(sambungan dari bagian #1)
Pertemuan kedua, saatnya memeriksa hasil pengamatan para siswa. Kalau mengacu pada kurva normal, pasti kebanyakan hasilnya B aja. Hanya sedikit yang hasilnya luarbiasa (luarbiasa bagus dan luar biasa jelek). Mungkin saja kurvanya tidak normal. Kalau melihat wajahnya, banyak yang senyum-senyum. Beberapa siswa terlihat panik. Mungkin lupa mengerjakan tugas misi rahasia. Mari kita tengok.
“Nak, kalian sudah melakukan observasi. Pasti sudah ada
hasilnya. Hasilnya sedetail apa? Ya, tergantung seberapa penasaran kalian saat
mengobservasi orang rumah. Kalau kurang penasaran, mungkin cukup tengok
dapur: ‘Oh, ibu sedang masak di dapur”.
Kalau penasaran betul, pastinya diamati lebih lanjut: ‘Ibu masak apa, sih?’
sambil mendekat ke dapur. Nah, kalau observasinya sudah dilakukan, hasilnya
sudah ada, berarti tinggal menyusun laporan.”
“Laporannya seperti apa, Pak?”
“Tergantung kebutuhan dan fokus pengamatannya. Bisa
deskriptif, naratif, eksplanatif, bahkan puisi.”
“Wah, iya kah?”
“Kalau misi rahasia, karena fokusnya ke aktivitas orang rumah,
kira-kira sajian laporannya seperti apa?”
“Naratif, Pak!”
“Puisi bisa gak, Pak?”
“Silakan saja dicoba, tetapi pasti harus punya ilmu khusus,
ilmu puisi. Kalau ingin mudah dan sederhana, boleh berbentuk naratif. Struktur
sederhananya pasti minimal ada pembuka, isi, dan penutup. Nah, hasil laporan
kalian itu nanti jadi isinya. Sajikan dalam bentuk narasi (cerita). Jadi,
minimalnya bakal ada tiga paragraf ya. Paragraf pembuka, paragraf isi, dan
paragraf penutup.”
“Pembukanya bagaimana, Pak?”
“Semacam pengantar. Buat pernyataan-pernyataan umum dalam
beberapa kalimat.”
“Contohnya, Pak!”
“Hmm... Misal, kamu tulis keluarga secara umum: Setiap orang
pasti memiliki keluarga. Tentunya, aktivitas setiap anggota keluarga akan
berbeda-beda. Ada yang lebih banyak di rumah, ada yang lebih banyak di luar
rumah. Ada yang sibuk, ada juga yang santai. Kali ini, saya mengamati aktivitas
salah satu anggota keluarga, yaitu Kakak.”
“Wah, mantap. Gimana, Pak, gimana? Ulangi, Pak!”
“Hehe... Itu hanya contoh. Bisa juga pakai kalimat lain.
Misal: Ibu rumah tangga dianggap pekerjaan yang ringan dan paling santai.
Benarkah anggapan itu? Mungkin kita kurang peka. Untuk membuktikan hal itu,
saya telah melakukan pengamatan secara rahasia pada Mama di rumah. Apa sajakah
aktivitas yang dilakukan Mama sejak bangun tidur hingga tidur lagi?”
“Wah, itu lebih mantap sepertinya, Pak!”
“Ya, terserah kalian saja. Kreasikan saja yang kira-kira
cocok.”
“Pak, penutupnya bagaimana?”
“Hmm... Kamu bisa beri komentar, kesan secara umum terhadap
aktivitas orang rumah. Bisa juga dengan refleksi diri, membandingkan
aktivitasnya dengan aktivitasmu, apa yang kamu rasakan? Simpulkan! Apa yang
kamu dapatkan?”
“Contohnya, Pak!”
“Hmm... Ya, apa yang kamu dapatkan? Tuliskan saja. Terakhir,
beri judul yang sesuai! Silakan dicoba! Kalian tinggal menambahkan paragraf
pembuka, penutup, dan judul, ya. 15 menit cukup?”
