12 Desember 2008

Letto - Bunga di Malam Itu

C Am F G
Malam itu lah malamku
Am G F G
Ketika aku bertemu denganmu
C Am F G
Dalam hati ku tersedu
Am G F G
Tanganku tergenggam menahan haru
Dm Am F G
Mataku tak lepas darimu
Dm Am F G
Walaupun ku sendiri ragu

Reff:
C Am F G
Bunga menebar sejuk wewangian malam itu
C Am F G
Ku tak mampu menahan rasa yang tak menentu
C Am F G
Lalu muncullah rasa di dalam benakku
C Am F G
Ku tak pantas memandangi wajahmu

C Am F G
Rindu itu belum hilang
Am G F G
Walau pertemuan itu terkenang
C Am F G
Dalam hatiku berdoa
Am G F G
Jangan sampai aku pernah terlupa

Dm Am F G
Padamu penjaga hidupku
Dm Am F G
Tak pernah meninggalkan aku

Back to reff: [2x]

29 November 2008

Profil Sheila on 7

Grup yang berdiri pada 6 Mei 1996 ini pada awalnya adalah sekumpulan anak-anak sekolah dari beberapa SMA di Yogyakarta. Di awal berdirinya bersatulah lima anak muda, Duta (vokal) berasal dari SMA 4, Adam (bass) dari SMA 6, Eross (gitar) dari SMA Muhammadiyah I, Sakti (gitar) dari SMA De Britto, dan Anton (drum) berasal dari SMA Bopkri I. Mereka sepakat untuk membentuk sebuah band dan membawakan lagu-lagu dari kelompok Oasis, U2, Bon Jovi, Guns N’ Roses, dll. Pada waktu itu juga, mereka telah memiliki beberapa lagu-lagu orisinal karya mereka sendiri dan mereka mencoba untuk memperkenalkan dan membawakan lagu-lagu tersebut dengan penuh rasa percaya diri di berbagai pentas.

Sampai saat ini juga, mereka masih sulit untuk menyebut warna musik apa yang sebenarnya dimainkan. Tetapi satu hal yang jelas adalah bahwa mereka berkeyakinan untuk memainkan “Sheila music”, dimana ide-ide atau kreasi dalam bermusik dimunculkan secara spontan dan menampilkan lirik-lirik yang gampang dicerna serta konsep musik yang sederhana.

Pada awal berdirinya grup ini bernama “Sheila”. Tidak lama kemudian, mereka menambahkan kata “Gank”, hingga jadilah “Sheila Gank”. Namun karena masalah ‘sense’, akhirnya nama mereka berganti menjadi “Sheila on 7”, “on 7” berarti solmisasi alias 7 tangga nada (do re mi fa sol la si).

Sejak awal grup ini mencoba untuk tampil secara profesional. Dimulai dengan keterlibatan mereka dalam beberapa pentas musik, festival maupun pertunjukan komersil di DIY dan Jawa Tengah, baik di lingkup sekolah, kampus, serta panggung umum. Satu hal yang cukup meyakinkan dan membanggakan adalah keikutsertaan mereka dalam program indie label “Ajang Musikal” (Ajang Musisi Lokal) di tahun 1997 milik Radio Geronimo 105.8 FM & G-Indie Production di Yogyakarta, dimana program ini adalah program sindikasi radio yang disiarkan oleh hampir 90 radio swasta di tanah air. Ajang Musikal adalah program radio yang menyiarkan lagu-lagu karya sendiri dari band-band lokal yang belum pernah rekaman komersial.

Dalam program ini mereka mendapat respons yang sangat positif, dimana request dari para pendengar untuk lagu karya mereka sendiri yaitu ‘Kita’, menempatkan mereka selama 3 bulan berturut-turut di tangga lagu Ajang Musikal G-Indie 10 pada bulan Maret, April, dan Mei 1997.

Menunjuk pada hal tersebut, “Sheila on 7” mampu untuk merefleksikan dirinya dan menjadikannya sebagai tolok ukur untuk ke jenjang yang lebih atas lagi yakni rekaman komersial. Dengan penuh keyakinan pula, Sheila on 7 memberanikan diri untuk menawarkan demotape serta proposal ke label Sony Music Indonesia, dan akhirnya kesempatan pun datang dengan dikontraknya Sheila on 7 untuk 8 album dengan sistem royalti.

29 Oktober 2008

Hakikat Zikir

Zikir secara harfiah berarti ingat dan sebut. Ingat adalah gerak hati, sedangkan sebut adalah gerak lisan. Zikrullah berarti mengingat dan menyebut Allah. Adapun perpaduan keduanya barulah makna awal dari “khusyuk”.

Zikir sebenarnya terdiri dari 4 (empat) bagian yang saling terikat, tidak terpisahkan, yaitu : zikir lisan (ucapan), zikir qalbu (merasakan kehadiran Allah), zikir ‘aql (menangkap bahasa Allah di balik setiap gerak alam), dan zikir amal (takwa: patuh dan taat terhadap perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya). Idealnya, zikir itu berangkat dari kekuatan hati, ditangkap oleh akal, dan dibuktikan dengan ketakwaan, amal nyata di dunia ini.

Zikir adalah perintah Allah subhanahu wa ta’ala kepada orang-orang beriman (QS. Al-Ahzab : 41-42). Maka orang yang beriman adalah orang yang banyak berzikir. Kurang iman, kurang zikir. Tidak beriman, tidak akan berzikir. Berzikir berarti taat pada perintah Allah. Praktiknya bisa jadi dalam keadaan berdiri, duduk atau berbaring (QS. Ali Imron : 191), di Masjid (QS. An Nur : 36), Musholla, rumah, kantor, atau jalanan sekalipun. Bisa dilakukan sendiri-sendiri (QS. Al A’raf : 205) atau berjamaah (dalam majelis).

Rasululloh shollallohu ‘alaihi wassalam bahkan menyebut majelis zikir sebagai taman surga. Beliau bersabda,

“‘Apabila kalian melewati taman surga, maka bersimpuhlah.’ Para sahabat bertanya, ‘Apa itu taman surga?’ Beliau shollallohu ‘alaihi wassalam menjawab, ‘Yaitu majelis zikir.’”

(HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)

Zikir adalah pangkal ketenangan dan kedamaian (QS. Ar Ra’d : 28). Allah adalah sumber ketenangan dan kedamaian (as-Salam). Maka, untuk mencapai ketenangan dan kedamaian itu jalannya adalah mendatangi sumbernya dan membersamakan diri dengan-Nya. Zikir itulah jalan pembersamaan (ma’iyyatulloh). Adapun meninggalkan zikir sama dengan membuka keleluasaan bagi setan untuk menunggangginya (QS. Az Zukhruf : 36), menciptakan kepengapan hidup serta membutakan mata hati (QS. Thaha : 124). Selain sebagai wujud ketaatan, zikir merupakan identitas utama seorang mukmin (QS. Al Anfal : 02).

Sejatinya, zikir membentuk pribadi yang bertakwa. Yaitu amat taat terhadap perintah Allah dan berjuang maksimal menjauhi larangan Allah. Orang yang berzikir sadar betul bahwa ia senantiasa berada di bawah tatapan dan perhatian-Nya.

“‘Maukah aku beritahu amalanmu yang terbaik, yang paling tinggi dalam derajatmu, paling bersih di sisi Robb-mu, serta lebih baik dari menerima emas dan perak?’ Para sahabat menjawab, ‘Ya.’ Lalu Nabi shollallohu ‘alaihi wassalam berkata, ‘Zikrullah.’”

(HR. Ahmad dan Ibnu Maajah)

“Jama’ah yang duduk berzikir menyebut nama Allah pasti dikelilingi malaikat, rahmat akan tercurah pada mereka, ketentraman diturunkan pda mereka dan Allah menyebut nama mereka pada sesuatu yang berada di sisi-Nya.”

(HR. Muslim)

Sebuah Pesan

Islam itu dibangun berdasarkan rukun yang lima; yaitu: Bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah dan Nabi Muhammad itu utusanNya, mendirikan shalat, membayar zakat, melaksanakan ibadah haji ke Baitullah dan berpuasa di bulan Ramadhan." (Muttafaq ‘alaih).

Bagaimana pendapat kamu sekalian, seandainya di depan pintu masuk rumah salah seorang di antara kamu ada sebuah sungai, kemudian ia mandi di sungai itu lima kali dalam sehari, apakah masih ada kotoran yang melekat di badannya?" Para sahabat menjawab: "Tidak akan tersisa sedikit pun kotoran di badannya." Bersabda Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam: "Maka begitu pulalah perumpamaan shalat lima kali sehari semalam, dengan shalat itu Allah akan menghapus semua dosa." (Muttafaq ‘alaih)

Tidak ada seorang muslim pun yang ketika shalat fardhu telah tiba kemudian dia berwudhu dengan baik dan memperbagus kekhusyuannya (dalam shalat) serta rukunya, terkecuali hal itu merupakan penghapus dosanya yang telah lalu selama dia tidak melakukan dosa besar, dan hal itu berlaku sepanjang tahun itu." (HR. Muslim)

(Yang menghilangkan pembatas) antara seorang muslim dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat." (HR. Muslim)

Pokok segala perkara itu adalah Al-Islam dan tonggak Islam itu adalah shalat, dan puncak Islam itu adalah jihad di jalan Allah." (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan lainnya, hadits shahih)

20 Oktober 2008

Taj mahal [Kisah Cinta Abadi]

Taj Mahal dikenal sebagai contoh karya arsitektur muslim India. Selain itu, Taj Mahal dikenang sebagai lambang cinta abadi Kaisar Shah Jahan untuk istrinya Mumtaz Mahal. Taj Mahal merupakan simbol cinta dan hasrat.

Taj Mahal dibangun kaisar Mogul kelima itu antara tahun 1631-1648 untuk mengenang istrinya, Arjuman Bano Begum, atau lebih dikenal sebagai Mumtaz Mahal. Awalnya, Shah Jahan hanya menyebut masjid itu sebagai makam Mumtaz Mahal, namun akhirnya berkembang menjadi Taj Mahal. Taj Mahal jika diterjemahkan berarti 'Istana Mahkota', sebuah perluasan dari nama Mumtaz Mahal yang berasal dari Persia.

Mumtaz Mahal meninggal di usia 39 tahun, ketika melahirkan anak ke-14 pada tahun 1631. Kematian sang permaisuri ini membuat sang raja begitu berduka. Sebelum meninggal, Mumtaz berpesan 'ingin dibuatkan makam yang tak pernah disaksikan dunia sebelumnya untuk mengenangnya'. Jadilah Jahan kemudian mengerahkan 20 ribu tenaga kerja menunaikan pesan istrinya itu.

Bahan bangunan didatangkan dari seluruh India dan Asia tengah dengan menggunakan 1.000 gajah. Berdirilah kubah utama setinggi 57 meter. Sebanyak 28 batu-batuan indah dari berbagai wilayah di Asia digunakan. Batu pasir merah dari Fatehpur Sikri, jasper dari Punjab, jade dan kristal dari Cina, batu pirus dari Tibet, lapis lazuli dan safir dari Srilanka, batubara dan batu kornelian dari Arab dan berlian dari Panna. Lantainya pun terbuat dari pualam yang bercahaya dari Makrana, Rajasthan.

Tak seperti makam Mughal lainnya, taman Taj Mahal berada di depan makam. Latar belakang Taj Mahal adalah langit, sehingga Taj Mahal terlihat begitu gemerlap dengan warna. Komposisi bentuk dan garisnya pun simetris sempurna.

15 Oktober 2008

/rif – Cinta Adalah

Intro : G Am C Em (3x)

G Am C D


Em C G Am

Saat kuikuti, waktu berjalan

Em C G Am

Saat kutanyakan, arah tujuan

Em C

Dan ketika kurasakan

G Am Em

Ada cinta, yang terpendam di hatiku

C G D

Terasa ... o terasa tenang


Inst: G Am C Em

G Am C D


Em C G Am

Saat kutemui jurang yang dalam

Em C G Am

Saat kulewati jalan yang panjang

Em C

Dan ketika kurasakan

G Am Em

Ada cinta yang terpendam di hatiku

C G D

Terasa ... o terasa tenang


G Am C Em

Reff : Semua karena cinta kubertahan

G Am C Em

Semua karena cinta kuberjalan

G Am C Em

Semua karena cinta kubertahan

G Am C D

Semua karena cinta kuberjalan


Inst : G Em G Em G Em

G Am C D


Em C

Dan ketika kurasakan

G Am Em

Ada cinta yang terpendam di hatiku

C G D

Terasa ... o terasa tenang

Em C

Dan ketika kurasakan

G Am Em

Ada cinta yang terpendam di hatiku

C G D

Terasa ... o terasa tenang


Kembali ke: Reff (3x)

22 September 2008

Melihat Warna Aura

Hitam, Lebih banyak diartikan sebagai pikiran yang negatif.
Merah, Lebih banyak diartikan dengan kemarahan dan hawa nafsu.
Coklat, Lebih banyak diartikan dengan keserakahan dan mementingkan diri sendiri.
Abu-Abu, Lebih banyak diartikan dengan suasana kemuraman dan kesedihan kadang ketakutan.
Oranye, Lebih diartikan dengan ambisi.
Kuning, Lebih diartikan dengan kecerdasan pada ybs.
Hijau, Sifat baik.
Biru, Rasa keagamaan, ketaatan dan cita-cita mulia.
Putih, Menunjukan tingkat kerohanian yang tinggi.

Banyak orang menduga aura hanya dapat dilihat dengan kekuatan batin tingkat tinggi, atau dengan bantuan khodam. Yang lebih modern, aura dapat terlihat jelas lewat hasil jepretan kamera kirlian. Tapi tahukah, aura sebenarnya dapat dilihat dengan mata telanjang. Tips berikut ini akan memandunya. Namun sebelum kita ulas lebih jauh, ada baiknya kita tengok sejenak mengenai apa dan bagaimana sifat aura itu. Maksudnya agar kita tidak berpijak pada pemahaman yang salah.

Ada beberapa hal penting yang berkaitan dengan aura :
1. Aura manusia selalu berubah-ubah sesuai dengan kedewasaan kepribadian seseorang.
2. Aura manusia berwarna-warni sesuai dengan kepribadian dan kehidupan seseorang. Masing-masing warna aura menunjukkan kepribadian yang berbeda.
3. Panjang pendeknya aura dapat dideteksi dengan indra peraba kulit maupun dengan tongkat deteksi.
4. Aura seseorang dapat mempengaruhi maupun dapat dipengaruhi oleh lingkungan sehingga dapat bertambah maupun dapat berkurang karena faktor lingkungan.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan agar pancaran aura tetap cemerlang, di antaranya:
*Makan makanan yang halal, baik dan tidak berlebihan.
*Olahraga yang cukup dan teratur.
*Memenuhi kebutuhan tubuh akan udara segar.
*Istirahat dengan cukup, mengurangi rokok, alkohol, dan obat terlarang.
*Mengurangi gerak hati, gerak pikir dan kegiatan-kegiatan yang buruk.
*Mengurangi sikap hati yang kasar, mudah emosi dan memperbanyak rasa kasih sayang.

Sekarang, mari kita mulai latihan melihat aura. Sebelum melihat aura orang lain, ada beberapa urutan latihan yang harus dilakukan demi kesempurnaan hasil.

1. Melihat Aura Dengan Jari Tangan

Carilah tembok yang berwarna putih, lalu duduklah dengan tenang pada jarak 1/2 meter dari tembok. Ambil nafas sebanyak mungkin dan tahan selama mungkin. Lakukan sebanyak 5 kali. Gosoklah kedua telapak tangan hingga terasa hangat. Tempelkanlah masing-masing jari tangan kanan dan kiri saling berpasangan. Letakkanlah kedua tangan yang masih berpasangan tadi 30 cm didepan mata dengan latar belakang tembok berwarna putih. Renggangkanlah perlahan-lahan kedua telapak tangan saling menjauh. Perhatikanlah, antara kedua ujung jari tadi akan mengeluarkan garis cahaya putih. Itulah aura yang memancar dari ujung jari kita.

2. Melihat Aura Dengan Telapak Tangan

Tariklah nafas dan gosokkanlah kedua telapak tangan seperti pada cara No. 1. Tempelkanlah salah satu telapak tangan pada tembok yang berwarna putih. Tariklah nafas, tahan dan hembuskanlah. Lepaskan telapak tangan dari tembok. Amatilah bekas telapak tangan yang tertinggal ditembok. Itulah aura yang memancar dari telapak tangan dan lama kelamaan akan larut dalam aura alam.

3. Melihat Aura Diri Sendiri

Letakkanlah cermin besar dihadapan kita. Duduklah dengan tenang. Usahakanlah latar belakang tembok berwarna putih dan penerangan berupa lampu neon. Tariklah nafas sebanyak mungkin dan tahanlah selama mungkin. Ulangilah sebanyak 5 kali. Tataplah bayangan diri kita yang ada di cermin. Pandangan mata diusahakan tidak melihat tubuh maupun bayangan tubuh, namun lihatlah batas tepian kepala dengan latar belakang tembok. Setelah pandangan mata kita terfokus, maka perlahan-lahan dari kepala dan bahu akan keluar cahaya aura kita. Sinar yang pertama kali terlihat, biasanya berwarna putih. Putih ini biasanya bukan merupakan warna aura kita yang sesungguhnya, melainkan dari warna aura yang sesungguhnya. Tataplah terus sampai kita melihat warna lain yang tidak berubah. Setelah berhasil, mulailah untuk melihat aura orang lain.

4. Melihat Aura Orang Lain

Mintalah bantuan seseorang yang akan menjadi objek untuk berdiri didepan tembok yang berwarna putih. Usahakanlah penerangan didalam ruangan dibuat remang-remang atau redup. Berdirilah lebih kurang 3 meter di depan objek. Fokuskanlah pandangan mata pada bagian tepi kepala dan bahu objek. Perlahan-lahan akan keluar sinar aura dari tepi kepala objek. Fokuskanlah pandangan pada seluruh tepian tubuh objek, maka seluruh tubuh objek akan memancarkan warna aura.

15 September 2008

Orang Merdeka

Orang merdeka
teriak dalam penjara
melompat-lompat
berlari-lari dalam ruangan sempit
terbang dalam sangkar

Orang merdeka
teriak dalam hati
melompat-lompat
berlari-lari dalam pikiran
terbang dalam angan-angan

Orang merdeka
teriak ke seluruh aliran darah
melompat-lompat
berlari-lari keliling dunia
terbang ke angkasa

28 Agustus 2008

Biografi Chairil Anwar (1922-1949)



Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya berkahwin lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta.

Semasa kecil di Medan, Chairil sangat rapat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:

Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta

Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.

Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.

Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”

Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.

Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.

Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.

Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “Saya minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar.”

Asal Usul Bogor

Tah di dinya, ku andika adegkeun eta dayeuh
laju ngaranan Bogor
sabab bogor teh hartina tunggul kawung
(Di tempat itu, dirikanlah olehmu sebuah kota
lalu beri nama Bogor
sebab bogor itu artinya pokok enau)

Ari tunggul kawung
emang ge euweuh hartina
euweuh soteh ceuk nu teu ngarti
(Pokok enau itu
memang tak ada artinya
terutama, bagi mereka yang tidak paham)

Ari sababna, ngaran mudu Bogor
sabab bogor mah dijieun suluh teu daek hurung
teu melepes tapi ngelun
haseupna teu mahi dipake muput
(Sebabnya harus bernama Bogor?
sebab bogor itu dibuat kayu bakar tak mau menyala
tapi tidak padam, terus membara
asapnya tak cukup untuk “muput”)

Tapi amun dijieun tetengger
sanggup nungkulan windu
kuat milangan mangsa
(Tapi kalau dijadikan penyangga rumah
mampu melampaui waktu
sanggup melintasi zaman)

Amun kadupak
matak borok nu ngadupakna
moalgeuwat cageur tah inyana
(Kalau tersenggol
bisa membuat koreng yang menyenggolnya
membuat koreng yang lama sembuhnya)

Amun katajong?
mantak bohak nu najongna
moal geuwat waras tah cokorna
(Kalau tertendang?
bisa melukai yang mendangnya
itu kaki akan lama sembuhnya)

Tapi, amun dijieun kekesed?
sing nyaraho
isukan jaga pageto
bakal harudang pating kodongkang
nu ngawarah si calutak
(Tapi, kalau dibuat keset?
Semuanya harus tahu
besok atau lusa
bakal bangkit berkeliaran
menasehati yang tidak sopan)

Tah kitu!
ngaranan ku andika eta dayeuh
Dayeuh Bogor!
(Begitulah
beri nama olehmu itu kota
Kota Bogor)

[Pantun Pa Cilong, "Ngadegna Dayeuh Pajajaran"]

Pantun di atas menjadi dasar yang paling kuat tentang kenapa nama kota itu dinamakan “Bogor”. Seperti diketahui, sampai saat ini ada empat pendapat tentang asal nama Bogor :

1. Berasal dari salah ucap orang Sunda untuk “Buitenzorg” yaitu nama resmi Bogor pada masa penjajahan Belanda.

2. Berasal dari “Baghar atau baqar” yang berarti sapi karena di dalam Kebun Raya ada sebuah patung sapi.

3. Berasal dari kata “Bokor” yaitu sejenis bakul logam tanpa alasan yang jelas.

4. Asli bernama Bogor yang artinya “tunggul kawung” (enau atau aren).

Pendapat bahwa Bogor berasal dari “buitenzorg” adalah dugaan intelek yang mengira lidah orang Sunda sedemikian kakunya dengan mengambil perumpamaan melesetnya “Batavia” menjadi “Batawi”. Akan tetapi bila kita perhatikan bagaimana orang Sunda mengucapkan “sikenhes” untuk “ziekenhuis” (rumah sakit) atau “bes” untuk “buis” (pipa) atau “boreh” untuk “boreg” (jaminan), maka berdasarkan gejala bahasa tersebut, seharusnya orang Sunda melafalkan “buitenzorg” menjadi “betensoreh”. Jadi dugaan “buitenzorg” menjadi Bogor terlalu dikira-kira.

Pendapat kedua (”baghar atau baqar”) berdasarkan kenyataan adanya pengaruh bahasa Arab di daerah sekitar Pekojan. Orang Sunda akrab dengan bahasa Arab lewat agama Islam, akan tetapi belum pernah ada bunyi BA dari bahasa Arab menjadi BO. Selain itu, dugaannya mengandung kelemahan dari segi urutan waktu. Kata Bogor telah ada sebelum Kebun Raya dibuat, sedangkan arca sapi itu berasal dari kolam kuno Kotabaru yang dipindahkan ke dalam Kebun Raya oleh Dr. Frideriech dalam pertengahan abad 19.

Pendapat ketiga (asal kata “bokor”) juga mengandung kelemahan karena bokor itu sendiri adalah kata Sunda asli yang keasliannya cukup terjamin. Meskipun demikian, perubahan bunyi “K” menjadi “G” tanpa menimbulkan perubahan arti dapat ditemui pada kata “kumasep” dan “angkeuhan” yang sering diucapkan menjadi “gumasep” (merasa cakep/centil) dan “anggeuhan”(tempat bersandar atau bernaung). Jadi bisa saja Bogor memang berasal dari Bokor. Akan tetapi, tak ada seorangpun yang biasa mengartikan “Bogor” sama dengan “bokor”.

Pendapat keempat kita temukan dalam pantun Bogor yang sudah disebutkan di awal tulisan. Dalam lakon itu dikemukakan bahwa kata “bogor” berarti “tunggul kawung”. Keadaan yang sama dapat ditemui pada nama tempat “Tunggilis” yang terletak di tepi jalan antara Cileungsi dengan Jonggol. Kata “tunggilis” berarti tunggul atau pokok pinang yang secara kiasan diartikan menyendiri atau hidup sebatang kara.

Di Jawa Barat banyak tempat bernama Bogor, seperti yang bisa ditemukan di Sumedang dan Garut. Demikian pula di Jawa Tengah, sebagaimana dicatat Prof. Veth dalam buku Java. Dengan demikian memang agak sulit menerima teori “buitenzorg”,”baghar” dan “bokor”.

Bogor selain berarti tunggul enau, juga berarti daging pohon kawung yang biasa dijadikan sagu (di daerah Bekasi). Dalam bahasa Jawa “Bogor” berati pohon enau dan kata kerja “dibogor” berarti disadap. Dalam bahasa Jawa Kuno, “pabogoran” berarti kebun enau. Dalam bahasa Sunda umum, menurut Coolsma, “Bogor” berarti “droogetapte kawoeng”(pohon enau yang telah habis disadap) atau “bladerlooze en taklooze boom” (pohon yang tak berdaun dan tak bercabang). Jadi sama dengan pengertian kata “pugur” atau “pogor”.

Akan tetapi dalam bahasa Sunda “muguran” dengan “mogoran” berbeda arti. Yang pertama dikenakan kepada pohon yang mulai berjatuhan daunnya karena menua, yang kedua berarti bermalam di rumah wanita dalam makna yang kurang susila. Pendapat desas-desus bahwa Bogor itu berarti “pamogoran” bisa dianggap terlalu iseng.

Nama Bogor dapat ditemui pada sebuah dokumen tertanggal 7 April 1752. Dalam dokumen tersebut tercantum nama Ngabei Raksacandra sebagai “hoofd van de negorij Bogor” (kepala kampung Bogor). Dalam tahun tersebut ibukota Kabupaten Bogor masih berkedudukan di Tanah Baru. Dua tahun kemudian, Bupati Demang Wiranata mengajukan permohonan kepada Gubernur Jacob Mossel agar diizinkan mendirikan rumah tempat tinggal di Sukahati di dekat “Buitenzorg”. Kelak karena di depan rumah Bupati Bogor tersebut terdapat sebuah kolam besar (empang), maka nama “Sukahati” diganti menjadi “Empang”.

Pada tahun 1752 tersebut, di Kota Bogor belum ada orang asing, kecuali Belanda. Kebun Raya sendiri baru didirikan tahun 1817 sehingga teori “arca sapi” tidak dapat diterima sebagai asal-usul nama Bogor. Letak Kampung Bogor yang awal itu di dalam Kebun Raya. Ada di lokasi tanaman kaktus sekarang. Adapun pasar yang didirikan di kampung tersebut oleh penduduk disebut Pasar Bogor. Maka, tak pelak, papan nama “Pasar Baru Bogor” yang ada sekarang sebenarnya agak mengganggu rangkaian historis ini.

sumber : http://www.cikalbogor.20m.com/catalog.html

Tulisan di Atas Pasir

Ini sebuah kisah tentang dua orang sahabat karib yang sedang berjalan melintasi gurun pasir. Di tengah perjalanan, mereka bertengkar, dan salah seorang menampar pipi temannya. Orang yang kena tampar, merasa sakit hati, tapi dengan tanpa berkata-kata, dia menulis di atas pasir : "HARI INI, SAHABAT TERBAIKKU MENAMPAR PIPIKU".

Mereka terus berjalan, sampai menemukan sebuah oasis, dimana mereka memutuskan untuk mandi. Orang yang pipinya kena tampar dan terluka hatinya, mencoba berenang namun nyaris tenggelam, dan berhasil diselamatkan oleh sahabatnya.

Ketika dia mulai siuman dan rasa takutnya sudah hilang, dia menulis di sebuat batu: "HARI INI, SAHABAT TERBAIKKU MENYELAMATKAN NYAWAKU".

Orang yang menolong dan menampar sahabatnya, bertanya: "Kenapa setelah saya melukai hatimu, kau menulisnya di atas pasir, dan sekarang kamu menulis di batu?"

Temannya sambil tersenyum menjawab : "Ketika seorang sahabat melukai kita, kita harus menulisnya di atas pasir, agar angin maaf datang berhembus dan menghapus tulisan tersebut, dan bila sesuatu yang luar biasa terjadi, kita harus memahatnya di atas batu hati kita, agar tidak bisa hilang tertiup angin."

Dalam hidup ini sering timbul beda pendapat dan konflik karena sudut pandang yang berbeda. Oleh karena cobalah untuk saling memaafkan dan lupakan masalah lalu. Belajarlah menulis di atas pasir....

22 Januari 2008

SERAKAH

Karya: Edyar Rahayu Malik

Di sebuah kota besar di Jawa Barat, tepatnya di Bandung, hiduplah tiga pemuda piatu bersaudara yang kaya raya. Ayahnya bernama Hendra Purnama Cahyawiguna, seorang pengusaha, pemilik PT Hendra Jaya. Ketiga pemuda itu masing-masing bernama Herman, Doni, dan Yudi.

Herman bekerja di perusahaan ayahnya sebagai karyawan biasa. Doni masih harus menyelesaikan kuliahnya di Unpad, Bandung, Jurusan Manajemen Akuntansi. Yudi adalah anak yang paling cerdas di antara kedua kakaknya itu. Lulus SMU, ia mendapat beasiswa untuk berkuliah di Australia. Yudi memang anak yang paling disayangi oleh ayahnya. Tentu saja hal ini membuat Herman dan Doni merasa cemburu karena diperlakukan tidak adil.

Nah... sekarang, mari kita saksikan ceritanya bersama-sama! Selamat menyaksikan!


BABAK I

Suatu pagi...

Herman:
Mang Ucup! Makanannya mana? Sudah telat, nih!

Doni:
Iya, Mang Ucup! Perut saya sudah berdemo, nih! Pingin cepet diisi! (di meja hanya ada piring, pisau, dan garpu)

Ucup:
Sabar atuh Juragaan... (asup) Nih, hidangannya sudah datang... ini rotinya... ini selenya... minumannya ditunggu sebentar, ya! (ka dapur deui)

Bapak:
(datang) Herman! Doni! Tadi malam, Yudi telpon ke HP Bapak. Katanya, pagi ini ia akan pulang.

Doni:
Oh... pulang, ya! (sinis)

Bapak:
Iya, hari ini kan hari ulang tahunnya.

Herman:
Wah, ingatan Bapak ternyata masih kuat juga, ya!

Ucup:
(datang) Nah, ini minumannya, susu sapi murni, diperas langsung dari biangnya.... Ini buat Agan Doni... Ini buat Agan Herman... Ini spesial buat Agan Bapak, hehe... (leumpang ka dapur)

Bapak:
Mang Ucup! Di sini saja atuh sarapannya sama-sama!

Ucup:
Ah, tidak usah! Mamang mah di belakang saja, da Mang Ucup mah orang kecilan, derajatnya oge beda...

Bapak:
Eh... jangan begitu, Mang Ucup! Mang Ucup, kita ini di hadapan Allah SWT adalah sama. Yang membedakannya teh Cuma takwa. Begitu, mang Ucup!

Ucup:
Iya, Pak! (nyengir)

Bapak:
Hayo atuh, sini! (ngagupai)

Ucup:
Iya... iya... Mang Ucup ngambil piring dulu! (ka dapur deui)

Doni:
Pak, hari ini Doni sama temen-temen mau pergi manjat ke Gunung Gede. Duitnya dong, Pak! (nyokot roti)

Bapak:
Memangnya kamu tidak kuliah hari ini? (roti diselean)

Doni:
(cicing heula) Ah, males, Pak! (nyokot sele)

Bapak:
Kamu ini, kuliah sudah tujuh tahun nggak lulus-lulus! Kerjamu Cuma manjat saja! Lihat adikmu Yudi! Ia rajin, tekun, ulet! Sekarang dia dapat beasiswa untuk kuliah di Australi!

Doni:
Ah, Bapak! Yudi lagi... Yudi lagi...! (ngakan roti)

Bapak:
Ah... kamu juga, Herman!

Herman:
Lho... kok jadi ke saya?

Bapak:
Iya, kamu juga sama saja! Kata karyawan Bapak, kamu jarang masuk kantor, ke mana saja kamu?

Herman:
Ini juga gara-gara Bapak!

Bapak:
Lho?

Herman:
Bapak cuma menempatkan saya sebagai karyawan biasa. Padahal kan saya ini anaknya Bapak, anak Bapak Hendra Purnama Cahyawiguna, Direktur Utama PT Hendra Jaya.

Bapak:
Herman! Semuanya harus di mulai dari bawah! Ini Bapak lakukan agar kamu tahu artinya “kerja keras”. Tidak mungkin ada angka 10 kalau tidak ada angka 1. kalau kamu rajin, tentu Bapak akan menaikkan posisimu. (diam sejenak, suasana menegang) Contohlah Yudi! Ia anak yang baik, rajin, tekun, hormat sama orang tua.... Seharusnya kalian berdua malu sama adik kalian itu!

Herman:
Ah... sudahlah! (ngahuap roti)

Ucup:
(datang, bengong)

Bapak:
Eh, Mang Ucup! Ayo duduk sini, jangan bengong!

Ucup:
Iya.... (diuk, nyokot roti+sele=dahar)

Suasana menjadi hening. Mereka menikmati sarapan pagi dengan kesunyian. Pak Hendra tidak menghabiskan rotinya. Ia langsung mengambil gelas berisi susu murni dan meminumnya seteguk saja. Herman dan Doni pun ternyata mengambil tindakan yang sama. Hanya Mang Ucup saja yang terlihat aktif dan agresif.

Tiba-tiba...

Bapak:
Aaa... (kejang-kejang seperti yang kena serangan jantung)

Ucup:
Hah... (kaget) Bapak...?!!

Doni & Herman:
Bapak... (sarua kaget, kabeh narenjokeun doang)

Ucup:
Aduh... kumaha ieu?

Doni:
Mang Ucup, ayo kita gotong ke kamar! (kabeh ngagarotong Bapak ka kamar, teu lila...)

Doni:
(jol ti kamar, mencetan HP rek nelepon) Halo... halo... Dr. Sigit... ini Doni, Dok! Dok... Bapak kejang-kejang, Dok! ...Tidak tahu, Dok! ...Iya, Dok! Iya... cepat ya, Dok! Terima kasih! (mondar-mandir, diuk, gelisah)

Herman:
(jol)

Doni:
Bagaimana keadaan Bapak?

Ucup:
(di jero kamar keneh) Agaaan... tolong.... Juragan Bapak ngabudaah... kaluar busa... tolong... aduuh tolong....

Doni & Herman:
(reuwas, asup ka kamar) Bapak... Bapak...

Dr. Sigit:
Asalamualaikum!

Doni:
Waalaikum salam! (datang, muka panto) Eh, Pak Dokter! Ayo cepat, Dok! Bapak, Dok! (metot dokter ka kamar) Ayo, Dok!

Dr. Sigit:
Tenang! Kalian semua di luar dulu! Biarkan saya bekerja! (kalaluar)

Ucup:
Aduh, Agaan! Mamang mah hawatir, takut terjadi apa-apa sama Bapak! Bapak mah orangnya baik, baiiik banget!

Doni:
Ah, ada apa ini? Padahal Bapak tidak punya penyakit jantung!

Herman:
Ya... kita doakan saja, semoga tidak terjadi apa-apa...

Ucup:
Mamang ka dapur dulu, ya! Mau bikinin air buat Pak Dokter! (ka pawon)

Doni:
Kak Her, selintas saya sempat berpikir, rasanya saya senang juga kalau misalnya bapak meninggal...

Herman:
(heran, dahi mengkerut)

Doni:
Selama ini bapak bersikap tidak adil sama kita. Bapak sepertinya benci sama kita. Mungkin karena kita adalah anak tirinya. Bapak lebih perhatian sama Yudi. Kak Herman juga berpikiran seperti itu, bukan?

Herman:
(diam sejenak) Ha... ha... ha...

Doni:
(kaheranan) Kak Her, kenapa Kak Her tertawa?

Herman:
Ha... ha...! Adik, (nyekelan taktak Doni) justru Kak Her-mu ini lebih senang lagi kalau bapak mati! Dia memang harus mati! Ha... ha... ha...

Doni:
Kak Her, apakah Kak Her meracuni bapak?

Herman:
Ya, kamu benar! Ha... ha...! Aku menaruh racun itu di atas piringnya! Ha... ha... ha...

Doni:
Kak Herman gila!

Herman:
(terdiam)

Doni:
Kak Herman bisa masuk penjara...

Herman:
Ha...ha... tenanglah, Dik! Bukan Kak Herman yang akan masuk penjara, tapi Si Ucup! Ha... ha... ha...

Doni:
Mang Ucup? Bagaimana bisa begitu?

Herman:
Adik, yang menyiapkan sarapan Si Ucup, bukan! Jadi... siapa lagi yang akan jadi tersangka... ha... ha...

Doni:
(mikir) Eh, tunggu dulu! Perasaan tadi saya lihat, bapak tidak menggunakan piringnya...

Herman:
Lho? Tapi kenapa bapak kejang-kejang? Mm... mungkin ada orang lain yang meracuni bapak, tapi tidak di piringnya... mungkin di minumannya...?

Doni:
(mikir) Apa mungkin Mang Ucup?

Herman:
Si Ucup? (mikir) Mungkin juga...

Doni:
Biar nanti kita interogasi saja dia, kak Her!

Bapak:
(di kamar) Aa... Aa... (ngajerit) Aa... (ngalaunan) Aa... (eureun weh)...

Herman dan Doni mendengarkan jeritan itu dengan penuh perhatian. Tidak lama kemudian, Dr. Sigit keluar dari kamar Pak Hendra.

Doni:
Bagaimana, Dok?

Herman:
Apakah bapak meninggal?

Dr. Sigit:
Alhamdulillah bapak kalian masih selamat. Beliau keracunan, tapi untung saya cepat datang. Kalau tidak, ...waduh!

Doni:
Jadi bapak tidak meninggal?

Dr. Sigit:
Tentu saja tidak! Apa kalian tidak merasa senang?

Herman:
Tentu saja kami senang, Dok!

Dr. Sigit:
Ya, sudah! pak Hendra sudah saya kasih obat tidur. Kalau sudah siuman, kasih minum obat ini. Ini untuk mengeluarkan racun yang masih tersisa di dalam tubuhnya. Sebagian besar, racunnya sudah saya keluarkan. Diminum tiga kali sehari. Dan ini multivitaminnya.

Doni:
Iya, Dok!

Dr. Sigit:
Kalau begitu, saya permisi... ada pekerjaan lain di rumah sakit.

Doni:
Terima kasih ya, Dok! (salaman)

Herman:
Terima kasih banyak ya, Dok! (salaman keusrak)

Dr. Sigit:
Sama-sama! Mari... (indit)

Ucup:
(jol mawa cai, culang-cileung) pak dokternya mana?

Herman:
Sudah pulang.

Ucup:
Sudah pulang? Padahal sudah dibikinin teh, ee... malah buru-buru pulang... nggak apa-apa, biar Mamang minum sendiri... mubajir! (nginum teh) O, ya! Bapak bagaimana?

Herman:
(menatap tajam ka Ucup, ngadeukeutan Ucup)

Ucup:
Ada apa, Aden? Apa Mamang salah ngomong?

Herman:
Heh, Ucup! Apakah kamu yang meracuni bapak? (bari ngabenyeng baju)

Ucup:
Hah? Bapak diracun? Siapa yang meracuninya?

Herman:
Alaah... jangan belaga poloskau! Kamu kan yang meracuni bapak!

Ucup:
Ampun, Den! Bukan saya, Den! Mana berani Mamang meracuni bapak. Ampun, Den! Ampuun...

Herman:
Huh! (dileupaskeun) Kamu pintar juga bersandiwara!

Ucup:
Aduh, Den! Sandiwara apaan...? Sumpah, bukan Mamang!

Doni:
(ngaharewos rada tarik) Kak Her, sepertinya Mang Ucup tidak berbohong. Biar saya saja... mang Ucup, apa mamang memasukan sesuatu ke dalam makanan atau minuman bapak?

Ucup:
(mikir) Oo... iya... tadi subuh sebelum kalian pada bangun, Den Yudi datang. Dia ngasih sebutir obat ke Mang Ucup buat dimasukin ke minumannya bapak. Katanya multivitamin, biar bapak tetap vit.

Herman:
Oh, jadi Si Yudi sudah datang! Kenapa tidak bilang?

Ucup:
Kata Den Yudi, dia mau bikin kejutan buat bapak. Makanya Mamang tidak bilang siapa-siapa.

Doni:
Sekarang dia ada di mana?

Ucup:
Oo... tadi subuh dia pergi lagi. Katanya mau beli kue buat acara ultahnya.

Herman:
Hm... berarti Si Yudi yang meracuni bapak!

Ucup:
Ah, tidak mungkin! Den Yudi orangnya baik!

Yudi:
(jol mawa kue ultah) Ha... ha... Mang Ucup, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.

Doni & Herman:
Yudi?!!

Yudi:
Mang Ucup! Obat yang tadi saya kasih ke Mamang memang bukan multivitamin, tapi racun!

Ucup:
Hah! (reuwas) Mamang tidak menyangka kamu sekejam ini! (sedih)

Yudi:
Sudah saya bilang, kan! Saya mau kasih kejutan, dan inilah kejutannya. Ha... ha... (ngesotkeun kue)

Ucup:
Mamang kecewa... Mamang sedih... (begeg)

Yudi:
Sudahlah! Ini hari ulang tahunku! Jangan ada yang bersedih! (ngusapan tonggong Ucup)

Herman:
Yudi! Saya juga tidak menyangka kalau kamu bisa sejahat ini! Tetapi, apa yang membuatmu melakukan hal ini?

Yudi:
Kak Her, aku sudah cape belajar terus... aku ingin hidup santai, menikmati kehidupan ini dengan kekayaan bapak yang melimpah.

Doni:
Rupanya kamu “busuk” juga, Yudi!

Yudi:
Sudahlah! Aku tidak suka mendengar kata itu! Kita satu tujuan, bukan! Mengapa tidak bekerja sama saja? (ngajak salaman)

Doni & Herman:
Hm... boleh juga! (salaman, Mang Ucup mewek keneh teu eureun-eureun)

Yudi:
O ya, bagaimana dengan bapak? Apakah sudah mati?

Herman:
Bapak masih selamat. Ini gara-gara Doni menghubungi Dr. Sigit. Sekarang bapak sedang tidur di kamar.

Yudi:
Sudahlah! Itu tidak masalah! Nanti kalau dia sudah bangun, kita ceki8k dia sampai mampus! Ha... ha... sekarang ayo kita berpesta! Mang Ucup, bekas sarapannya diberesin dulu, dong!

Ucup:
(ngaberesan ka dapur bari ingsreuk-ingsreukan)

Doni:
(nyeuneut lilin ultah)

Herman:
Ayo kita berpesta! Panjang umurnya... (nyaranyi sadayana)

Doni:
Ayo ditiup lilinnya!

Yudi:
(niup lilin) Ha...ha...

Herman:
Happy birthday to you... (nyaranyi sadayana)

Doni:
Ayo potong kuenya!

Bapak:
(kaluar ti kamar) Yud... kamu sudah pulang?

Doni & Herman:
(reuwas) Bapak!?!

Yudi:
Ayo Pak, ke sini! Eh, mang Ucup mana?

Herman:
Sudahlah! Barangkali lagi sibuk di dapur!

Yudi:
Ayo Pak, ke sini! (motong kue, Bapak nyampeurkeun) Nah, ini buat Bapak!

Bapak:
Terima kasih, Yud! Selamat ulang tahun! Semoga kamu panjang umur dan sehat selalu!

Yudi:
Terima kasih, pak! Nah, ini buat Kak Her! Ini buat Kak Doni! Ayo dimakan kuenya!

Doni:
Kamu tidak makan?

Yudi:
Ah, saya masih kenyang. Ayo dimakan! (kabeh ngadalahar)

Herman:
Yud! (mere isyarat ka Yudi)

Yudi:
(mere isyarat ka Doni)

Doni:
(ungkleuk, terus nyekek bapak)

Bapak:
Aaa... Yudi... tolong...

Herman:
Lebih kuat lagi, Don! Ayo... (mere semangat)

Yudi:
(nyengir)

Bapak:
Aaa... (koid)

Herman:
Kau hebat, Dik!

Yudi:
(mere acungan jempol, Doni seuri)

Doni:
Sekarang bapak sudah mati! Berarti, seluruh harta bapak menjadi milik kita!

Herman:
Benar! Tinggal kita bagi tiga saja! Aku 40%, Doni 35%, dan kau, Yud 25%.

Doni:
Kak Her, kita bagi rata saja!

Yudi:
Jangan! Harta itu semuanya akan jadi milikku! Perusahaan, rumah, deposito... semuanya jadi milikku!

Herman:
Hey, kenapa bisa begitu?

Yudi:
Tentu saja bisa, karena kalian berdua sebentar lagi akan mati!

Doni & Herman:
Hah?

Yudi:
Ha... ha... kue ultah ini sudah saya kasih racun yang paling ampuh. Tadi kalian sudah memakannya, bukan! Ha... ha... kalian memang bodoh! Haha...

Doni & Herman:
Kurang ajar! Aa... (karacunan)

Yudi:
Ha... ha... aku memang pintar! Polisi tidak akan tahu kalau aku pelakunya, karena tidak ada bukti yang mengarah padaku. Ha... ha... ha... Kak Her, Kak Don, salam ya sama malaikat maut! Dadah... haha.... (tengil)

Doni & Herman:
Aa... (modar)

Yudi:
Haha... sempurna! Haha... hey, tunggu dulu... tidak boleh ada saksi satu orang pun... Mang Ucup... ya, aku harus segera membereskannya!

Ucup:
(jol) Yud, sadarlah! Minta ampun sama Alloh! Serahkan diri Aden sama polisi untuk menebus dosa-dosa Aden!

Yudi:
Mang Ucup?! (reuwas)

Ucup:
Yud, kamu anak baik! Mamang teh sayang ka Yudi... bertobatlah!

Yudi:
Mang... (meberkeun leungeun hayang ditangkeup) Mang Ucup... (ekting bari ceuceurikan)

Ucup:
(nyampeurkeun) Yud... (nangkeup Yudi)

Yudi:
Yudi nyesel, mang! (leungeunna ngagaradah kana peso) Mang Ucup! (cleb, ditojoskeun ka Ucup)

Ucup:
Aaa.... (nyokot peso na cangkeng)

Yudi:
Ha... ha...

Ucup:
Yud... (cleb, ditojoskeun ka Yudi)

Yudi:
Aaa... (ngajoprak)

Ucup:
Astaghfirullaahal’azhiim... Allaahu akbar... (paeh)

Demikianlah! Akhirnya, semuanya mati. Ini semua terjadi akibat dari keserakahan. Kisah ini mengajarkan kepada kita untuk tidak serakah dalam hidup ini. Keserakahan akan menjerumuskan kita ke lembah kenistaan. Diharapkan kita juga dapat menjauhi sifat hasud, dengki, dan iri hati. Selain itu, seyogianya kita dapat bersikap adil kepada setiap orang di sekitar kita agar tidak menimbulkan sifat hasud, dengki, dan iri hati di hati orang lain.

Para hadirin, memang kisah ini hanyalah fiktif belaka. Namun, bukannya tidak mungkin hal ini dapat terjadi di dunia nyata. Maka, waspadalah! Harapan kami, semoga kisah ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Amin.

Sekian. Terima kasih.

19 Januari 2008

Perawan Tua


Aku adalah seorang dosen perempuan. Umurku sudah mencapai 30 tahun, tetapi sampai saat ini aku belum juga berumah tangga. Pacar pun aku tak punya. Memang, sedari dulu sampai sekarang aku belum pernah merasakan yang namanya pacaran.
Aduh, aku cemas. Mungkin ini sudah nasib. Aku memang kurang laku di pasaran. Terang saja, tubuhku gemuk, mukaku bulat, hidungku pesek, suaraku besar, rambutku ikal. Ah… Ya Tuhan, aku malah mencela hasil karya-Mu.
“Hari ini aku merasa bahagia sekaligus cemas. Kemarin, aku mendapat kenalan cowok dari chatting. Orangnya asyik dan cepat akrab. Ia mengirimkan fotonya lewat e-mail. Dia balas minta fotoku, Rin. Aku bingung,” kataku kepada Bu Ririn, kepala Laboratorium Microteaching sekaligus teman curhatku di kampus.
“Siapa namanya?”
“Namanya Edo.”
“Umurnya berapa tahun?”
“Katanya sih 25 tahun.”
“Tidak terlalu berbeda jauh denganmu. Sudah bekerja apa belum?”
“Ia seorang dosen.”
“Dosen mana?”
“Tidak tahu. Dia tampan, Rin. Sepertinya aku jatuh cinta kepadanya. Dia minta fotoku. Bolehkah aku mengirimkan fotomu, Rin?”
Ririn adalah sahabatku yang paling mengerti aku, meskipun umurnya lebih muda dari aku. Ia baru 25 tahun, tetapi sudah berumah tangga. Dia cantik, juga pintar. Itulah sebabnya ia dipercaya sebagai Kepala Laboratorium Microteaching.
“Rin, bagaimana, kamu bisa bantu aku tidak?”
“Santi, sebaiknya kamu berani jujur. Sudah sepuluh kali kauminta fotoku, dan sudah sepuluh kali juga kaukecewakan sepuluh laki-laki.”
“Rin, aku tidak pede. Kautahu kan aku ini jelek. Aku....”
“Santi, jangan suka mencela diri sendiri,” ia memotong pembicaraanku. “Kamu harus yakin bahwa kejujuran itu adalah suatu keberanian, dan keberanian adalah awal dari kemenangan.”
Ia memang sering berbicara seperti itu––sedikit filosofis––kepada setiap orang, tetapi aku tidak begitu mengerti apa yang ia maksudkan.
“Rin, tolonglah mengerti aku! Izinkanlah, sekali ini saja,” pintaku.
“Kalau itu maumu, tapi ini yang terakhir kali,” ucapnya mengabulkan.
Kukirimkan foto Ririn kepadanya. Aku sudah agak sedikit tenang sekarang. Mudah-mudahan kali ini aku berhasil. Aku malu sebagai anak sulung. Adik-adikku semuanya sudah menjalin bahtera rumah tangga.

* * *

“Rin, dia mengajakku ketemuan. Kamu tahu tidak, dia sempat memujiku lewat e-mail. Katanya aku cantik. Aku cukup senang meskipun itu hanya sebuah pujian semu.”
“Kamu mau ketemuan di mana?”
“Dia mau datang ke sini, Rin, sekarang.”
“Sekarang?”
“Ya, Sekarang!”
Kening Ririn terlihat mengkerut. Ah, aku tidak terlalu memikirkannya, tetapi di dekat pintu TU kulihat sesosok lelaki bertubuh gemuk sedang bercakap-cakap dengan Kepala TU yang sepertinya tubuh gemuk itu aku kenal.
“Rin, kamu kenal lelaki yang sedang berbicara dengan Pak Salim––Kepala TU––itu? Sepertinya aku pernah mengenalnya,” tanyaku penasaran.
“O, dia ‘kan Pak Dirman. Dulu ‘kan dia pernah menjadi staf di sini. Kamu juga mengenalnya, ‘kan,” jawabnya.
Dirman. Ya, aku pernah mengenalnya dan memang aku memang kenal dengannya. Dulu sewaktu dia masih bertugas di sini, dia sempat menembakku, tapi aku menolaknya. Dia sama seperti-ku; bertubuh gemuk dan berambut ikal. Satu lagi, kulitnya hitam. Aku membencinya.
“San, dia ke sini,” ucap Ririn.
“Mau apa dia ke mari. Jangan-jangan mau mengacaukan pertemuanku dengan Edo, kenalanku di chatting,” bisikku pada Ririn.
“Hai, Santi! Kita bertemu lagi,” Dirman menyapaku, mengajakku bersalaman.
“Ada urusan apa kamu datang ke mari?”
“Kamu lupa, ya! Kita ‘kan sudah janjian!”
“Janjian?” Sudah kuduga dia mau mengacaukan pertemuanku dengan Edo. “Sebaiknya kamu pergi dari sini daripada kamu sakit hati. Sebentar lagi aku mau ketemuan sama Edo, calon suamiku. Dia tampan, tidak seperti kamu.”
“Santi, Edo itu aku!”
“Sudahlah, jangan suka mengada-ada!”
“San, sebaiknya aku pergi, ya,” Ririn merasa tidak enak menyaksikan percekcokan kami. Dia pergi. “Permisi!”
“Santi, kamu lupa ya namaku. Aku Edo, Edo Sudirman. Memang rekan-rekan di sini memanggilku dengan nama Dirman.”
Aku jadi pusing mendengarnya. Jangan-jangan dia itu memang Edo. Kalau benar demikian, aku akan sangat malu.
“Aku tidak percaya! Edo pernah mengirimkan fotonya lewat e-mail. Dia tampan, tubuhnya kekar dan kulitnya putih.”
“Santi, itu hanya taktik. Aku mengirimkan foto supirku. Sekarang dia sedang menungguku di luar. Kalau kamu mau sama dia, silakan temui dia, tapi dia hanya seorang supir.”
Aku tersentak mendengarnya.
“Sekarang aku menjadi dekan di kampus baruku,” ucapnya, tetapi aku sama sekali tidak mempedulikannya.
“Kamu memang pengecut, tidak berani mengirimkan fotomu sendiri!”
“Kamu juga melakukan hal itu padaku, bukan?”
Aku jadi malu sendiri––senjata makan tuan. Aku menjadi salah tingkah. Sms masuk. Aku membukanya. Dari Ririn. Katanya, ’Jangan suka jual mahal’.
“Dari siapa, San?”
“….” Aku salah tingkah. Aku segera memasukkan handphone ke dalam tas.
“Santi, kamu tahu ‘kan sudah sejak lama aku mencintaimu. Dulu kamu menolakku karena aku ini jelek dan aku hanya seorang dosen yang berpenghasilan kecil. Sekarang aku kembali dengan penampilan yang berbeda. Selain menjadi dekan di tempat baruku, aku juga membuka usaha anyaman, dan aku sukses. San, sekarang aku sudah mapan dan mendambakan seorang pendamping hidup.”
Aku hanya bisa diam seperti patung mendengar semua ucapannya.
“Aku juga sadar tidak bisa merubah penampilanku yang jelek ini, tetapi yakinlah bahwa hatiku tak sejelek lahiriahku. Aku mencintaimu, Santi.”
Aku malah menangis sejadi-jadinya. Jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku juga mencintainya. Bukan karena penampilannya yang jelek, bukan pula karena dulu ia hanya seorang dosen yang berpenghasilan kecil, bukan karena itu dulu aku menolaknya, tapi hanya karena gengsikulah yang menutupi kejujuran hatiku.
Aku baru mengerti maksud dari kata-kata Ririn yang sedikit terdengar filosofis di telingaku itu. Aku memang harus jujur pada hati sendiri. Aku tidak rela egoku menyebabkan aku menjadi perawan tua. Aku masih mencucurkan air mata.
“Santi, kenapa kamu menangis?”
“Dirman, aku juga mencintaimu. Aku mau menjadi pendam-ping hidupmu. Aku…,” Aku tak sanggup berkata-kata lagi. Aku ingin segera memeluknya, dan segera saja kulakukan. Aku ingin men-ciumnya, tapi tubuh kami yang gemuk sedikit menjadi penghalang.
Kulihat Dirman tersenyum. Dia pun menangis. Air matanya terasa panas di pipiku. Dia memelukku erat.
Bunyi sms menghentikan acara peluk-pelukan kami. Aku membukanya. Dari Ririn. Katanya, ‘Selamat, kamu telah berhasil memperoleh keberanian dan kamu pantas memperoleh kemenang-an’.
“Dari siapa, San?” tanyanya.
“Ah…,” Aku segera memasukkan handphone ke dalam tas.
Dia segera menuntunku ke luar kampus dan menaiki mobilnya. Kami akan makan siang di restoran.

* * * *

Bogor, 07 Desember 2004

PAK KILLER


Aku masuk ke ruang kelas dengan tangan kosong, langsung meluncur ke tempat duduk tanpa melirik anak-anak.
“Siap... berdoa, mulai!”
Kuambil buku absen yang ada di laci meja, kubuka.
“Selesai... beri salam!”
“Assalaamu ‘alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh!”
“Wa ‘alaikum salaam,” jawabku singkat. Tanpa memandanginya, aku mulai mengabsen siswa satu per satu mulai dari huruf ‘A’, sampai pada huruf ‘S’, kupanggil, “Sandi...”
“Absen, Pak!”
“Santi....”
“Absen, Pak!”
“Yudi....”
“Absen, Pak!”
Sampai pada huruf ‘Z’ kupanggil, “Zainudin... Zainudin....”
“Absen, Pak!”
Seketika tekanan darahku naik. Aku benci pada Zainudin. Sudah dua hari ia tidak masuk kelas, dan ini yang ketiga kalinya. Sudah cukup bagiku untuk menarik suatu kesimpulan bahwa ia adalah siswa yang malas. Benci juga aku pada beberapa siswa lainnya yang tidak masuk. Setelah kulayangkan pandangan mataku ke setiap sudut kelas, ternyata hampir separuhnya siswa yang absen hari ini. Mereka pasti telah terkena virus malas dari Si Zainudin. Mau apa jadinya jika semua siswa seperti Si Zainudin.
Ah, buat apa aku memikirkan siswa-siswa yang malas itu. Tugasku di kelas ini adalah untuk mengajar siswa-siswa yang rajin. Ya, siswa yang rajin. Bagiku, mereka adalah sampah masyarakat yang harus dibuang jauh-jauh dari pikiranku.
“Anak-anak, keluarkan buku PR kalian!”
Anak-anak terlihat diam. Wajahnya tegang dan matanya menatap ke atas bangkunya masing-masing dengan khusyu’, tak berkutik, seperti patung Harimau di Pasar Ciawi. Aku mulai berang. Kupelototi wajah mereka satu-satu. Jangan-jangan mereka tidak mengerjakan PR. Dasar manusia-manusia pemalas. Ternyata, mereka sama saja seperti Si Zainudin keparat itu.
Salah seorang angkat bicara, “PR-nya susah, Pak!”
“Susah?”
Benar dugaanku, mereka tidak mengerjakan PR. Huh, dasar otak dengkul, tidak mau berpikir sedikit keras. Diberi soal hitungan saja sudah bilang susah, apalagi kalau disuruh mengurus negara.
“Materinya belum diajarkan, Pak!”
“Dasar bodoh! Kalian ‘kan punya buku paket. Pelajari, dong!” Anak zaman sekarang tidak punya semangat belajar, tidak bisa belajar mandiri. Mereka selalu manja, selalu ingin disuapi. Kapan majunya negara ini jika generasi mudanya tidak memiliki semangat kerja keras. “Sudahlah! Bapak beri waktu lima menit untuk mengerjakan!”
Lima menit adalah waktu yang cukup lama untuk menunggu. Makanya, kuisi dengan ceramah sambil mondar-mandir kayak mandor.
“Ingat! Waktu kalian cuma lima menit. Jadi, satu soal setengah menit. Pokoknya, kalian mesti selesai!” Mereka terlihat serius dan sungguh-sungguh mengerjakan soal itu. Membuka-buka buku paket, mengotret di buku kosong, aku senang melihatnya. Setelah dua menit berlalu, aku duduk kembali di atas kursi.
“Nah, kalau kalian rajin, kalian pasti akan menjadi orang sukses. Waktu masih sekolah dulu, Bapak juga sering dihukum, dimarahi, kena tampar, diberi soal banyak, setiap hari ada PR, itu sudah biasa. Lihatlah hasilnya sekarang, Bapak bisa menjadi pegawai negeri, menjadi seorang guru, pahlawan tanpa tanda jasa. Ini semata-mata berkat kerja keras Bapak. Makanya, kalian harus bekerja keras, belajar yang rajin.”
Kening para pelajar SD kelas tiga itu bersimbah peluh. Aku senang. Itu tandanya mereka berpikir dan bekerja keras. “Sudah tiga menit, kalian pasti sudah menyelesaikan sekitar enam soal. Anton, coba kerjakan nomor satu di papan tulis!”
Ia terkejut ketika kupanggil namanya. Dengan gugup, ia melangkah ke papan tulis. Anton adalah siswa yang katanya paling pintar di kelasnya. Dari kelas satu sampai kelas dua, ia selalu menjadi ranking pertama. Tapi aku tidak percaya. Ia pasti siswa yang bodoh. Ia ranking karena ayahnya orang kaya. Ayahnya pasti menyuap guru kelasnya agar menjadi ranking satu. Tapi aku tidak bisa disuap. Akan kupastikan kalau ia akan tinggal kelas karena ia siswa yang bodoh. Haha....
A ha... dugaanku ternyata benar. Anton memang siswa yang bodoh. Ia hanya bengong di depan papan tulis. Wajahnya penuh ketakutan dan kegelisahan.
“Hey, bodoh! Ayo kerjakan! Jangan diam saja!” sambil ku-pukul kepalanya. Air matanya tumpah. Aku jadi muak melihatnya. “Kenapa menangis? Tidak bisa, ya? Dasar anak bodoh!”
Aku kesal melihat ujung bibirnya yang tertarik ke bawah dan sedikit menganga menampung air matanya yang bocor. Menurutku, ia lebih cocok menjadi pengemis jalanan yang selalu meminta belas kasihan dari orang lain dengan wajah menyedihkan.
Terkadang aku ingin tertawa geli. Ini mengingatkanku pada 30 tahun yang lalu, ketika aku masih SD kelas tiga. Pak guru memanggil namaku dengan galak, menyetrapku karena kesiangan, menyuruhku push up karena lupa membawa buku PR, memukul kepalaku karena tidak bisa mengerjakan soal. Aku memang tergolong siswa yang tidak pintar. Makanya, aku tidak senang kepada orang yang pintar. Sungguh, nostalgia yang menyedihkan.
Aku tidak peduli anak-anak akan membenciku dan lebih menyenangi Pak Malik, guru kelas dua yang masih bau kencur itu. Aku juga tidak peduli kalau anak-anak menjulukiku ‘Pak Killer’. Kalau dipikir, apa hebatnya Si Malik itu? Ia hanya guru honor di sini. Ijazahnya hanya sampai SMA. Jadi, apa hebatnya? Hari ini, ia menggembalakan murid-muridnya di luar sekolah. Baru dua bulan jadi guru honor, sudah berani. Ah, lagi-lagi aku memikirkan yang macam-macam. Buat apa aku memikirkan guru honor yang tidak tahu diri itu.
“Hey, Anton! Pulang sana ke rumah orang tuamu. Bilang kepada mereka, kamu diberhentikan. Percuma ikut sekolah kalau kamu tetap bodoh. Kamu hanya akan menghabiskan uang ayahmu saja.”
Anton pun pulang dengan membawa bibirnya yang bergelombang. Hatiku tertawa puas, seolah-olah dendamku telah terbalas. Tiba-tiba....
“Permisi!”
Si Bau Kencur itu datang ke kelasku. Aku tidak tahu maksud kedatangannya. “Ada apa?” tanyaku.
“Maaf, Pak Lukman! Bapak dipanggil Bapak Kepala Sekolah. Sekarang!” Setelah mengatakan itu, ia tetap diam di lawang pintu.
“Sekarang, Pak!” ucapnya. Perasaanku tidak enak kali ini. Jarang-jarang Bapak Kepala Sekolah memanggilku ke ruangannya. Ada apa ini? Jangan-jangan Si Bau Kencur ini melaporkanku kepada Bapak Kepsek? Ah, peduli amat. Yang pasti, sekarang aku benci karena aku berjalan di belakang Si Bau Kencur seolah-olah aku ini ajudannya. Sebal.
Di ruang Kepsek, aku duduk berdampingan dengan manusia menyebalkan itu. Perasaanku semakin tidak enak saja karena di ruangan itu ada juga dua orang polisi yang berseragam lengkap. “Ada apa Bapak memanggil saya?”
Tanpa berbasa-basi, Pak Kepsek langsung menjawab, “Muridmu, Zainudin, telah meninggal dunia di rumah sakit tadi pagi. Tubuhnya penuh memar. Sebelum meninggal, ia sempat meng-adukan bahwa Pak Lukman sering memukulinya.”
Hatiku bagai tersambar petir. Aku telah membunuh muridku sendiri. Aku pembunuh. Belum sempat menghela napas, Pak Kepsek kembali bersua, “Murid-muridmu yang lain juga meng-adukan hal yang sama. Mereka tidak ingin masuk sekolah karena Pak Lukman sering menganiaya mereka.”
Benar-benar aku tidak bisa berkata apa-apa. Jantungku berdetak keras. Pikiranku mulai kacau. Aku cengengesan ketika Pak Polisi menyeretku ke mobil tahanan. Haha... aku jadi pembunuh. Aku tertawa sekeras-kerasnya.

* * * *

Ciawi, 6 Maret 2004