17 Maret 2015

Cintanya Aku

Tidak ada manusia yang bisa hidup tanpa cinta. Hidup ini penuh cinta. Kita hidup karena ada cinta. Kita ada karena Tuhan telah meniupkan cinta kepada Adam dan Hawa. Ada cinta yang memberi kita hidup. Kita punya cinta untuk kita tebarkan kepada setiap makhluk, atau kalaupun tidak ––bagi yang egois–– kita bisa menikmati cinta untuk diri kita sendiri. Ketika cinta hilang pada diri kita, maka tak ada alasan bagi kita untuk tetap hidup.

*  *  *

Tak kusangka kamu melakukannya juga. Kamu memintaku untuk menjadi pacar kamu. Menurutku, tak pantas seseorang dari kaum Hawa berucap hal itu, tapi itu hakmu. Tak bisa kusalahkan juga ucapanmu karena sikapkulah yang mengundang-nya. Aku sadar itu.
“Kamu belum jawab pertanyaanku,” ucapmu.
“....”
“Tidak dijawab juga tidak apa-apa,” ucapmu lagi, tapi tatapanmu memelas, bibir kamu melengkung menyerupai gunung.
“....” Aku hanya bisa berkata-kata dalam hati. Apakah Tuhan mau mem-berikan cinta yang banyak untukku? Baru seminggu yang lalu ada perempuan lain yang menawarkan cintanya padaku, hari ini kamu. Apakah Tuhan menyuruhku berpoligami? Ah, aku tak sanggup, lagipula hatiku ––tidak cintaku–– cukup mahal.
Kamu masih menyetel wajah itu. Melihatmu aku ingin tertawa. Pikir-pikir, aku harus mulai bicara meskipun agak sulit. Aku kasihan padamu telah lama menunggu gerakan bibirku.
“Maaf, ....”
“Ya....”
“Aku...,” kerongkonganku tersendat. Keningmu mengerut. Aku tidak ingin membuatmu kecewa. Kamu baik dan penuh perhatian. Kamu selalu memberikan rasa hangat pada hampir setiap alur kisahku. Kamu juga cantik.
Ah, tidak bijaksana kalau aku hanya berkata-kata pada hatiku sendiri. Kamu masih menanti gerakan bibirku selanjutnya.
“Jujur, aku juga sayang kamu.”
Aku mulai lancar berkata-kata. Walhasil, gunung di bibirmu hancur dan berubah menjadi perahu dayung.
“Lalu...,” katamu.
“....” Setelah itu aku kembali gugup.
“Aku... untuk menjadi pacarmu, sepertinya aku belum siap....”
“Kenapa...?”
“Aku masih belum memikirkannya... lagipula aku masih sibuk dengan pekerjaan-pekerjaanku. Maaf, aku belum siap.”
“O....” Bibirmu kembali menggunung.
Mungkin tadi aku salah ucap. Aku seperti membukakan pintu lebar-lebar untukmu, tetapi setelah kamu melangkah masuk kututup lagi pintunya keras-keras. Aku jadi sulit. Aku selalu menderita jika melihat bibir seperti itu. Sudah kubilang, hatiku mahal, tetapi cinta ––sayang––ku tidak.


*  *  *

Cinta itu suci
Tulus dan murni
Lahir dari ketulusan hati
Anugerah Ilahi

Cinta adalah pertemuan dua hasrat
Hasrat untuk saling mencintai
Untuk saling mengasihi
Untuk saling menyayangi

Aku tak punya hasrat itu
Untuk kuberikan padamu
Sedang hasratmu menggebu-gebu
Untuk kauberikan padaku

Cinta tiada bisa dipaksa
Aku tak mampu mencintaimu
Hasratku telah tertumpah di lain hati
Maaf, bukan maksudku menyakitimu


*  *  *

“De, bagaimana dengan nasib pertanyaanku beberapa minggu yang lalu?”
“Menunggu jawaban, ya?” katamu.
Kulihat kesulitan di wajahmu yang manis. Ada banyak kata-kata di balik bibir tebalmu yang ingin berontak keluar, tetapi bibirmu masih terkunci dan kuncinya masih bersemayam di hatimu yang sedang bergejolak.
Kita berjalan-jalan di sebuah dataran tinggi. Sengaja aku membawamu ke sini untuk menanyakan nasib cinta ––hati––ku.
Sepertinya kamu kesulitan untuk menjawabnya. Aku jadi kasihan padamu. Kalau kamu tidak mau menjawabnya juga tidak apa-apa, berarti itulah keputusan yang terbaik untukku, juga untukmu. Dalam hidup, aku tidak terlalu banyak menuntut. Aku berusaha untuk selalu menyukuri apa yang ada. Aku setuju lagu Iwan Fals, keinginan adalah sumber penderitaan.
“Ade nggak mau munafik, Ade sayang sama Ed, sayang... banget. Tapi, Ade orangnya suka nggak tegaan kalau melihat teman sendiri menderita. Ade tahu kalau dia juga sayang sama Ed. Kalau kita sampai ‘jadian’, dia pasti sakit hati, tetapi kalau Ade sampai menolak Ed, Ade juga nggak tega. Terus terang, Ade masih terlampau sayang sama Ed. Ade bingung harus bagaimana.”
“....”
“Maaf kalau Ade nggak bisa menjawabnya sekarang....”
Aku sudah cukup bahagia mendengarnya. Tidak perlu lagi kata ‘ya’ atau ‘tidak’. Aku yakin, ini pasti sudah ketentuan dari Tuhan. Aku haram menolaknya, meskipun ada sedikit tangis dalam hatiku, tangisan bagi nasib cinta ––hati––ku.


*  *  *

Embrio cinta tertanam di hatiku dan hatimu
Rasa kasih dan sayang pun terlahir
Meradang mengembang memenuhi relung-relung hatiku dan hatimu
Inilah anugerah terindah dari Sang Pencipta

Sang sutradara tidak membuat gampang alur cerita
Ada banyak episode sulit yang harus dilalui
Yang menuntut kematangan jiwa dalam bijak
Awal cerita memang agak sulit dimainkan
Namun sabar dalam setia adalah penawar
Gapai bahagia di akhir cerita

Rasa cintaku padamu
Ibarat sebotol anggur yang tersimpan aman
Kian hari anggur ini kian mahal
Akankah kautunggu anggur ini sampai kujadikan mahar?


*  *  * *


Lagu Rindu*)

Udara saudi terasa lagi
Angin semilir tak berair
Aspal panjang tak ada ruang
diduduki si Zuki, pa N’ther, ki Jang, bi Emwe, dan kawan-kawannya yang lain
Mulut mereka melantunkan lagu rindu,
bersahutan,
mengiris telinga ...
Pabrik-pabrik berbaris rapi di tepian
dengan rokok kelabu menatap jemu

*) bosan dengan kemacetan lalu-lintas

Cinta

Cinta bagaikan air
di dalam gelas berbentuk gelas
di dalam teko berbentuk teko
di atas mangkuk berbentuk mangkuk

Cinta bisa menjadi bengis, keji, dan nista
Bila ia bersemayam di hati yang kotor dan busuk
yang diselimuti hawa nafsu
Itulah cinta yang ternoda
Cinta buta

Cinta bisa menjadi kasih dan sayang
Bila ia bersemayam di hati yang bersih dan suci
yang diselimuti nur Ar-Rahman Ar-Rahim
Itulah cinta yang murni
Cinta sejati

Cinta Adalah Anugerah

Seperti halnya anggrek, mawar, dan melati
yang tumbuh di taman lestari
Kuncupnya mengembang merekah megah
Semilir angin menghantarkan baunya ke setiap penciuman
Itulah rasa cintaku yang menjadi-jadi
Jangan dicegah
Jangan difitnah
Anugerah adalah fitrah

14 Maret 2015

MA'RIFATULLOH

UNTUK DIJADIKAN BAHAN RENUNGAN
(Bukan hanya untuk dibaca saja, tetapi dihayati dan disadari apa yang harus kita kerjakan)

Segala puji bagi Alloh seru sekalian alam, yang tiada sekutu bagi-Nya, tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. Mahabesar Alloh yang telah menciptakan bumi yang indah dan subur tempat kita hidup mencari makan, bercocok tanam, dan berkampung halaman. Mahabesar Alloh yang telah membentangkan langit lazuardi yang indah laksana atap tempat kita bernaung, berhiaskan bulan dan bintang yang gemerlapan di angkasa raya, dilengkapi pula dengan matahari yang memancarkan cahayanya yang mengandung syarat-syarat kehidupan yang utama bagi makhluk di seluruh alam ini.

Sholawat dan salam sejahtera semoga dilimpahkan selalu kepada junjungan dan kekasih kita, Nabi Besar Muhammad SAW, yang diutus oleh Alloh untuk mengajarkan kepada manusia agar berbudi luhur dan berakhlak mulia, dan semoga dilimpahkan pula bagi para sahabat dan keluarganya yang telah sungguh-sungguh berjuang dalam mengembangkan ajaran Rasul. Di antaranya beliau berkata, “Bahwa kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya dalam hal tingkat kemuliaannya, yaitu Kemampuan Manusia dalam hal ma’rifatulloh (mengenal Alloh), jalan perhiasan termahal dan tidak ada bandingannya di dunia ini, serta menjadi simpanan yang tak ternilai di akhirat kelak.

Potensi ma’rifat kepada Alloh, semata-mata bukan terletak pada bagian anggota badan manusia. Namun, pada hatilah terletak kemampuan ma’rifat kepada Alloh, mendekatkan diri kepada Alloh, bekerja semata-mata karena mengharapkan keridhoan-Nya. Hati pula yang dapat menyingkap akan apa-apa yang ada pada sisi Alloh SWT. “Hati yang kotor berarti mengotori diri sendiri, hati yang bersih dan suci kekasih Robbul Izzati”.

Anggota badan itu tidak lain hanyalah sebagai pesuruh atau alat yang diperintah oleh hati dan dikerjakan sebagai hamba terhadap Tuhannya dan sebagai rakyat terhadap pemimpinnya, bagaikan suatu alat yang dipergunakan oleh tukang sewaktu mengerjakan pekerjaannya, dia sekadar pelaku yang menurut saja akan orang yang melakukannya.

Oleh karena itu, hatilah yang akan dihadapkan ke hadirat Ilahi Robbi untuk mempertanggungjawabkan tindak perbuatan anggota tubuh yang lain. Maka sangat berbahagialah orang yang dapat membersihkan hatinya dari segala perbuatan yang dimurkai Alloh, sebab nantinya akan dicintai dan diampuni dosanya oleh Alloh. Begitupula sebaliknya, amat celakalah orang yang telah mengotori hatinya dengan menjauhi perintah Alloh, sebab nantinya akan dicerca dan dimurkai Alloh di kala semua telah menghadap-Nya.

Sesungguhnya, hati itulah yang pada hakikatnya sangat patuh kepada Alloh, dan ibadah yang dikerjakan oleh anggota badan itu merupakan manifestasi belaka dari apa yang menyinari lubuk hati kita dan merupakan sinar yang tersimpan. Kalau manusia berbuat durhaka, maka sesungguhnya hatinya yang mendurhakai dirinya sendiri, sedangkan perbuatan yang dikerjakan oleh anggota badan itu merupakan proyeksi dari sinar kegelapan yang tersimpan dalam hatinya.

Bila manusia telah dapat menganalisis hatinya, maka berarti ia sudah mengenali dirinya dan ia pun akan mengenali siapa Tuhannya. Begitupun apabila manusia tidak dapat mengenali hatinya, maka ia membodohi dirinya sendiri dan berakibat jahil terhadap Tuhannya. Jikalau hati telah terjerumus ke dalam genggaman setan, maka akan hina dan nista. Namun, hati pulalah yang dapat mengangkat ke derajat yang tinggi masuk ke dalam golongan malaikat.

Maka barangsiapa yang tidak mau mengerti keadaan hatinya untuk tetap berada di alam nasut, maka Alloh berfirman, “Mereka akan lupa akan Alloh, maka Alloh pun akan melupakan jiwa mereka, dan itulah orang yang fasik.”

“Di dalam hatilah terletak potensi ma’rifat kepada Alloh, dan hanya hati pulalah yang mempunyai kekuatan untuk muqorrobah kepada Alloh. Pada hati yang bersih, bersinar Nur Alloh. Ia akan menerima nikmat dan kebahagiaan dunia dan akhirat.”

Silakan direnungkan, insya Alloh selamat dunia akhirat. Aamiin.

07 Februari 2015

MATA PENGAWAS

Namaku Gilang, pria lajang semata wayang dengan perawakan kering kerontang. Bukan salah bunda mengandung, tapi ini adalah takdirku, untuk menjadi seorang pejuang!
Aku lahir dari keluarga guru. Kakek buyutku adalah seorang guru ngaji yang tiap bulan tak pernah gajian. Kakekku seorang guru silat yang paling kesohor di kampungku dengan bayaran seikhlasnya. Ayahku selama 30 tahun menjadi seorang Oemar Bakri yang berpenghasilan ala kadarnya. Mereka semua kini telah tiada, tetapi murid-murid mereka tumbuh dan berserakan di gedung DPR, di kepolisian, di kejaksaan, di rumah sakit-rumah sakit, di lapas-lapas, di kapal laut, di pesawat terbang, bahkan di antariksa. Murid-murid mereka sukses menjadi apa yang mereka cita-citakan. Dan aku, kini menjadi seorang guru honorer di salah satu sekolah negeri favorit di Bogor Timur. Ya, guru honorer. Menjadi guru memang impianku sejak kecil, tak peduli menjadi guru PNS maupun honorer. Bagiku, uang bukan yang utama, tetapi pengabdian adalah nomor satu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa!
Malam-malam selalu terasa panjang bagi pria lajang sepertiku. Di luar hujan, pacar tak punya. Pilihan utama biasanya bermain gitar sambil iseng-iseng membuat lagu, kadang sampai menjelang subuh. Sepanjang sejarah, belum pernah ada satu lagu pun yang selesai dibuat. Ya, namanya juga iseng.
Khusus malam ini, aku habiskan waktu semalam suntuk dengan bermain PS3. Ini PS baru aku beli. Walaupun seken, tapi ini dibeli dengan uang halal hasil keringat sendiri. Hahahaa… ayo main!
* * *
KRIIIIING!! Kulihat jam tangan. 7.00
Aku kesiangan! Hari ini aku harus mengawas Try Out kelas XII. Try Out dimulai pukul 7.30. Lima belas menit sebelumnya aku harus sudah sampai di sekolah untuk mengikuti pengarahan dari kepala sekolah. Mataku masih merah. Bergegas kuambil air wudhu, lalu shalat subuh. Aku malu pada kakek buyutku. Selesai salam langsung ganti baju, sisir rambut, cium tangan ibu, dan berangkat!
Kutancap motor motor bututku dengan kecepatan 30km/jam. Udara pagi ini terasa dingin menusuk tulang. Aku lupa memakai jaket. Dan belum makan. Aku tahan-tahan. Sampai juga di gerbang sekolah tercinta.
Kuparkirkan motor di tempat parkiran. Parkiran masih sepi. Sampai depan ruang guru pun belum ada orang. Kulihat jam dinding di aula, 6.30. kulirik jam tanganku. Sialan salah lihat jam! Jam tanganku mati!
Terpaksa harus menunggu, duduk sendiri di kursi panjang samping ruang guru. Mataku masih merah.
* * *
Waktu mengawas telah tiba. Kubawa map berwarna hijau menuju ruang kelas paling ujung. Suasana hening. Masuklah aku ke ruang ujian. Map kuletakkan di atas meja pengawas.
“Siap beri saaaaalam!” teriak salah seorang siswa.
“Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” seru seluruh siswa.
Dalam hati kujawab salam itu. Kupandangi wajah-wajah para peserta ujian. Ada yang terlihat tegang, ada biasa-biasa saja, ada juga yang balas memandang dengan tatapan genit. Dasar anak SMA.
“Siapkan alat tulis, masukkan HP ke dalam tas, simpan tas kalian di depan kelas!”
Kubuka map berwarna hijau, kubagikan lembar soal dan lembar jawaban dengan cepat kepada seluruh peserta ujian.
“Ingat, waktu kalian 120 menit! Jangan ada yang menyontek! Kerjakan semampu kamu! Ingat, ini baru Try Out! Paham?”
“Iya, Pak!”
Kududuk di kursi pengawas untuk mengisi Lembar Berita Acara dan Daftar Hadir Peserta Try Out. Tiga puluh menit pertama suasana masih hening. Mereka masih anteng dengan lembar soal masing-masing. Tak sengaja kulihat salah seorang siswa asyik tertidur.
“Hey, kamu!!” kutunjuk wajahnya dari jauh dengan telunjuk saktiku sambil berdiri. Siswa itu pun terbangun mendengar teriakanku.
“Iya, Pak,” jawabnya gugup. Ruangan pun hening kembali. Aku pun kembali duduk.
Selang beberapa waktu, kulihat beberapa akal bulus mereka…. Ada seorang siswa bertubuh gempal menagih jawaban pada temannya yang mungil di depannya.
“Ehm…,” dehemku mengingatkan.
“Ehm… ehm… ehm…,” balas beberapa siswa dengan kesan mengejek. Beberapa siswa lainnya menjadi riuh. Aku pun agak kesal mendengarnya. Ah, kuberdiri saja sambil menatap tajam wajah-wajah mereka.
“Pak, duduk aja Pak biar gak pegel,” bujuk salah seorang siswa.
“Terima kasih,” balasku dengan tetap berdiri. Malah, agak kudekati dianya yang duduk di depan sebelah kiri. Beberapa siswa masih mencoba melakukan akal bulus mereka. Beberapa mata mereka mencuri pandang ke arahku, lalu mencolek temannya yang dia anggap pintar. Kutangkap juga melalui sudut mataku adegan seorang siswa yang sedikit mengangkat lembar jawabannya sementara kawannya asyik memindahkan jawaban dari lembar jawabannya itu.
Melihat adegan itu, kuteringat nasihat ayahku, ‘Jika kamu melihat kemunkaran di depan matamu, maka hentikanlah dengan tanganmu, atau dengan lidahmu, atau cukup dengan hatimu, maka itu adalah selemah-lemahnya iman.’
“Hey, kamu!!” kutunjuk wajahnya dari jauh dengan telunjuk saktiku. Seketika kaget dianya dan lembar jawabannya kembali rata dengan meja.
“Pak, jangan galak-galak, dong,” celetuk siswi cantik yang duduk samping jendela. Tapi aku tidak tergoda.
“Maaf ya, saya bukan galak! Saya hanya membantu kalian agar kembali ke jalan yang benar!”
Beberapa adegan akal bulus kembali terekam sorotan tajam mataku, lagi dan lagi… dan telunjukku ini sepertinya sudah kurang ampuh lagi.
“Ssst… nomor 13!”
“C.”
“14?”
“Belum.”
“15?”
“Belum.”
“Hey, kamu!!” kuhentikan operasi mereka.
“Pak, Bapak kayak gak pernah nyontek aja…,” komentar salah seorang siswa.
“Iya, Pak… pengertian lah, Pak,” sambung yang lain.
“Hey, kalian! Menyontek itu berarti tidak jujur, sama artinya dengan menipu diri, membohongi diri sendiri, membohongi guru kalian dan bahkan orangtua kalian!” ucapku dengan geram. “Sudah tahu kalian tidak bisa, mau pura-pura bisa, ingin dianggap bisa! Makanya belajar! Kerjakan sebisanya! Kalau gak bisa, sudah kumpulkan saja, pulang, belajar lagi!”
“Serius amat pak ampe segitunya?” celetuk siswi berjilbab.
“Astagfirulloohal’azhiiim… Buka mata kalian! Bayangkan, jika nanti ketika kalian lulus dengan kemampuan palsu, lalu menjadi dokter yang sedang memeriksa pasien dan kalian bingung si pasien mengidap penyakit apa, kalian mau menyontek ke siapa? Nyontek resep siapa? Bayangkan pula sekiranya ada yang menjadi arsitek yang dipercaya membangun hotel dan jembatan, lalu ia bingung menghitung sudut dan siku, lalu terpaksa ia menghitung asal-asalan, lalu tak lama akhirnya hotel dan jembatan yang ia bangun AMBRUK karena salah perhitugan. Berapa banyak korban penghuni hotel dan pengguna jembatan yang akan tewas?? Lalu bayangkan lagi jika ada salah seorang dari kalian yang menjadi anggota DPR yang harus merumuskan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tetapi ia tidak bisa menghitung anggaran dengan benar, hancurlah Negara ini!”
Beberapa siswa menyimak dengan teliti. Tapi rupanya ada seorang siswa berkulit coklat di tengah samping kanan sedang asyik menyalin jawaban dari lembar jawaban teman di depannya.
“Ehm…,” dehemku kesal.
“Ehm, nomor 32 ehm…,” celetuk salah seorang siswa lainnya yang berambut keriting kepada temannya yang dianggap pintar.
“Ehm, belum!” jawabku geram. Seketika ruangan menjadi riuh. Kulirik jam dinding. “Sudah, sudah, jangan ribut! Kerjakan sebisamu! Waktumu tinggal 30 menit lagi.”
Akal bulus pun makin terang-terangan. Ada yang bertanya kencang, malah ada pula yang berani meloncat mendekati lembar jawaban temannya.  Aku semakin geram.
“Sssst…. 27!”
“A.”
“Satu esai?
“Panjang.”
“Hey, kalian! Ingat, ini hanya Try Out! Jangan korbankan try Out ini dengan perbuatan kotor kalian hanya demi sebuah nilai palsu,” peringatanku tidak digubris. Wajah-wajah dan sorotan mata mereka yang seolah tak berdosa membuatku ingin marah. Jadilah sudah aku naik darah. “Hey, kaliaaaaaaan!!”
* * *
“Hey, Kang! Bangun! Ayo mulai ngawas!” suara rekan kerjaku menyadarkanku dari tidur. Kubuka mataku yang masih lengket. Kulihat ia berjalan meninggalkanku dengan map hijau di tangannya.

Jonggol, 3 Februari 2015