.
Murid-murid mereka sukses menjadi apa yang mereka cita-citakan. Dan aku, kini
menjadi seorang guru honorer di salah satu sekolah negeri favorit di Bogor
Timur. Ya, guru honorer. Menjadi guru memang impianku sejak kecil, tak peduli
menjadi guru PNS maupun honorer. Bagiku, uang bukan yang utama, tetapi pengabdian
adalah nomor satu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa!
Malam-malam selalu terasa panjang bagi
pria lajang sepertiku. Di luar hujan, pacar tak punya. Pilihan utama biasanya
bermain gitar sambil iseng-iseng membuat lagu, kadang sampai menjelang subuh.
Sepanjang sejarah, belum pernah ada satu lagu pun yang selesai dibuat. Ya,
namanya juga iseng.
Khusus malam ini, aku habiskan waktu
semalam suntuk dengan bermain PS3. Ini PS baru aku beli. Walaupun seken, tapi
ini dibeli dengan uang halal hasil keringat sendiri. Hahahaa… ayo main!
* * *
KRIIIIING!! Kulihat jam tangan. 7.00
Aku kesiangan! Hari ini aku harus
mengawas Try Out kelas XII. Try Out dimulai pukul 7.30. Lima belas menit
sebelumnya aku harus sudah sampai di sekolah untuk mengikuti pengarahan dari
kepala sekolah. Mataku masih merah. Bergegas kuambil air wudhu, lalu shalat
subuh. Aku malu pada kakek buyutku. Selesai salam langsung ganti baju, sisir
rambut, cium tangan ibu, dan berangkat!
Kutancap motor motor bututku dengan
kecepatan 30km/jam. Udara pagi ini terasa dingin menusuk tulang. Aku lupa
memakai jaket. Dan belum makan. Aku tahan-tahan. Sampai juga di gerbang sekolah
tercinta.
Kuparkirkan motor di tempat parkiran.
Parkiran masih sepi. Sampai depan ruang guru pun belum ada orang. Kulihat jam
dinding di aula, 6.30. kulirik jam tanganku. Sialan salah lihat jam! Jam
tanganku mati!
Terpaksa harus menunggu, duduk sendiri
di kursi panjang samping ruang guru. Mataku masih merah.
* * *
Waktu mengawas telah tiba. Kubawa map berwarna
hijau menuju ruang kelas paling ujung. Suasana hening. Masuklah aku ke ruang
ujian. Map kuletakkan di atas meja pengawas.
“Siap beri saaaaalam!” teriak salah
seorang siswa.
“Asalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh,” seru seluruh siswa.
Dalam hati kujawab salam itu.
Kupandangi wajah-wajah para peserta ujian. Ada yang terlihat tegang, ada
biasa-biasa saja, ada juga yang balas memandang dengan tatapan genit. Dasar
anak SMA.
“Siapkan alat tulis, masukkan HP ke
dalam tas, simpan tas kalian di depan kelas!”
Kubuka map berwarna hijau, kubagikan
lembar soal dan lembar jawaban dengan cepat kepada seluruh peserta ujian.
“Ingat, waktu kalian 120 menit! Jangan
ada yang menyontek! Kerjakan semampu kamu! Ingat, ini baru Try Out! Paham?”
“Iya, Pak!”
Kududuk di kursi pengawas untuk
mengisi Lembar Berita Acara dan Daftar Hadir Peserta Try Out. Tiga puluh menit
pertama suasana masih hening. Mereka masih anteng
dengan lembar soal masing-masing. Tak sengaja kulihat salah seorang siswa
asyik tertidur.
“Hey, kamu!!” kutunjuk wajahnya dari
jauh dengan telunjuk saktiku sambil berdiri. Siswa itu pun terbangun mendengar
teriakanku.
“Iya, Pak,” jawabnya gugup. Ruangan
pun hening kembali. Aku pun kembali duduk.
Selang beberapa waktu, kulihat
beberapa akal bulus mereka…. Ada seorang siswa bertubuh gempal menagih jawaban
pada temannya yang mungil di depannya.
“Ehm…,” dehemku mengingatkan.
“Ehm… ehm… ehm…,” balas beberapa siswa
dengan kesan mengejek. Beberapa siswa lainnya menjadi riuh. Aku pun agak kesal
mendengarnya. Ah, kuberdiri saja sambil menatap tajam wajah-wajah mereka.
“Pak, duduk aja Pak biar gak pegel,”
bujuk salah seorang siswa.
“Terima kasih,” balasku dengan tetap
berdiri. Malah, agak kudekati dianya yang duduk di depan sebelah kiri. Beberapa
siswa masih mencoba melakukan akal bulus mereka. Beberapa mata mereka mencuri
pandang ke arahku, lalu mencolek temannya yang dia anggap pintar. Kutangkap
juga melalui sudut mataku adegan seorang siswa yang sedikit mengangkat lembar
jawabannya sementara kawannya asyik memindahkan jawaban dari lembar jawabannya
itu.
Melihat adegan itu, kuteringat nasihat
ayahku, ‘Jika kamu melihat kemunkaran di depan matamu, maka hentikanlah dengan
tanganmu, atau dengan lidahmu, atau cukup dengan hatimu, maka itu adalah
selemah-lemahnya iman.’
“Hey, kamu!!” kutunjuk wajahnya dari
jauh dengan telunjuk saktiku. Seketika kaget dianya dan lembar jawabannya
kembali rata dengan meja.
“Pak, jangan galak-galak, dong,”
celetuk siswi cantik yang duduk samping jendela. Tapi aku tidak tergoda.
“Maaf ya, saya bukan galak! Saya hanya
membantu kalian agar kembali ke jalan yang benar!”
Beberapa adegan akal bulus kembali
terekam sorotan tajam mataku, lagi dan lagi… dan telunjukku ini sepertinya
sudah kurang ampuh lagi.
“Ssst… nomor 13!”
“C.”
“14?”
“Belum.”
“15?”
“Belum.”
“Hey, kamu!!” kuhentikan operasi
mereka.
“Pak, Bapak kayak gak pernah nyontek
aja…,” komentar salah seorang siswa.
“Iya, Pak… pengertian lah, Pak,”
sambung yang lain.
“Hey, kalian! Menyontek itu berarti
tidak jujur, sama artinya dengan menipu diri, membohongi diri sendiri,
membohongi guru kalian dan bahkan orangtua kalian!” ucapku dengan geram. “Sudah
tahu kalian tidak bisa, mau pura-pura bisa, ingin dianggap bisa! Makanya
belajar! Kerjakan sebisanya! Kalau gak bisa, sudah kumpulkan saja, pulang,
belajar lagi!”
“Serius amat pak ampe segitunya?”
celetuk siswi berjilbab.
“Astagfirulloohal’azhiiim… Buka mata
kalian! Bayangkan, jika nanti ketika kalian lulus dengan kemampuan palsu, lalu
menjadi dokter yang sedang memeriksa pasien dan kalian bingung si pasien
mengidap penyakit apa, kalian mau menyontek ke siapa? Nyontek resep siapa?
Bayangkan pula sekiranya ada yang menjadi arsitek yang dipercaya membangun
hotel dan jembatan, lalu ia bingung menghitung sudut dan siku, lalu terpaksa ia
menghitung asal-asalan, lalu tak lama akhirnya hotel dan jembatan yang ia
bangun AMBRUK karena salah perhitugan. Berapa banyak korban penghuni hotel dan
pengguna jembatan yang akan tewas?? Lalu bayangkan lagi jika ada salah seorang
dari kalian yang menjadi anggota DPR yang harus merumuskan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara, tetapi ia tidak bisa menghitung anggaran dengan benar,
hancurlah Negara ini!”
Beberapa siswa menyimak dengan teliti.
Tapi rupanya ada seorang siswa berkulit coklat di tengah samping kanan sedang
asyik menyalin jawaban dari lembar jawaban teman di depannya.
“Ehm…,” dehemku kesal.
“Ehm, nomor 32 ehm…,” celetuk salah
seorang siswa lainnya yang berambut keriting kepada temannya yang dianggap
pintar.
“Ehm, belum!” jawabku geram. Seketika
ruangan menjadi riuh. Kulirik jam dinding. “Sudah, sudah, jangan ribut!
Kerjakan sebisamu! Waktumu tinggal 30 menit lagi.”
Akal bulus pun makin terang-terangan.
Ada yang bertanya kencang, malah ada pula yang berani meloncat mendekati lembar
jawaban temannya. Aku semakin geram.
“Sssst…. 27!”
“A.”
“Satu esai?
“Panjang.”
“Hey, kalian! Ingat, ini hanya Try
Out! Jangan korbankan try Out ini dengan perbuatan kotor kalian hanya demi
sebuah nilai palsu,” peringatanku tidak digubris. Wajah-wajah dan sorotan mata
mereka yang seolah tak berdosa membuatku ingin marah. Jadilah sudah aku naik
darah. “Hey, kaliaaaaaaan!!”
* * *
“Hey, Kang! Bangun! Ayo mulai ngawas!”
suara rekan kerjaku menyadarkanku dari tidur. Kubuka mataku yang masih lengket.
Kulihat ia berjalan meninggalkanku dengan map hijau di tangannya.
Jonggol, 3 Februari 2015
2 komentar:
baca juga blog saya pak, terimakasih :) jangan lupa di paraf ya pak..hhhe :D
oke siap nu, hehehe....
Posting Komentar