“30 menit, Pak!”
“Silakan dicoba! Kalau ada yang sudah selesai duluan, saya
tengok. Kalau ada hambatan, boleh tanya. Silakan!”
Beberapa menit berjalan. Ada yang tanya ini tanya itu. Ada
yang tengok-tengok pekerjaan temannya. Ada juga yang anteng sendiri. Hingga
akhirnya ada juga beberapa siswa yang menghampiri.
“Begini, Pak! Coba Bapak periksa!”
“Hmm... Ini penulisan judulnya kapitalkan tiap awal kata,
kecuali kata penghubung: Ibuku yang Hebat. Kalau mau dikapitalkan semua juga boleh:
IBUKU YANG HEBAT.”
“Siap, Pak!”
“Nih, hati-hati nih penulisan di. Kalau menunjukkan
tempat wajib dipisah: di rumah, di dapur, di atas, di dalam, dsb. Nah, kalau
menunjukkan aktivitas pasif, gabungkan: diperhatikan, dimakan, dikerjakan, dsb.”
Terkait kaidah penulisan begini, ternyata banyak juga siswa
yang masih belepotan. Hal semacam ini mestinya sudah tuntas di tingkat SD.
Hmm... Saya coba tengok pekerjaan siswa lainnya.
“Wah, ini kamu mengamati siapa?”
“Mamah.”
“Penyebutannya seragamkan. Ini di judulnya kamu tulis ‘Mamah’,
di tengah ditulis ‘Ibu’. Nih, ini juga, nih. Di atas ‘aku’, di bawahnya ‘saya’.
Konsisten, ya.”
“Hehe... Siap, Pak!”
“Nih, hati-hati menuliskan jam. Bedakan antara jam dan pukul.”
“Bedanya apa, Pak?”
“Perhatikan: Setiap pagi, ayah berolahraga selama dua jam,
dari pukul 6.00 hingga pukul 8.00. Paham? Jadi, ‘jam’ itu untuk menunjukkan
durasi. Kalau penunjuk waktu, gunakan ‘pukul’, ya.”
“Siap, paham.”
“Nih, kalimat ini: Selesai mencuci baju, Mamah biasanya
menonton tv. Nah, hindari kata’biasanya’. Kata tersebut menandakan bahwa
kamu tidak melakukan pengamatan. Kamu hanya mengira-ngira. Hmm...”
“Oh, iya, Pak.”
“Nah, Ini mamahmu bangun pukul berapa? Pukul empat? Terus, ini
selesai salat Subuh, Mamah bangunin kamu? Kamu tahu dari mana si mamah bangun
pukul empat?”
“Hmm.. nanya, Pak.”
“Ini mah bukan kamu yang mengamati si Mamah. Si Mamah yang
mengamati kamu.”
“Hah?”
“Rumusnya: PENGAMATAN itu menimbulkan KEPEKAAN yang akhirnya
memunculkan AKSI. Si Mamah mengamati kamu: Oh, masih tidur. Peka: Pasti belum
salat. Aksi: Bangunin kamu. Terus si Mamah peka lagi: Pasti lapar baru bangun.
Si Mamah langsung aksi memasak di dapur.”
Sengaja penjelasan itu saya gunakan volume kencang biar
terdengar sekelas. Wajah si siswa tenggelam. Matanya seperti tidak nyaman.
“Nah, lain kali, amati dengan betul. Bisa saja tugas ini
kalian anggap ringan, asal jadi. Salin pekerjaan teman, misalnya. Tapi, terus
terang: pengalaman selalu menjadi guru terbaik. Saya tidak bisa memberi
pengalaman itu di kelas. Kalian yang bisa mengalami sendiri prosesnya di rumah
masing-masing. Itu pengalaman yang mahal. Kepekaan inderawi diasah. Bila mata,
hidung, telinga, lidah, kulit sudah peka, hatimu akan lebih peka. Nantinya,
indera ketujuh bisa ikut peka: intuisi.”
(bersambung...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar