31 Maret 2010

JIN KOPI

Pagi ini, langit bersih tanpa awan, biru. Sang surya mengintip di atap rumah tetangga, malu-malu. Aku duduk bersantai-santai di atas kursi bambu di depan rumah butut-ku, membiarkan tubuhku dijilati sinar mentari bersama sepiring pisang goreng dan secangkir kopi panas.

Saat meneguk kopi, muncullah sesosok tubuh dari asap kopi. Wajahnya hitam legam, berpeci istambul, berkumis belanda, berjanggut runcing. Ada sebuah cincin di hidungnya, persis banteng spanyol. Di jari tangannya berjejer batu akik yang berkilauan. Kakinya seperti ekor belut, bergoyang-goyang.

“Siapa Kau?”

“Haha…! Aku adalah Jin Kopi. Aku akan mengabulkan tiga permohonanmu. Haha…!”

“Benarkah itu?”

“Ya. Tiga permohonan!”

“Kalau begitu, Jin Kopi, aku ingin jadi orang kaya. Aku bosan hidup melarat. Aku ingin memiliki rumah yang mewah dan harta yang melimpah.”

“Baiklah, akan kukabulkan!”

Tiba-tiba, turunlah hujan uang dari langit, seratus ribuan, hanya di atas rumahku. Ya, hanya di atas rumahku. Kupunguti satu-satu dan tak pernah sampai selesai aku memungutinya. Hujannya tidak pernah berhenti.

Kubeli sebuah rumah yang paling mewah di Rancamaya, yang ada kolam renangnya. Ya, aku berenang di sana seharian, aku memang suka berenang. Lalu kupesan beraneka makanan yang lezat, plus makanan pembuka dan penutupnya. Hari ini, aku ingin makan enak.

Selesai makan, aku beli sebuah pesawat terbang plus pramugari dan pilotnya. Aku ingin terbang keliling nusantara. Aku singgah di Jakarta, menikmati keindahan kota dengan gedung pencakar langitnya yang megah dan tinggi menjulang. Lalu aku meluncur ke kota Bandung untuk berbelanja, membeli pakaian yang paling modis dan trend.

Sampailah aku di wilayah timur nusantaraku. Aku singgah di pinggiran kota Jayapura. Oh, betapa anehnya penduduk di sini. Alienkah? Perutnya buncit-buncit. Matanya cekung dan belo. Tangannya sebesar tongkat semapur. Kulitnya kulit semar, seperti Jin Kopi. Mereka bermain-main di tanah, berguling-guling. Oh, Tuhan, negeri apakah ini? Apakah ini bukan tanah Indonesia? Tidak ada rumah sakit, tidak ada gedung sekolah, tidak ada gedung pencakar langit, tidak ada tempat rekreasi, tidak ada pusat perbelanjaan. Apakah ini tidak termasuk wilayah nusantara? Masa iya? Bukankah telah tertulis di peta nusantara?

O, ya, aku orang kaya. Dengan inisiatif sendiri, aku belikan mereka pakaian. Aku berikan mereka makanan enak secukupnya. Kudirikan rumah sakit. Kuambil dokter-dokternya dari Jakarta. Lalu kudirikan gedung-gedung sekolah. Kutarik para pengajarnya dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Kubangun pasar-pasar swalayan, kubagikan uang sepuluh lembar seratus ribuan biar mereka dapat berbelanja sepuasnya. Kudirikan pula tempat-tempat rekreasi untuk melepas penat.

Banyak pula tempat-tempat lain yang serupa itu, di dalam pesawat, aku tak habis pikir, apakah lagu Dari Sabang Sampai Merauke gubahan R.Suraryo itu suatu kebohongan?

Seorang pramugari memberiku secangkir kopi panas. Tahu saja dia minuman kesukaanku. Hendak kureguk, keluarlah Jin Kopi. Ia menagih permintaanku yang kedua. Kali ini aku bingung mau minta apa. Merasa badanku pegal-pegal, kukatakan padanya, “Jin Kopi, tolong panggilkan perempuan yang cantik untuk memijitku!”

Permintaanku dikabulkannya. Datanglah seorang perempuan berparas cantik yang sepertinya wajah itu sudah tidak asing bagiku. Ia menghampiriku. Wajahnya berubah menjadi nenek sihir. Ia menjewer telingaku.

“Hey, pagi-pagi sudah ngelamun. Ayo kita ke sawah, Kang!”

Oh, Jin Kopi, aku belum sempat mengatakan permohonan ketigaku. Matahari memotret kami pada posisi 45 derajat. Aku malu pada isteriku.

Tidak ada komentar: