22 Januari 2008

SERAKAH

Karya: Edyar Rahayu Malik

Di sebuah kota besar di Jawa Barat, tepatnya di Bandung, hiduplah tiga pemuda piatu bersaudara yang kaya raya. Ayahnya bernama Hendra Purnama Cahyawiguna, seorang pengusaha, pemilik PT Hendra Jaya. Ketiga pemuda itu masing-masing bernama Herman, Doni, dan Yudi.

Herman bekerja di perusahaan ayahnya sebagai karyawan biasa. Doni masih harus menyelesaikan kuliahnya di Unpad, Bandung, Jurusan Manajemen Akuntansi. Yudi adalah anak yang paling cerdas di antara kedua kakaknya itu. Lulus SMU, ia mendapat beasiswa untuk berkuliah di Australia. Yudi memang anak yang paling disayangi oleh ayahnya. Tentu saja hal ini membuat Herman dan Doni merasa cemburu karena diperlakukan tidak adil.

Nah... sekarang, mari kita saksikan ceritanya bersama-sama! Selamat menyaksikan!


BABAK I

Suatu pagi...

Herman:
Mang Ucup! Makanannya mana? Sudah telat, nih!

Doni:
Iya, Mang Ucup! Perut saya sudah berdemo, nih! Pingin cepet diisi! (di meja hanya ada piring, pisau, dan garpu)

Ucup:
Sabar atuh Juragaan... (asup) Nih, hidangannya sudah datang... ini rotinya... ini selenya... minumannya ditunggu sebentar, ya! (ka dapur deui)

Bapak:
(datang) Herman! Doni! Tadi malam, Yudi telpon ke HP Bapak. Katanya, pagi ini ia akan pulang.

Doni:
Oh... pulang, ya! (sinis)

Bapak:
Iya, hari ini kan hari ulang tahunnya.

Herman:
Wah, ingatan Bapak ternyata masih kuat juga, ya!

Ucup:
(datang) Nah, ini minumannya, susu sapi murni, diperas langsung dari biangnya.... Ini buat Agan Doni... Ini buat Agan Herman... Ini spesial buat Agan Bapak, hehe... (leumpang ka dapur)

Bapak:
Mang Ucup! Di sini saja atuh sarapannya sama-sama!

Ucup:
Ah, tidak usah! Mamang mah di belakang saja, da Mang Ucup mah orang kecilan, derajatnya oge beda...

Bapak:
Eh... jangan begitu, Mang Ucup! Mang Ucup, kita ini di hadapan Allah SWT adalah sama. Yang membedakannya teh Cuma takwa. Begitu, mang Ucup!

Ucup:
Iya, Pak! (nyengir)

Bapak:
Hayo atuh, sini! (ngagupai)

Ucup:
Iya... iya... Mang Ucup ngambil piring dulu! (ka dapur deui)

Doni:
Pak, hari ini Doni sama temen-temen mau pergi manjat ke Gunung Gede. Duitnya dong, Pak! (nyokot roti)

Bapak:
Memangnya kamu tidak kuliah hari ini? (roti diselean)

Doni:
(cicing heula) Ah, males, Pak! (nyokot sele)

Bapak:
Kamu ini, kuliah sudah tujuh tahun nggak lulus-lulus! Kerjamu Cuma manjat saja! Lihat adikmu Yudi! Ia rajin, tekun, ulet! Sekarang dia dapat beasiswa untuk kuliah di Australi!

Doni:
Ah, Bapak! Yudi lagi... Yudi lagi...! (ngakan roti)

Bapak:
Ah... kamu juga, Herman!

Herman:
Lho... kok jadi ke saya?

Bapak:
Iya, kamu juga sama saja! Kata karyawan Bapak, kamu jarang masuk kantor, ke mana saja kamu?

Herman:
Ini juga gara-gara Bapak!

Bapak:
Lho?

Herman:
Bapak cuma menempatkan saya sebagai karyawan biasa. Padahal kan saya ini anaknya Bapak, anak Bapak Hendra Purnama Cahyawiguna, Direktur Utama PT Hendra Jaya.

Bapak:
Herman! Semuanya harus di mulai dari bawah! Ini Bapak lakukan agar kamu tahu artinya “kerja keras”. Tidak mungkin ada angka 10 kalau tidak ada angka 1. kalau kamu rajin, tentu Bapak akan menaikkan posisimu. (diam sejenak, suasana menegang) Contohlah Yudi! Ia anak yang baik, rajin, tekun, hormat sama orang tua.... Seharusnya kalian berdua malu sama adik kalian itu!

Herman:
Ah... sudahlah! (ngahuap roti)

Ucup:
(datang, bengong)

Bapak:
Eh, Mang Ucup! Ayo duduk sini, jangan bengong!

Ucup:
Iya.... (diuk, nyokot roti+sele=dahar)

Suasana menjadi hening. Mereka menikmati sarapan pagi dengan kesunyian. Pak Hendra tidak menghabiskan rotinya. Ia langsung mengambil gelas berisi susu murni dan meminumnya seteguk saja. Herman dan Doni pun ternyata mengambil tindakan yang sama. Hanya Mang Ucup saja yang terlihat aktif dan agresif.

Tiba-tiba...

Bapak:
Aaa... (kejang-kejang seperti yang kena serangan jantung)

Ucup:
Hah... (kaget) Bapak...?!!

Doni & Herman:
Bapak... (sarua kaget, kabeh narenjokeun doang)

Ucup:
Aduh... kumaha ieu?

Doni:
Mang Ucup, ayo kita gotong ke kamar! (kabeh ngagarotong Bapak ka kamar, teu lila...)

Doni:
(jol ti kamar, mencetan HP rek nelepon) Halo... halo... Dr. Sigit... ini Doni, Dok! Dok... Bapak kejang-kejang, Dok! ...Tidak tahu, Dok! ...Iya, Dok! Iya... cepat ya, Dok! Terima kasih! (mondar-mandir, diuk, gelisah)

Herman:
(jol)

Doni:
Bagaimana keadaan Bapak?

Ucup:
(di jero kamar keneh) Agaaan... tolong.... Juragan Bapak ngabudaah... kaluar busa... tolong... aduuh tolong....

Doni & Herman:
(reuwas, asup ka kamar) Bapak... Bapak...

Dr. Sigit:
Asalamualaikum!

Doni:
Waalaikum salam! (datang, muka panto) Eh, Pak Dokter! Ayo cepat, Dok! Bapak, Dok! (metot dokter ka kamar) Ayo, Dok!

Dr. Sigit:
Tenang! Kalian semua di luar dulu! Biarkan saya bekerja! (kalaluar)

Ucup:
Aduh, Agaan! Mamang mah hawatir, takut terjadi apa-apa sama Bapak! Bapak mah orangnya baik, baiiik banget!

Doni:
Ah, ada apa ini? Padahal Bapak tidak punya penyakit jantung!

Herman:
Ya... kita doakan saja, semoga tidak terjadi apa-apa...

Ucup:
Mamang ka dapur dulu, ya! Mau bikinin air buat Pak Dokter! (ka pawon)

Doni:
Kak Her, selintas saya sempat berpikir, rasanya saya senang juga kalau misalnya bapak meninggal...

Herman:
(heran, dahi mengkerut)

Doni:
Selama ini bapak bersikap tidak adil sama kita. Bapak sepertinya benci sama kita. Mungkin karena kita adalah anak tirinya. Bapak lebih perhatian sama Yudi. Kak Herman juga berpikiran seperti itu, bukan?

Herman:
(diam sejenak) Ha... ha... ha...

Doni:
(kaheranan) Kak Her, kenapa Kak Her tertawa?

Herman:
Ha... ha...! Adik, (nyekelan taktak Doni) justru Kak Her-mu ini lebih senang lagi kalau bapak mati! Dia memang harus mati! Ha... ha... ha...

Doni:
Kak Her, apakah Kak Her meracuni bapak?

Herman:
Ya, kamu benar! Ha... ha...! Aku menaruh racun itu di atas piringnya! Ha... ha... ha...

Doni:
Kak Herman gila!

Herman:
(terdiam)

Doni:
Kak Herman bisa masuk penjara...

Herman:
Ha...ha... tenanglah, Dik! Bukan Kak Herman yang akan masuk penjara, tapi Si Ucup! Ha... ha... ha...

Doni:
Mang Ucup? Bagaimana bisa begitu?

Herman:
Adik, yang menyiapkan sarapan Si Ucup, bukan! Jadi... siapa lagi yang akan jadi tersangka... ha... ha...

Doni:
(mikir) Eh, tunggu dulu! Perasaan tadi saya lihat, bapak tidak menggunakan piringnya...

Herman:
Lho? Tapi kenapa bapak kejang-kejang? Mm... mungkin ada orang lain yang meracuni bapak, tapi tidak di piringnya... mungkin di minumannya...?

Doni:
(mikir) Apa mungkin Mang Ucup?

Herman:
Si Ucup? (mikir) Mungkin juga...

Doni:
Biar nanti kita interogasi saja dia, kak Her!

Bapak:
(di kamar) Aa... Aa... (ngajerit) Aa... (ngalaunan) Aa... (eureun weh)...

Herman dan Doni mendengarkan jeritan itu dengan penuh perhatian. Tidak lama kemudian, Dr. Sigit keluar dari kamar Pak Hendra.

Doni:
Bagaimana, Dok?

Herman:
Apakah bapak meninggal?

Dr. Sigit:
Alhamdulillah bapak kalian masih selamat. Beliau keracunan, tapi untung saya cepat datang. Kalau tidak, ...waduh!

Doni:
Jadi bapak tidak meninggal?

Dr. Sigit:
Tentu saja tidak! Apa kalian tidak merasa senang?

Herman:
Tentu saja kami senang, Dok!

Dr. Sigit:
Ya, sudah! pak Hendra sudah saya kasih obat tidur. Kalau sudah siuman, kasih minum obat ini. Ini untuk mengeluarkan racun yang masih tersisa di dalam tubuhnya. Sebagian besar, racunnya sudah saya keluarkan. Diminum tiga kali sehari. Dan ini multivitaminnya.

Doni:
Iya, Dok!

Dr. Sigit:
Kalau begitu, saya permisi... ada pekerjaan lain di rumah sakit.

Doni:
Terima kasih ya, Dok! (salaman)

Herman:
Terima kasih banyak ya, Dok! (salaman keusrak)

Dr. Sigit:
Sama-sama! Mari... (indit)

Ucup:
(jol mawa cai, culang-cileung) pak dokternya mana?

Herman:
Sudah pulang.

Ucup:
Sudah pulang? Padahal sudah dibikinin teh, ee... malah buru-buru pulang... nggak apa-apa, biar Mamang minum sendiri... mubajir! (nginum teh) O, ya! Bapak bagaimana?

Herman:
(menatap tajam ka Ucup, ngadeukeutan Ucup)

Ucup:
Ada apa, Aden? Apa Mamang salah ngomong?

Herman:
Heh, Ucup! Apakah kamu yang meracuni bapak? (bari ngabenyeng baju)

Ucup:
Hah? Bapak diracun? Siapa yang meracuninya?

Herman:
Alaah... jangan belaga poloskau! Kamu kan yang meracuni bapak!

Ucup:
Ampun, Den! Bukan saya, Den! Mana berani Mamang meracuni bapak. Ampun, Den! Ampuun...

Herman:
Huh! (dileupaskeun) Kamu pintar juga bersandiwara!

Ucup:
Aduh, Den! Sandiwara apaan...? Sumpah, bukan Mamang!

Doni:
(ngaharewos rada tarik) Kak Her, sepertinya Mang Ucup tidak berbohong. Biar saya saja... mang Ucup, apa mamang memasukan sesuatu ke dalam makanan atau minuman bapak?

Ucup:
(mikir) Oo... iya... tadi subuh sebelum kalian pada bangun, Den Yudi datang. Dia ngasih sebutir obat ke Mang Ucup buat dimasukin ke minumannya bapak. Katanya multivitamin, biar bapak tetap vit.

Herman:
Oh, jadi Si Yudi sudah datang! Kenapa tidak bilang?

Ucup:
Kata Den Yudi, dia mau bikin kejutan buat bapak. Makanya Mamang tidak bilang siapa-siapa.

Doni:
Sekarang dia ada di mana?

Ucup:
Oo... tadi subuh dia pergi lagi. Katanya mau beli kue buat acara ultahnya.

Herman:
Hm... berarti Si Yudi yang meracuni bapak!

Ucup:
Ah, tidak mungkin! Den Yudi orangnya baik!

Yudi:
(jol mawa kue ultah) Ha... ha... Mang Ucup, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.

Doni & Herman:
Yudi?!!

Yudi:
Mang Ucup! Obat yang tadi saya kasih ke Mamang memang bukan multivitamin, tapi racun!

Ucup:
Hah! (reuwas) Mamang tidak menyangka kamu sekejam ini! (sedih)

Yudi:
Sudah saya bilang, kan! Saya mau kasih kejutan, dan inilah kejutannya. Ha... ha... (ngesotkeun kue)

Ucup:
Mamang kecewa... Mamang sedih... (begeg)

Yudi:
Sudahlah! Ini hari ulang tahunku! Jangan ada yang bersedih! (ngusapan tonggong Ucup)

Herman:
Yudi! Saya juga tidak menyangka kalau kamu bisa sejahat ini! Tetapi, apa yang membuatmu melakukan hal ini?

Yudi:
Kak Her, aku sudah cape belajar terus... aku ingin hidup santai, menikmati kehidupan ini dengan kekayaan bapak yang melimpah.

Doni:
Rupanya kamu “busuk” juga, Yudi!

Yudi:
Sudahlah! Aku tidak suka mendengar kata itu! Kita satu tujuan, bukan! Mengapa tidak bekerja sama saja? (ngajak salaman)

Doni & Herman:
Hm... boleh juga! (salaman, Mang Ucup mewek keneh teu eureun-eureun)

Yudi:
O ya, bagaimana dengan bapak? Apakah sudah mati?

Herman:
Bapak masih selamat. Ini gara-gara Doni menghubungi Dr. Sigit. Sekarang bapak sedang tidur di kamar.

Yudi:
Sudahlah! Itu tidak masalah! Nanti kalau dia sudah bangun, kita ceki8k dia sampai mampus! Ha... ha... sekarang ayo kita berpesta! Mang Ucup, bekas sarapannya diberesin dulu, dong!

Ucup:
(ngaberesan ka dapur bari ingsreuk-ingsreukan)

Doni:
(nyeuneut lilin ultah)

Herman:
Ayo kita berpesta! Panjang umurnya... (nyaranyi sadayana)

Doni:
Ayo ditiup lilinnya!

Yudi:
(niup lilin) Ha...ha...

Herman:
Happy birthday to you... (nyaranyi sadayana)

Doni:
Ayo potong kuenya!

Bapak:
(kaluar ti kamar) Yud... kamu sudah pulang?

Doni & Herman:
(reuwas) Bapak!?!

Yudi:
Ayo Pak, ke sini! Eh, mang Ucup mana?

Herman:
Sudahlah! Barangkali lagi sibuk di dapur!

Yudi:
Ayo Pak, ke sini! (motong kue, Bapak nyampeurkeun) Nah, ini buat Bapak!

Bapak:
Terima kasih, Yud! Selamat ulang tahun! Semoga kamu panjang umur dan sehat selalu!

Yudi:
Terima kasih, pak! Nah, ini buat Kak Her! Ini buat Kak Doni! Ayo dimakan kuenya!

Doni:
Kamu tidak makan?

Yudi:
Ah, saya masih kenyang. Ayo dimakan! (kabeh ngadalahar)

Herman:
Yud! (mere isyarat ka Yudi)

Yudi:
(mere isyarat ka Doni)

Doni:
(ungkleuk, terus nyekek bapak)

Bapak:
Aaa... Yudi... tolong...

Herman:
Lebih kuat lagi, Don! Ayo... (mere semangat)

Yudi:
(nyengir)

Bapak:
Aaa... (koid)

Herman:
Kau hebat, Dik!

Yudi:
(mere acungan jempol, Doni seuri)

Doni:
Sekarang bapak sudah mati! Berarti, seluruh harta bapak menjadi milik kita!

Herman:
Benar! Tinggal kita bagi tiga saja! Aku 40%, Doni 35%, dan kau, Yud 25%.

Doni:
Kak Her, kita bagi rata saja!

Yudi:
Jangan! Harta itu semuanya akan jadi milikku! Perusahaan, rumah, deposito... semuanya jadi milikku!

Herman:
Hey, kenapa bisa begitu?

Yudi:
Tentu saja bisa, karena kalian berdua sebentar lagi akan mati!

Doni & Herman:
Hah?

Yudi:
Ha... ha... kue ultah ini sudah saya kasih racun yang paling ampuh. Tadi kalian sudah memakannya, bukan! Ha... ha... kalian memang bodoh! Haha...

Doni & Herman:
Kurang ajar! Aa... (karacunan)

Yudi:
Ha... ha... aku memang pintar! Polisi tidak akan tahu kalau aku pelakunya, karena tidak ada bukti yang mengarah padaku. Ha... ha... ha... Kak Her, Kak Don, salam ya sama malaikat maut! Dadah... haha.... (tengil)

Doni & Herman:
Aa... (modar)

Yudi:
Haha... sempurna! Haha... hey, tunggu dulu... tidak boleh ada saksi satu orang pun... Mang Ucup... ya, aku harus segera membereskannya!

Ucup:
(jol) Yud, sadarlah! Minta ampun sama Alloh! Serahkan diri Aden sama polisi untuk menebus dosa-dosa Aden!

Yudi:
Mang Ucup?! (reuwas)

Ucup:
Yud, kamu anak baik! Mamang teh sayang ka Yudi... bertobatlah!

Yudi:
Mang... (meberkeun leungeun hayang ditangkeup) Mang Ucup... (ekting bari ceuceurikan)

Ucup:
(nyampeurkeun) Yud... (nangkeup Yudi)

Yudi:
Yudi nyesel, mang! (leungeunna ngagaradah kana peso) Mang Ucup! (cleb, ditojoskeun ka Ucup)

Ucup:
Aaa.... (nyokot peso na cangkeng)

Yudi:
Ha... ha...

Ucup:
Yud... (cleb, ditojoskeun ka Yudi)

Yudi:
Aaa... (ngajoprak)

Ucup:
Astaghfirullaahal’azhiim... Allaahu akbar... (paeh)

Demikianlah! Akhirnya, semuanya mati. Ini semua terjadi akibat dari keserakahan. Kisah ini mengajarkan kepada kita untuk tidak serakah dalam hidup ini. Keserakahan akan menjerumuskan kita ke lembah kenistaan. Diharapkan kita juga dapat menjauhi sifat hasud, dengki, dan iri hati. Selain itu, seyogianya kita dapat bersikap adil kepada setiap orang di sekitar kita agar tidak menimbulkan sifat hasud, dengki, dan iri hati di hati orang lain.

Para hadirin, memang kisah ini hanyalah fiktif belaka. Namun, bukannya tidak mungkin hal ini dapat terjadi di dunia nyata. Maka, waspadalah! Harapan kami, semoga kisah ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Amin.

Sekian. Terima kasih.

2 komentar:

Owl Kiddo mengatakan...

Teather ini..

pernah kita maenin kan pak..
waktu itu tea ning..

EDYAR RAHAYU MALIK mengatakan...

hehehe....