19 Januari 2008

PAK KILLER


Aku masuk ke ruang kelas dengan tangan kosong, langsung meluncur ke tempat duduk tanpa melirik anak-anak.
“Siap... berdoa, mulai!”
Kuambil buku absen yang ada di laci meja, kubuka.
“Selesai... beri salam!”
“Assalaamu ‘alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh!”
“Wa ‘alaikum salaam,” jawabku singkat. Tanpa memandanginya, aku mulai mengabsen siswa satu per satu mulai dari huruf ‘A’, sampai pada huruf ‘S’, kupanggil, “Sandi...”
“Absen, Pak!”
“Santi....”
“Absen, Pak!”
“Yudi....”
“Absen, Pak!”
Sampai pada huruf ‘Z’ kupanggil, “Zainudin... Zainudin....”
“Absen, Pak!”
Seketika tekanan darahku naik. Aku benci pada Zainudin. Sudah dua hari ia tidak masuk kelas, dan ini yang ketiga kalinya. Sudah cukup bagiku untuk menarik suatu kesimpulan bahwa ia adalah siswa yang malas. Benci juga aku pada beberapa siswa lainnya yang tidak masuk. Setelah kulayangkan pandangan mataku ke setiap sudut kelas, ternyata hampir separuhnya siswa yang absen hari ini. Mereka pasti telah terkena virus malas dari Si Zainudin. Mau apa jadinya jika semua siswa seperti Si Zainudin.
Ah, buat apa aku memikirkan siswa-siswa yang malas itu. Tugasku di kelas ini adalah untuk mengajar siswa-siswa yang rajin. Ya, siswa yang rajin. Bagiku, mereka adalah sampah masyarakat yang harus dibuang jauh-jauh dari pikiranku.
“Anak-anak, keluarkan buku PR kalian!”
Anak-anak terlihat diam. Wajahnya tegang dan matanya menatap ke atas bangkunya masing-masing dengan khusyu’, tak berkutik, seperti patung Harimau di Pasar Ciawi. Aku mulai berang. Kupelototi wajah mereka satu-satu. Jangan-jangan mereka tidak mengerjakan PR. Dasar manusia-manusia pemalas. Ternyata, mereka sama saja seperti Si Zainudin keparat itu.
Salah seorang angkat bicara, “PR-nya susah, Pak!”
“Susah?”
Benar dugaanku, mereka tidak mengerjakan PR. Huh, dasar otak dengkul, tidak mau berpikir sedikit keras. Diberi soal hitungan saja sudah bilang susah, apalagi kalau disuruh mengurus negara.
“Materinya belum diajarkan, Pak!”
“Dasar bodoh! Kalian ‘kan punya buku paket. Pelajari, dong!” Anak zaman sekarang tidak punya semangat belajar, tidak bisa belajar mandiri. Mereka selalu manja, selalu ingin disuapi. Kapan majunya negara ini jika generasi mudanya tidak memiliki semangat kerja keras. “Sudahlah! Bapak beri waktu lima menit untuk mengerjakan!”
Lima menit adalah waktu yang cukup lama untuk menunggu. Makanya, kuisi dengan ceramah sambil mondar-mandir kayak mandor.
“Ingat! Waktu kalian cuma lima menit. Jadi, satu soal setengah menit. Pokoknya, kalian mesti selesai!” Mereka terlihat serius dan sungguh-sungguh mengerjakan soal itu. Membuka-buka buku paket, mengotret di buku kosong, aku senang melihatnya. Setelah dua menit berlalu, aku duduk kembali di atas kursi.
“Nah, kalau kalian rajin, kalian pasti akan menjadi orang sukses. Waktu masih sekolah dulu, Bapak juga sering dihukum, dimarahi, kena tampar, diberi soal banyak, setiap hari ada PR, itu sudah biasa. Lihatlah hasilnya sekarang, Bapak bisa menjadi pegawai negeri, menjadi seorang guru, pahlawan tanpa tanda jasa. Ini semata-mata berkat kerja keras Bapak. Makanya, kalian harus bekerja keras, belajar yang rajin.”
Kening para pelajar SD kelas tiga itu bersimbah peluh. Aku senang. Itu tandanya mereka berpikir dan bekerja keras. “Sudah tiga menit, kalian pasti sudah menyelesaikan sekitar enam soal. Anton, coba kerjakan nomor satu di papan tulis!”
Ia terkejut ketika kupanggil namanya. Dengan gugup, ia melangkah ke papan tulis. Anton adalah siswa yang katanya paling pintar di kelasnya. Dari kelas satu sampai kelas dua, ia selalu menjadi ranking pertama. Tapi aku tidak percaya. Ia pasti siswa yang bodoh. Ia ranking karena ayahnya orang kaya. Ayahnya pasti menyuap guru kelasnya agar menjadi ranking satu. Tapi aku tidak bisa disuap. Akan kupastikan kalau ia akan tinggal kelas karena ia siswa yang bodoh. Haha....
A ha... dugaanku ternyata benar. Anton memang siswa yang bodoh. Ia hanya bengong di depan papan tulis. Wajahnya penuh ketakutan dan kegelisahan.
“Hey, bodoh! Ayo kerjakan! Jangan diam saja!” sambil ku-pukul kepalanya. Air matanya tumpah. Aku jadi muak melihatnya. “Kenapa menangis? Tidak bisa, ya? Dasar anak bodoh!”
Aku kesal melihat ujung bibirnya yang tertarik ke bawah dan sedikit menganga menampung air matanya yang bocor. Menurutku, ia lebih cocok menjadi pengemis jalanan yang selalu meminta belas kasihan dari orang lain dengan wajah menyedihkan.
Terkadang aku ingin tertawa geli. Ini mengingatkanku pada 30 tahun yang lalu, ketika aku masih SD kelas tiga. Pak guru memanggil namaku dengan galak, menyetrapku karena kesiangan, menyuruhku push up karena lupa membawa buku PR, memukul kepalaku karena tidak bisa mengerjakan soal. Aku memang tergolong siswa yang tidak pintar. Makanya, aku tidak senang kepada orang yang pintar. Sungguh, nostalgia yang menyedihkan.
Aku tidak peduli anak-anak akan membenciku dan lebih menyenangi Pak Malik, guru kelas dua yang masih bau kencur itu. Aku juga tidak peduli kalau anak-anak menjulukiku ‘Pak Killer’. Kalau dipikir, apa hebatnya Si Malik itu? Ia hanya guru honor di sini. Ijazahnya hanya sampai SMA. Jadi, apa hebatnya? Hari ini, ia menggembalakan murid-muridnya di luar sekolah. Baru dua bulan jadi guru honor, sudah berani. Ah, lagi-lagi aku memikirkan yang macam-macam. Buat apa aku memikirkan guru honor yang tidak tahu diri itu.
“Hey, Anton! Pulang sana ke rumah orang tuamu. Bilang kepada mereka, kamu diberhentikan. Percuma ikut sekolah kalau kamu tetap bodoh. Kamu hanya akan menghabiskan uang ayahmu saja.”
Anton pun pulang dengan membawa bibirnya yang bergelombang. Hatiku tertawa puas, seolah-olah dendamku telah terbalas. Tiba-tiba....
“Permisi!”
Si Bau Kencur itu datang ke kelasku. Aku tidak tahu maksud kedatangannya. “Ada apa?” tanyaku.
“Maaf, Pak Lukman! Bapak dipanggil Bapak Kepala Sekolah. Sekarang!” Setelah mengatakan itu, ia tetap diam di lawang pintu.
“Sekarang, Pak!” ucapnya. Perasaanku tidak enak kali ini. Jarang-jarang Bapak Kepala Sekolah memanggilku ke ruangannya. Ada apa ini? Jangan-jangan Si Bau Kencur ini melaporkanku kepada Bapak Kepsek? Ah, peduli amat. Yang pasti, sekarang aku benci karena aku berjalan di belakang Si Bau Kencur seolah-olah aku ini ajudannya. Sebal.
Di ruang Kepsek, aku duduk berdampingan dengan manusia menyebalkan itu. Perasaanku semakin tidak enak saja karena di ruangan itu ada juga dua orang polisi yang berseragam lengkap. “Ada apa Bapak memanggil saya?”
Tanpa berbasa-basi, Pak Kepsek langsung menjawab, “Muridmu, Zainudin, telah meninggal dunia di rumah sakit tadi pagi. Tubuhnya penuh memar. Sebelum meninggal, ia sempat meng-adukan bahwa Pak Lukman sering memukulinya.”
Hatiku bagai tersambar petir. Aku telah membunuh muridku sendiri. Aku pembunuh. Belum sempat menghela napas, Pak Kepsek kembali bersua, “Murid-muridmu yang lain juga meng-adukan hal yang sama. Mereka tidak ingin masuk sekolah karena Pak Lukman sering menganiaya mereka.”
Benar-benar aku tidak bisa berkata apa-apa. Jantungku berdetak keras. Pikiranku mulai kacau. Aku cengengesan ketika Pak Polisi menyeretku ke mobil tahanan. Haha... aku jadi pembunuh. Aku tertawa sekeras-kerasnya.

* * * *

Ciawi, 6 Maret 2004

Tidak ada komentar: