19 Januari 2008

Perawan Tua


Aku adalah seorang dosen perempuan. Umurku sudah mencapai 30 tahun, tetapi sampai saat ini aku belum juga berumah tangga. Pacar pun aku tak punya. Memang, sedari dulu sampai sekarang aku belum pernah merasakan yang namanya pacaran.
Aduh, aku cemas. Mungkin ini sudah nasib. Aku memang kurang laku di pasaran. Terang saja, tubuhku gemuk, mukaku bulat, hidungku pesek, suaraku besar, rambutku ikal. Ah… Ya Tuhan, aku malah mencela hasil karya-Mu.
“Hari ini aku merasa bahagia sekaligus cemas. Kemarin, aku mendapat kenalan cowok dari chatting. Orangnya asyik dan cepat akrab. Ia mengirimkan fotonya lewat e-mail. Dia balas minta fotoku, Rin. Aku bingung,” kataku kepada Bu Ririn, kepala Laboratorium Microteaching sekaligus teman curhatku di kampus.
“Siapa namanya?”
“Namanya Edo.”
“Umurnya berapa tahun?”
“Katanya sih 25 tahun.”
“Tidak terlalu berbeda jauh denganmu. Sudah bekerja apa belum?”
“Ia seorang dosen.”
“Dosen mana?”
“Tidak tahu. Dia tampan, Rin. Sepertinya aku jatuh cinta kepadanya. Dia minta fotoku. Bolehkah aku mengirimkan fotomu, Rin?”
Ririn adalah sahabatku yang paling mengerti aku, meskipun umurnya lebih muda dari aku. Ia baru 25 tahun, tetapi sudah berumah tangga. Dia cantik, juga pintar. Itulah sebabnya ia dipercaya sebagai Kepala Laboratorium Microteaching.
“Rin, bagaimana, kamu bisa bantu aku tidak?”
“Santi, sebaiknya kamu berani jujur. Sudah sepuluh kali kauminta fotoku, dan sudah sepuluh kali juga kaukecewakan sepuluh laki-laki.”
“Rin, aku tidak pede. Kautahu kan aku ini jelek. Aku....”
“Santi, jangan suka mencela diri sendiri,” ia memotong pembicaraanku. “Kamu harus yakin bahwa kejujuran itu adalah suatu keberanian, dan keberanian adalah awal dari kemenangan.”
Ia memang sering berbicara seperti itu––sedikit filosofis––kepada setiap orang, tetapi aku tidak begitu mengerti apa yang ia maksudkan.
“Rin, tolonglah mengerti aku! Izinkanlah, sekali ini saja,” pintaku.
“Kalau itu maumu, tapi ini yang terakhir kali,” ucapnya mengabulkan.
Kukirimkan foto Ririn kepadanya. Aku sudah agak sedikit tenang sekarang. Mudah-mudahan kali ini aku berhasil. Aku malu sebagai anak sulung. Adik-adikku semuanya sudah menjalin bahtera rumah tangga.

* * *

“Rin, dia mengajakku ketemuan. Kamu tahu tidak, dia sempat memujiku lewat e-mail. Katanya aku cantik. Aku cukup senang meskipun itu hanya sebuah pujian semu.”
“Kamu mau ketemuan di mana?”
“Dia mau datang ke sini, Rin, sekarang.”
“Sekarang?”
“Ya, Sekarang!”
Kening Ririn terlihat mengkerut. Ah, aku tidak terlalu memikirkannya, tetapi di dekat pintu TU kulihat sesosok lelaki bertubuh gemuk sedang bercakap-cakap dengan Kepala TU yang sepertinya tubuh gemuk itu aku kenal.
“Rin, kamu kenal lelaki yang sedang berbicara dengan Pak Salim––Kepala TU––itu? Sepertinya aku pernah mengenalnya,” tanyaku penasaran.
“O, dia ‘kan Pak Dirman. Dulu ‘kan dia pernah menjadi staf di sini. Kamu juga mengenalnya, ‘kan,” jawabnya.
Dirman. Ya, aku pernah mengenalnya dan memang aku memang kenal dengannya. Dulu sewaktu dia masih bertugas di sini, dia sempat menembakku, tapi aku menolaknya. Dia sama seperti-ku; bertubuh gemuk dan berambut ikal. Satu lagi, kulitnya hitam. Aku membencinya.
“San, dia ke sini,” ucap Ririn.
“Mau apa dia ke mari. Jangan-jangan mau mengacaukan pertemuanku dengan Edo, kenalanku di chatting,” bisikku pada Ririn.
“Hai, Santi! Kita bertemu lagi,” Dirman menyapaku, mengajakku bersalaman.
“Ada urusan apa kamu datang ke mari?”
“Kamu lupa, ya! Kita ‘kan sudah janjian!”
“Janjian?” Sudah kuduga dia mau mengacaukan pertemuanku dengan Edo. “Sebaiknya kamu pergi dari sini daripada kamu sakit hati. Sebentar lagi aku mau ketemuan sama Edo, calon suamiku. Dia tampan, tidak seperti kamu.”
“Santi, Edo itu aku!”
“Sudahlah, jangan suka mengada-ada!”
“San, sebaiknya aku pergi, ya,” Ririn merasa tidak enak menyaksikan percekcokan kami. Dia pergi. “Permisi!”
“Santi, kamu lupa ya namaku. Aku Edo, Edo Sudirman. Memang rekan-rekan di sini memanggilku dengan nama Dirman.”
Aku jadi pusing mendengarnya. Jangan-jangan dia itu memang Edo. Kalau benar demikian, aku akan sangat malu.
“Aku tidak percaya! Edo pernah mengirimkan fotonya lewat e-mail. Dia tampan, tubuhnya kekar dan kulitnya putih.”
“Santi, itu hanya taktik. Aku mengirimkan foto supirku. Sekarang dia sedang menungguku di luar. Kalau kamu mau sama dia, silakan temui dia, tapi dia hanya seorang supir.”
Aku tersentak mendengarnya.
“Sekarang aku menjadi dekan di kampus baruku,” ucapnya, tetapi aku sama sekali tidak mempedulikannya.
“Kamu memang pengecut, tidak berani mengirimkan fotomu sendiri!”
“Kamu juga melakukan hal itu padaku, bukan?”
Aku jadi malu sendiri––senjata makan tuan. Aku menjadi salah tingkah. Sms masuk. Aku membukanya. Dari Ririn. Katanya, ’Jangan suka jual mahal’.
“Dari siapa, San?”
“….” Aku salah tingkah. Aku segera memasukkan handphone ke dalam tas.
“Santi, kamu tahu ‘kan sudah sejak lama aku mencintaimu. Dulu kamu menolakku karena aku ini jelek dan aku hanya seorang dosen yang berpenghasilan kecil. Sekarang aku kembali dengan penampilan yang berbeda. Selain menjadi dekan di tempat baruku, aku juga membuka usaha anyaman, dan aku sukses. San, sekarang aku sudah mapan dan mendambakan seorang pendamping hidup.”
Aku hanya bisa diam seperti patung mendengar semua ucapannya.
“Aku juga sadar tidak bisa merubah penampilanku yang jelek ini, tetapi yakinlah bahwa hatiku tak sejelek lahiriahku. Aku mencintaimu, Santi.”
Aku malah menangis sejadi-jadinya. Jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku juga mencintainya. Bukan karena penampilannya yang jelek, bukan pula karena dulu ia hanya seorang dosen yang berpenghasilan kecil, bukan karena itu dulu aku menolaknya, tapi hanya karena gengsikulah yang menutupi kejujuran hatiku.
Aku baru mengerti maksud dari kata-kata Ririn yang sedikit terdengar filosofis di telingaku itu. Aku memang harus jujur pada hati sendiri. Aku tidak rela egoku menyebabkan aku menjadi perawan tua. Aku masih mencucurkan air mata.
“Santi, kenapa kamu menangis?”
“Dirman, aku juga mencintaimu. Aku mau menjadi pendam-ping hidupmu. Aku…,” Aku tak sanggup berkata-kata lagi. Aku ingin segera memeluknya, dan segera saja kulakukan. Aku ingin men-ciumnya, tapi tubuh kami yang gemuk sedikit menjadi penghalang.
Kulihat Dirman tersenyum. Dia pun menangis. Air matanya terasa panas di pipiku. Dia memelukku erat.
Bunyi sms menghentikan acara peluk-pelukan kami. Aku membukanya. Dari Ririn. Katanya, ‘Selamat, kamu telah berhasil memperoleh keberanian dan kamu pantas memperoleh kemenang-an’.
“Dari siapa, San?” tanyanya.
“Ah…,” Aku segera memasukkan handphone ke dalam tas.
Dia segera menuntunku ke luar kampus dan menaiki mobilnya. Kami akan makan siang di restoran.

* * * *

Bogor, 07 Desember 2004

Tidak ada komentar: