07 Januari 2010

Pendidikan Harus dengan Paksaan

Berawal dari kegelisahan hati terhadap dunia pendidikan saat ini, saya memberanikan diri untuk menuangkannya dalam sebuah tulisan, mungkin akan sedikit kontroversi. Tulisan ini saya dedikasikan untuk seluruh pendidik yang ada di Indonesia.

Salah satu tokoh pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara, mengatakan bahwa pendidikan itu harus dengan paksaan. Tentu saja kita tidak bisa menerjemahkannya mentah-mentah. Karena jika tidak, tentu akan terjebak kepada pengertian yang salah dan akan bertabrakan dengan nilai-nilai yang lain.

Pendidikan itu harus dengan paksaan. Para pendidik harus memaksa peserta didik untuk belajar dengan rajin, menghormati guru, datang ke sekolah tepat waktu, menggunakan seragam yang sesuai dengan aturan sekolah, berlaku jujur, dan lain sebagainya. Tapi ingat, jangan sampai peserta didik merasa terpaksa untuk melakukan hal tersebut sehingga mereka merasa terbebani.

Dengan diberlakukannya aturan yang ‘memaksa’, banyak siswa yang merasa terbebani. Jika sudah masuk gerbang sekolah, mereka merasa seperti masuk ke dalam penjara. Bagi siswa yang ‘kurang kuat’ mungkin akan merasa terbebani, tertekan, dan mungkin stres. Bagi siswa yang ‘kuat’ akan cenderung memberontak; semangat belajar hilang, sering bolos, dan mengabaikan aturan-aturan sekolah lainnya. Bagi mereka, aturan dibuat untuk dilanggar.

Ada yang berkilah, “Alah bisa karena biasa”. Para pendidik membuat berbagai aturan yang sangat ketat untuk memaksa peserta didik agar terbiasa melakukan sesuatu sesuai dengan yang semestinya. Awalnya memang terpaksa, tetapi lama-lama mereka akan terbiasa. Ya, mereka akan terbiasa untuk patuh terhadap berbagai aturan, termasuk aturan-aturan yang mengekang kebebasannya dan merugikan dirinya. Mereka hampir-hampir sama seperti kerbau yang dicocok hidungnya yang selalu menuruti apa kata tuannya. Atau seperti robot yang mati rasa, mati hasrat. Itu adalah suatu pembunuhan kreativitas.

Itulah yang terjadi pada dunia pendidikan kita selama ini. Lembaga-lembaga pendidikan––sebagian besar––bangga terhadap lulusannya yang terbiasa patuh. Mereka bangga dengan lulusannya yang bermental pembantu. Mereka bangga dengan lulusannya yang betah dijajah, betah dikuasai, betah menderita. Adapun terhadap siswa-siswinya yang cenderung memberontak terhadap aturan, akan dicap sebagai musuh, sebagai siswa nakal dan tidak berguna.

Harusnya ‘siswa-siswa nakal’ itu menjadi cermin bagi para pendidik. Mengapa mereka senang melanggar aturan? Mereka adalah siswa-siswi yang merdeka, kaya kreativitas, kritis dan tanggap terhadap keadaan. Mereka melihat kemunafikan pada diri kita sebagai pendidik. Mereka tidak menuruti anjuran kita untuk datang tepat waktu ke sekolah karena melihat kita sering telat masuk kelas. Mereka berani melawan karena kita sering membentak mereka dengan kata-kata kasar. Mereka berpakaian seenaknya karena penampilan kita yang seadanya. Sebenarnya, mereka selalu belajar dari kita.

Ada yang salah. Bagaimana seharusnya? Tentu saja harus kembali kepada pengertian awal bahwa pendidikan memang harus dengan paksaan, tetapi jangan sampai peserta didik merasa terpaksa––dipaksa.

Ada pepatah bijak yang mengatakan bahwa sebelum menilai orang lain, nilailah diri sendiri. Kaitannya dengan yang kita bicarakan yaitu, sebelum memaksa orang lain, paksalah diri sendiri. Sebelum memaksa siswa belajar dengan rajin, tidak merokok, datang ke sekolah tepat waktu, menghormati guru, paksalah diri untuk selalu rajin mengajar dan rajin mencari tahu hal-hal baru, berhenti merokok, datang ke kelas tepat waktu, menghargai siswa, dan sebagainya. Itulah KETELADANAN.

Jika kita sudah bisa memaksakan diri untuk melakukan hal-hal baik yang memang semestinya dilakukan, maka––tanpa harus dengan banyak kata–– siswa-siswi kita akan serta–merta tertular untuk selalu berbuat baik tanpa harus kehilangan kreativitas mereka.

Tidak ada komentar: